HARI telah lewat tengah malam di desa Mlandangan, Klaten, Jawa Tengah ketika wajah pria 65 tahun itu tiba-tiba seperti kehilangan darah. "Saya ketua RT di sini. Ada apa sebenarnya," katanya memberanikan diri bertanya dengan suara gemetar. Di depannya, lima pria berbadan tegap berdiri dengan raut tanpa ekspresi. "Anda ketua RT? Kebetulan. Cepat Anda ketokkan pintu rumah itu," kata seorang di antara mereka.
Yang ditujuk adalah kediaman Muhammad Najib Nawawi, seorang warga desa yang dikenal dermawan. Hadi Komari, ketua RT itu, tak ingin banyak tanya. Ia tahu: orang-orang yang datang ke desanya malam itu bukan tamu biasa. Mereka mengaku dari Markas Besar Kepolisian RI dan Polsek Tulung, Klaten. Di belakang kelima orang itu berdiri beberapa polisi lain mengenakan pakaian preman dan menggenggam senapan laras panjang.
Segera Komari menuju rumah Najib. Di sana, tujuh polisi lainnya telah mengepung sekeliling rumah. "Mbak Siti. Mbak Siti. Saya Pak Komari," katanya mengetuk pintu. "Bapak mboten wonten Pak (Bapak tidak ada Pak)," kata suara perempuan bernama Siti seraya membuka gerendel pintu.
Ketika pintu terbuka sedikit, empat polisi yang tergabung dalam Tim Cobra Mabes Polri langsung berebut masuk. Mereka menuju kamar tidur di sebelah timur. Di ruangan berukuran 2x2,5 meter persegi itu, polisi menemukan orang yang paling dicari-cari aparat selama ini. "Kami berhasil menangkap Muchlas alias Ali Gufron. Dia terlibat langsung dalam kasus Bom Bali dan kasus pengeboman lainnya," kata Kepala Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri, Komisaris Jenderal Erwin Mapasseng.
Maka, akhir Ramadhan, Rabu pekan lalu, menjadi hari istimewa bagi polisi. Setelah mencokok Imam Samudra, kini polisi menangkap orang yang dipercaya merupakan atasan Imam. Tak hanya dituding terlibat dalam perencanaan bom Bali, Muchlas juga disinyalir merupakan petinggi Jamaah Islamiyah wilayah Asia Tenggara menggantikan Hambali yang kini kabarnya telah hijrah ke Pakistan. Jemaah Islamiyah adalah organisasi yang oleh polisi dan intelijen barat dituduh sebagai sel terorisme dan memiliki kaitan struktural dengan Al Qaidah.
Orang yang ditangkap polisi malam itu berbadan kecil. Tubuhnya tak tinggi meski gempal. Usianya sekitar 41 tahun. Di malam naas itu ia sedang tidur. Dan ketika polisi mencokoknya, ia melawan. Ketika mendengar suara ribut, pria itu tersentak dan meraup pistol FN 45 dari balik bantalnya. Polisi tak kalah sigap: mereka merebut pistol itu. Merasa kehilangan senjata, ia meraih gunting. Seorang polisi terluka terkena sabetan benda tajam itu. Situasi genting. Komari dengan jantung bergemuruh menunggu di luar. Dari dalam kamar terdengar teriakan Allahu Akbar. "Saya mendengar suara bak buk, seperti ada orang yang dipukuli, gedebuk gedebuk," kata Komari.
Tak lama kemudian, di antara keremangan malam, Komari melihat seorang pria digelandang ke luar rumah dengan dua jempol tangan diikat jadi satu. Ia segera diangkut dengan mobil Panther berplat B asal Jakarta.
Polisi mengaku tak terlalu sulit melacak buronannya. Info awal tentang sang buruan diperoleh aparat dari Makmuri alias Muri seorang warga Delanggu, Jawa Tengah yang disebut-sebut sebagai salah satu anggota komplotan bom Bali. Diinterogasi kurang dari 24 jam, Muri 'bernyanyi'. "Ia tak kuat menahan interogasi polisi," kata Mapasseng. Muri adalah guru mengaji Najib. Murilah yang menyuruh Najib untuk menerima Muklas di rumahnya. "Muri pula yang mengatur pelarian, mencarikan tempat tinggal untuk Umar kecil alias Patek alias Abdul Ghani dan Muchlas," kata Mapasseng. Umar adalah pelaku insiden Bali yang bertugas meracik bom.
Informasi tentang Muri diperoleh polisi setelah mereka menggeledah empat rumah di Sanggrahan dan Manang, Grogol, Jawa Tengah, sehari sebelum penangkapan Muchlas. Dari sana, polisi menangkap Muslim Kadir alias Supriyanto di sebuah rumah yang terletak di Gang Melon, Cemani, Sukoharjo. Dari Muslim Kadir, tim investigasi mendapatkan nama Muri. Dituntun Muslim, polisi bergerak ke Delanggu Klaten mencari Muri, orang yang sehari-hari bekerja sebagai pedagang buku. Tanpa kesulitan, polisi mencokok Muri yang saat itu sedang bersama Najib.
Semuanya dilaksanakan dalam waktu kurang dari 24 jam. Tak cuma menangkap Muchlas tapi juga sejumlah orang lain yang disinyalir ikut dalam komplotan pelaku bom Legian Bali lainnya (lihat tabel).
Tapi siapakah Muchlas, pria yang dipercaya polisi mereka tangkap malam itu? Pria bernama asli Ali Gufron ini adalah kakak Amrozi, pelaku pengebom yang sudah ditangkap sebelumnya. Selepas menimba ilmu dari sebuah SLTP di Lamongan, ia belajar agama di Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki, Sukoharjo pada 1979. "Karena Gufron lulusan SMP maka dia harus masuk ke takhossus terlebih dahulu," ujar salah seorang senior Gufron di Ngruki yang keberatan disebutkan namanya. Takhossus adalah sekolah persiapan bagi calon santri yang akan belajar di pondok untuk memperdalam bahasa Arab. Selesai takhossus, Gufron masuk ke Kulliyatul Mu'allimin Al-Islamiyah (KMI), sekolah untuk kader dakwah dan guru agama.
Gufron adalah murid langsung Abdullah Ba'asyir dan Abdullah Sungkar, sebelum kedua tokoh itu melarikan diri ke Malaysia karena dituduh memusuhi pemerintah Indonesia. Ba'asyir kini dalam tahanan kepolisian di Rumah Sakit polisi di Jakarta, sedangkan Sungkar telah wafat. Sejak awal Gufron memang menonjol meski ia tak cakap berkotbah. "Prestasi belajarnya sebenarnya tak istimewa, tapi ia menonjol dalam hal kepemimpinan," ujar sumber Ngruki tersebut. Gufron juga dinilai bagus dalam mata pelajaran bahasa Arab.
Tahun 1983, ia lulus dari Ngruki. Biasanya lulusan Mu'allimin wajib melakukan dakwah ke luar pondok. Tapi Gufron mendapat tugas mengajar bahasa Arab di Al Mukmin. Selain mengajar bahasa Arab, Gufron juga dipercaya menjadi wali santri di kelas takhossus. Meski dibenarkan sejumlah alumnus Ngruki, pengurus pesantren Al Mukmin membantah Gufron pernah belajar di pesantren itu. "Dia bukan lulusan Al Mukmin," kata Wahyudin, Wakil Direktur Al Mukmin.
Tak jelas ke mana Gufron setelah lulus dari Ngruki. "Saya kemudian kehilangan kontak dengan dia," kata sumber itu. Polisi menduga selepas dari Ngruki itulah Gufron melancong ke Malaysia dan menjadi radikal di sana. Laporan intelijen menyebutkan Gufron kini adalah Mantiki Ula atau pemimpin Jamaah Islamiyah Asia Tenggara. Menurut Mapasseng, kepada polisi Gufron bahkan telah mengakui tentang perannya dalam Jamaah Islamiyah. " Dia mengaku sebagai koordinator dan berkedudukan di Selanggor Malaysia," kata Mapasseng.
Dalam bom Bali, Gufron bertindak sebagai perencana. Pada bulan Juli-Agustus bersama Imam Samudra, Ali Imron, Amrozi dan Dul Matin, Muchlas mengadakan rapat pematangan sebanyak dua kali di sebuah rumah di Sukohardjo dan di Pabelan, Solo, Jawa Tengah.
Menurut Kepala Tim Investigasi Bom Bali, Irjen Polisi I Made Mangku Pastika, dari Gufron pula dana operasi disalurkan. Gufron mendapat uang dari seorang warga Malaysia bernama Wan Min. Uang sebesar US$ 30 ribu (sekitar Rp 270 juta) diberikan dalam dua termin masing-masing US$ 15 ribu. "Dana itu diberikan secara tunai bukannya dengan transfer rekening," kata Pastika. Menurut Pastika, Wan Min kini ditahan Polisi Diraja Malaysia.
Polisi hakul yakin jika yang mereka tangkap adalah Ali Gufron. Tapi, advokat dari Tim Pembela Muslim (TPM) meragukannya. Mereka menduga polisi keliru karena menyangka Ali Imron sebagai Ali Gufron. Gufron adalah kakak Imron, tersangka lain bom Bali yang juga sedang buron. Sedangkan Imron adik Amrozi.
"Wajah keduanya memang mirip," kata Mahendradatta dari TPM kepada Candra Dewi dari TEMPO.
Informasi penangkapan Gufron simpang siur. Erwin Mapasseng meyakini yang ditangkapnya adalah Ali Gufron. Tapi kepada wartawan, Kapolda Jawa Tengah Irjen Polisi Didi Widayadi menyatakan yang ditangkap adalah seorang tersangka berinisial AI. Beberapa polisi di Polda Jawa Tengah menyatakan yang ditangkap adalah Ali Imron. Dalam sebuah dokumen yang terdapat di Markas Polsek Tulung, Klaten, yang sempat dilihat TEMPO. tertulis bahwa Tim Cobra Mabes Polri telah menangkap Ali Imron, bukan Ali Gufron.
Agak aneh jika Gufron yang radikal dan merupakan pemimpin tertinggi, terlalu cepat "bernyanyi" kepada polisi. Hanya dalam waktu beberapa hari ia sudah mengaku semua aktivitasnya _ sesuatu yang bahkan tak dilakukan Imam Samudra, bawahan Ali Gufron.
Konformasi langsung sulit dilakukan. Polisi menyembunyikan "Gufron" entah di mana. Pengacara TPM juga tidak diizinkan bertemu. Satu-satunya kepastian adalah jika kelak Gufron dipertemukan dengan Imam Samudra dan Amrozi, lalu pengkuan keduanya dirilis kepada wartawan. Rencananya baru pekan ini "Gufron" akan dipertemukan dengan keduanya di Bali. Agar jelas, masalahnya. Bukan cuma mencocokkan, diakah Muchlas kakak Amrozi. Tapi juga sekaligus diakah otak di balik gerakan Imam Samudra yang mengebom Bali atas nama jihad dan syuhada.
Arif Zulkifli, Imron Rosyid (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini