Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Rapat Gabungan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI bersama Pimpinan Fraksi dan Kelompok Dewan Perwakilan Daerah (DPD), kemarin, telah menyetujui rencana menghidupkan Pokok-Pokok Haluan Negara atau PPHN tanpa melalui amandemen UUD 1945.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kendati demikian, partai-partai belum sepakat dengan bentuk payung hukum PPHN. Fraksi Golkar misalnya, menolak usul PPHN dihadirkan lewat konvensi ketatanegaraan seperti rekomendasi Badan Pengkajian MPR.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Rekomendasi Badan Pengkajian MPR adalah wacana penetapan TAP MPR RI sebagai dasar hukum PPHN tanpa harus melakukan amandemen UUD 1945, yang oleh Badan Pengkajian MPR disebut konvensi ketatanegaraan. Terhadap wacana ini, Fraksi Partai Golkar MPR RI dengan tegas menolak," ujar Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI, Idris Laena lewat keterangan tertulis, Selasa, 26 Juli 2022.
Musababnya, lanjut Idris, konvensi tidak punya kekuatan hukum yang mengikat, baik terhadap lembaga negara yang lainnya, apalagi untuk mengikat seluruh Warga Negara Indonesia.
"Kalau konvensi yang dijadikan contoh adalah Pidato Presiden di Sidang Tahunan MPR RI yang dilaksanakan setiap 16 Agustus tanpa diatur konstitusi, tentu saja berbeda, karena pidato tahunan bukan produk hukum," ujar dia.
Lagipula, ujar Idris, payung hukum penyelengaraan Pidato Kenegaraan Presiden 16 Agustus, juga hanya diatur dalam Pasal 100 Peraturan MPR RI Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Tertib MPR RI.
"Menjadikan Pasal 100 Tata Tertib MPR sebagai landasan produk hukum PPHN sudah pasti akan menjadi perdebatan panjang di kalangan masyarakat, karena tata tertib masing-masing lembaga hanya mengikat ke dalam dan bukan bagian dari hierarki perundang-undangan Indonesia. Fraksi Partai Golkar pasti akan menolak wacana menghadirkan PPHN dengan landasan hukum yang mengada-ada dan terkesan dipaksakan," ujar dia.
Fraksi Golkar mengusulkan payung hukum PPHN berlandaskan Undang-Undang. "Lebih baik UU, karena lebih mengikat sebagai produk hukum dan sekaligus dapat menggantikan UU RPJPM yang akan segera berakhir," tutur Idris.
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengatakan, MPR akan melakukan sidang paripurna pengambilan keputusan soal PPHN pada awal September mendatang.
Dalam sidang itu, MPR akan mendengarkan pandangan setiap fraksi dan kelompok DPD. Dengan ketentuan, jika mayoritas anggota MPR sebagai pemegang hak konstitusi yang hadir dapat menerima Rancangan PPHN, maka selanjutnya akan dibentuk Panitia Ad Hoc untuk menggodok payung hukum PPHN.
"Pembentukan Panitia Ad Hoc yang terdiri dari 10 pimpinan MPR dan 45 orang dari fraksi-fraksi dan kelompok DPD nanti akan diputuskan pengambilan keputusannya dalam sidang paripurna awal September mendatang, karena tidak memungkinkan disisipkan di sidang tahunan pada 16 Agustus," ujar Bambang Soesatyo, kemarin.
DEWI NURITA