Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

UPN Veteran Jakarta dan Aktivis HAM Selenggarakan Kuliah Daring Bahas Konflik Sahara Barat

UPN Veteran Jakarta dan para aktivis HAM menyelenggfarakan kuliah daring membahas konflik Sahara Barat yang masih terus berlangsung.

3 Maret 2024 | 10.59 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - UPN Veteran Jakarta menggandeng beberapa aktivis HAM yang mengatasnamakan sebagai Solidarity Rising menyelenggarakan kuliah daring pada Kamis, 29 Februari, membahas interseksi antara hak asasi manusia dan demokrasi, dengan berfokus pada studi kasus di Sahara Barat. Solidarity Rising diwakili oleh Benjamin Ladraad dan Sanna Gothbi bersama aktivis kemanusiaan lain ada Sahrawi dan Sid Ahmed Jouly.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Acara ini diselenggarakan oleh Centre for Citizenship and Human Rights Studies (CCHRS) UPN Veteran Jakarta dengan judul "Demokrasi dan Hak Asasi Manusia: Studi Kasus Sahara Barat," yang mengulas kembali tantangan dan dinamika seputar perlindungan hak asasi manusia dan promosi prinsip-prinsip demokratis di wilayah Sahara Barat khususnya. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelumnya diketahui bahwa konflik Sahara Barat antara dua negara, Aljazair dan Maroko yang telah berlangsung sejak puluhan tahun. Wilayah tersebut sempat ditutup karena gesekan perebutan kedaulatan di sana. Konflik itu juga yang menyebabkan hubungan dua negara di benua Afrika itu semakin memanas. 

Benjamin Ladraad dan Sanna Gothbi yang menjadi narasumber itu, dalam rilisnya menjelaskan mengenai persoalan pergerakan aktivisme hak asasi manusia lintas batas yang mereka lakukan melalui #Bike4WesternSahara dan bagaimana mereka mempelajari  latar belakang sejarah Sahara Barat sebagaimana wilayah tersebut tetap  berada di bawah pendudukan Maroko hingga saat ini. 

"Hubungan (sejarah dan hukum) antara suku Sahrawi dan kerajaan Maroko tidak lebih kuat daripada hak penentuan nasib sendiri rakyat Sahrawi. Jadi, pendudukan (Maroko) adalah ilegal dan melanggar hukum internasional, sama seperti yang dilakukan Israel di Palestina," ujar Benjamin. 

Sebagai bekas koloni Spanyol dan upaya untuk menjaga wilayah tersebut dari konflik berkelanjutan, Sahara Barat dijanjikan referendum oleh PBB pada tahun 1991 untuk mengekspresikan hak penentuan nasibnya secara demokratis. Namun, selama 30 tahun, demokratisasi tidak diwujudkan yang mengakibatkan terjadinya serangkaian pelanggaran hak asasi manusia, termasuk pengusiran paksa, terhadap orang asli Sahara Barat, yang dikenal sebagai Sahrawi. 

"(Pada saat itu), identifikasi pemilih telah dilakukan dan Sahrawi sudah terdaftar untuk memilih, tetapi referendum ini tidak pernah terjadi. 30 tahun gencatan senjata dan Sahrawi [masih] menunggu referendum yang dijanjikan," kata Sanna.

Konflik yang terjadi antara 2 negara  tersebut tak hanya menyebabkan ketegangan politik hubungan bilateral negara, tetapi juga berdampak pada kondisi sosial yang menyebabkan teror ketakutan bagi masyarakat. Masyarakat mendapat imbas karena konflik perebutan itu sudah beranjak menjadi konflik bersenjata pada tahun 1975. Akibatnya masyarakat harus mengungsi di kamp-kamp konsentrasi.

Sid Ahmed Jouly, seorang aktivis Sahrawi yang tumbuh di kamp pengungsi Sahrawi di barat daya Aljazair bersama keluarganya, dahulu melarikan diri dari Sahara Barat selama perang pada tahun 1975. Dirinya berbagi cerita tentang proses dekolonisasi yang belum selesai di Sahara Barat dan dampak invasi Maroko terhadap keluarganya. 

"Meskipun keluarga saya melarikan diri dari perang pada tahun 1975, saya masih memiliki keluarga di sana. Paman dan sepupu. Karena perang, keluarga orang-orang Sahrawi terbagi dan terpisah antara wilayah yang diduduki Maroko dan kamp pengungsi," ujar Ahmed Jouly. 

Kehidupan di kamp pengungsi bukanlah hal yang mudah. Terletak di daerah dataran luas Gurun Sahara dengan akses yang tidak memadai terhadap kebutuhan dasar manusia seperti air dan makanan, kehidupan orang Sahrawi sebagian besar bergantung pada lembaga bantuan internasional. Namun, dapat dibayangkan konsekuensinya jika ada kekurangan pendanaan untuk distribusi makanan. 

"Tingkat anemia pada anak-anak secara signifikan meningkat, [mengakibatkan] tingkat kematian yang sangat tinggi di kalangan anak-anak," kata Ahmed Jouly. 

Sesi ketiga mencakup pemutaran film dokumenter "3 Stolen Cameras," yang diproduksi oleh Equipe Media dan RaFILM, menampilkan serangan polisi dan militer Maroko terhadap demonstrasi damai, serta kesaksian kekerasan yang dihadapi Sahrawi dan kondisi hak asasi manusia di wilayah yang diduduki Maroko.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus