Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Desain Istana Garuda Ibu Kota Nusantara (IKN) menuai banyak kritik di media sosial. Simbol garuda yang dipilih lebih mirip dengan kelelawar karena berwarna cokelat gelap yang menimbulkan kesan suram. Lantas, apa alasan arsitek Istana Garuda IKN, Nyoman Nuarta, memilih desain garuda?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seniman asal Bali ini mengungkapkan esensi dasar desain istana tersebut merujuk kepada penyatuan 1.300 suku lebih yang ada di Indonesia. Nyoman mengatakan dirinya memilih representasi garuda sebagai bentuk bangunan agar tidak ada kecemburuan dari berbagai daerah di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasalnya Indonesia memiliki beragam suku. "Saya pilih Garuda sebagai ide dasar karena semua sudah kenal, dan juga tidak mungkin semua identitas suku terserap dalam satu bangunan," kata Nyoman pada Sabtu, 10 Agustus 2024.
Ia pun menjelaskan bahwa bentuk garuda menjadi pilihan dasar dari istana tersebut dikarenakan ia menyadari bahwa Indonesia memiliki lebih dari 1.300 suku dengan budayanya masing-masing yang khas.
"(Indonesia) ada rumah adatnya, ada kerajinannya. Ada tekstilnya. Supaya tidak terjadi kecemburuan, saya menghindari identitas salah satu suku (untuk) saya gunakan dalam membangun Istana. Rasanya tidak adil. Dengan demikian saya pilih garuda sebagai ide dasar," jelasnya.
Bagi Nyoman, garuda sudah sangat familiar atau dikenal oleh semua suku yang ada di Indonesia sebagai lambang negara sehingga konsep itu digunakan dalam mendesain Istana Garuda di IKN. Apalagi, lanjut Nyoman, lambang garuda Pancasila juga diciptakan oleh Sultan Hamid II yang berasal dari Kalimantan, bukan seperti yang dituduhkan bahwa Garuda dari budaya Hindu.
"Nah setelah saya pakai itu, tidak ada satu pun dari suku-suku yang begitu banyaknya yang protes, yang protes kaum arsitek, yang kalah berkompetisi. Ini kan basil kompetisi. Jadi konsep saya begitu, karena saya tidak ingin terjadi perpecahan akibat desain yang nggak benar," ungkap Nyoman.
Sementara itu, soal kesan mistis terhadap Istana Garuda, Nyoman mempersilahkan persepsi dari masing-masing orang untuk berpendapat. Menurut dia, pendapat orang timbul sedikit banyak dipengaruhi oleh pengalaman bahan mereka masing-masing.
Ia juga menjelaskan, soal warna Istana Garuda, di mana warna kuningan di bagian muka akan berubah secara perlahan menjadi hijau kebiruan seperti warna GWK. Proses itu dinamakan patina.
Sedangkan struktur bilah dibuat dari baja tahan cuaca dari kemerahan berubah menjadi gelap memakan waktu 1-2 tahun. "Garuda tampak gagah justru kepalanya seperti itu (menengok ke depan), ya terserah persepsi orang," kata Nyoman.
Sebelumnya, Nyoman menjelaskan bahwa perancangan Istana Garuda didasarkan oleh dua fungsi. Pertama, fungsi estetik yang tujuannya untuk menjadi karya seni monumental, seperti GWK. Sejak diperkenalkan oleh Presiden ke-1 RI Sukarno pada 1 Februari 1950, garuda Pancasila telah menjadi simbol negara yang menyatukan bangsa.
Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” di kaki burung garuda yang memiliki arti berbeda-beda, tetapi tetap satu yang memperkuat makna persatuan. Meski awalnya bernuansa politis, lanjut dia, garuda Pancasila juga terinspirasi dari kitab Sutasoma oleh Mpu Tantular di era kerajaan Majapahit.
Kedua, fungsi pragmatis di mana Istana Garuda akan menjadi tempat bagi presiden untuk mengelola pemerintahan. “Bangunan ini dirancang dengan konsep green design. Sosok garuda akan dibentuk dari bilah tembaga vertikal yang juga berfungsi sebagai peneduh dari sinar matahari untuk menghindari efek rumah kaca,” ujar Nyoman pada Rabu, 7 Agustus 2024.
ANDIKA DWI | MELYNDA DWI PUSPITA | ANTARA