NAWIZAR ANWAR, Hakim pada PN Pacitan (Ja-Tim).
Jangankan rumah mewah dan beberapa sedan. Untuk pulang ke
kampung halamannya (Sumatera Barat) saja ia tak mampu -- meski
sudah berdinas 7 tahun di Pacitan, 350 km dari Surabaya.
Terpaksa, katanya, "saya harus mengambil kredit bank."
Ia, dengan seorang istri dan dua anak, tinggal di rumah
kontrakan. Ke kantor ia naik sepeda. Bersama dua orang hakim
lain -- termasuk ketuanya -- ia mengurus sekitar 15 - 20 perkara
sebulan. Umumnya perkara-perkara "kering" pencurian ayam, sepeda
atau pelanggaran lalulintas. Perkara perdata paling-paling
menyangkut tanah setengah hektar.
Jangan tanya berapa gaji Nawizar. Pokoknya, "hampir tak pernah
luput dari kesulitan keuangan," katanya. Ngobyek? "Selain tak
boleh," kata hakim lulusan FH-Andalas (Padang) berusia 38 tahun
ini, "di sini mana ada perkara yang bisa diobyekkan?" Oleh
karena itu ia tak segan-segan menyusuri bukit sambil matanya tak
lepas-lepas memandang sela-sela batu: mencari batu akik.
Hasilnya, Rp 2000 - Rp 4000, lumayan sebagai penambah belanja.
Tapi, katanya, yang sekian itu belum cukup juga sekedar pembeli
koran. Sehingga sekian tahun di kota kecil, ia merasa tak
bertambah pengetahuannya, apalagi tantangan --kecuali kesulitan
uang -- dirasakannya kurang pula.
Semua itu membuatnya kikuk bergaul -- misalnya ketika ia harus
mengikuti penataran di Surabaya. "Rasanya seperti bukan sarjana
saja . . " Yang lebih dirisaukannya, "istri dan anak saya
mentalnya jadi persis orang desa."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini