SMP Negeri Lipat Kajang, Simpang Kanan, Aceh Selatan, tiba-tiba diliburkan. Hal ini, tentu saja, mengagetkan masyarakat karena bukan saatnya musim liburan, dan tanpa pemberitahuan lebih dahulu. Pada mulanya, sekolah yang punya 8 kelas dan 246 murid itu seperti tak terjadi apa-apa. Namun, ketika lonceng dibunyikan, 14 orang dari 15 guru yang mengajar tak muncul. Junaidi, satu-satunya guru yang datang ketika itu, bingung. Murid-murid, yang tadinya sudah masuk kelas, kembali berhambur ke halaman. Junaidi lalu meluncur ke rumah Syarifuddin, kepala sekolah, yang berjarak 100 meter. Ternyata, rekan-rekannya berkumpul di situ. Mereka telah siap-siap pergi. "Bagaimana dengan anak-anak, Pak?" tanya Junaidi tergopoh-gopoh. "Ya, terserah," jawab Syarifuddin enteng. Mendapat jawaban demikian, Junaidi kembali ke sekolah dan menyuruh murid-murid pulang. "Tak mungkin murid sebanyak itu saya kendalikan sendiri," katanya. Sementara itu, ke-14 guru itu mengungsi ke Desa Rimo, masih tetangga desa yang berjarak 8 km. Sampai beberapa hari, mereka tak berani kembali ke sekolah. Tentu saja, tindakan itu merepotkan orangtua murid. "Kami sudah tak tahu harus berbuat apa agar guru-guru itu mau mengajar lagi," kata Haludin, salah satu orangtua murid. Pemogokan itu merupakan puncak kekesalan pak guru. Kenapa? "Saya bukan meliburkan murid, tapi cuma mencari perlindungan," kata Syarifuddin. "Apalagi, murid kelas III akan EBTA Mei nanti. Tak mungkin kami mengajar dengan nyawa terancam," tambahnya. Para guru itu mogok karena hubungannya dengan warga setempat disebut-sebut kurang mesra. Masyarakat menudingnya sombong-sombong. "Mereka hanya mau berkawan sesama mereka," kata Armansyah. Lagi pula, pemuda setempat menuduh ada beberapa guru yang berbuat mesum dengan warga setempat. Bahkan, salah seorang guru sempat digerebek dan dihajar ramai-ramai gara-gara kedapatan mengobrol dengan seorang wanita di teras rumah. Sebaliknya, Syarifuddin justru menuduh masyarakat terlalu banyak mencampuri urusan pendidikan. Puncak ketegangan, katanya, meletup awal bulan lalu. Ketika itu, Badaruddin, guru Bimbingan dan Penyuluhan (BP), sedang mengajar pelajaran Agama di kelas III. Badaruddin menyuruh keluar 3 orang murid, yaitu Herman, Sapawi, dan Syafrizal. Ketiganya disuruh merapikan baju dengan memasang kancing dan memasukkannya ke celana. Namun, bukannya perintah guru yang dilaksanakan. Tiga murid itu masuk kelas sebelah -- yang lagi kosong -- dan berdendang-dendang dengan menggebrak-gebrak meja. Mereka juga melemparkan kertas ke Badaruddin dan mempermainkan guru itu. Pak guru itu jengkel dan menempeleng salah seorang. Persoalan ini berbuntut. Sorenya, menurut Syarifuddin, tersiar berita "panas". Para guru telah berani menempeleng anak orang. Dan tersebar pula berbagai tuduhan jelek mengenai guru. Malamnya, rumah Syarifuddin dan gedung sekolah dilempari batu oleh massa. Puncaknya, muncul surat ancaman yang isinya: "Guru-guru SMP munafik. Segera tinggalkan Lipat Kajang, sebelum timbul kejadian yang tak diinginkan." "Kami betul-betul takut, setelah menerima surat itu," kata Syarifuddin. Akhirnya, para guru sepakat untuk meninggalkan daerah yang terpencil itu. Dari 15 orang guru SMP itu cuma Junaidi yang penduduk asli dan tak ikut mengungsi. Kejadian itu kemudian dilaporkan Syarifuddin ke Kepala Kantor Departemen P dan K Aceh Selatan di Tapaktuan. Pihak Kakandep minta, supaya para guru aktif kembali. "Apa pun alasannya, sekolah harus tetap jalan," perintah Darmansyah, Kakandep P dan K Aceh Selatan, pada Syarifuddin. Setelah sempat libur 18 hari, akhirnya, 9 Maret lalu kegiatan sekolah cair lagi. "Keamanan guru-guru dijamin oleh camat," Kata Sayed Mudhahar Ahmad, Bupati Aceh Selatan. Pemuda yang mengeroyok dan mengancam pun sudah diberi peringatan. "Mereka berjanji tak akan mengganggu guru lagi," kata Bupati. GT, Mukhlizardy Mukhtar (Biro Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini