Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KONGRES Rakyat Riau (KRR) II, yang berlangsung selama empat hari (30 Januari-2 Februari 2000), dianggap telah selesai dengan hasil pilihan opsi ”merdeka secara damai”. Namun, kini banyak pihak mempertanyakan legitimasi hasil kongres tersebut. Gugatan tersebut datang tidak hanya dari mereka yang bukan masyarakat Riau, tapi justru dari masyarakat Riau sendiri, bahkan dari peserta kongres itu sendiri, termasuk saya sebagai putra asli provinsi tersebut.
Meskipun tidak secara langsung—hanya melalui pemberitaan berbagai media massa (baik cetak maupun elektronik)—saya berupaya mengikuti perkembangan kongres tersebut dari awal hingga berakhirnya kongres. Saya mencoba menangkap dan menghayati makna yang tersurat dan tersirat dari kongres tersebut, baik berupa tanggapan dan pendapat maupun yang bersifat kajian dan analisis terhadap penyelenggaraan kongres tersebut.
Latar belakang dan hakikat diadakannya kongres tersebut adalah mencari solusi dari berbagai permasalahan (rasa ketidakadilan) atas perlakuan pemerintah pusat terhadap daerah, yang notabene merupakan dampak dari sistem sentralisasi yang dijalankan oleh pemerintahan rezim Orde Baru, yang berkuasa lebih dari 32 tahun. Sejak digulirkannya era reformasi, pemerintah berusaha melakukan koreksi sekaligus perbaikan terhadap berbagai kekeliruan yang telah dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru.
Maksud diadakannya kongres tersebut bukan untuk menimbulkan masalah baru yang justru membawa perpecahan—baik di kalangan masyarakat Riau sendiri maupun sebagai bagian integral dari satu kesatuan bangsa Indonesia. Karena itu, melalui forum ini, saya mengimbau seluruh masyarakat Riau, baik yang berada di Provinsi Riau maupun yang berada di perantauan, agar sama-sama menyadari serta menghilangkan sifat arogan dan mau menang sendiri, sehingga terhindar dari perpecahan yang justru akan menghilangkan makna dan tujuan pelaksanaan kongres itu sendiri.
Benarkah masyarakat Riau ingin merdeka? Jawabannya tidak perlu melalui referendum. Kongres Rakyat Riau II telah memberikan jawabannya. Meskipun keputusan kongres tersebut memiliki dampak secara politis, ”kelompok pemilih opsi merdeka” yang mengklaim dirinya sebagai pemenang tidak dapat mengatakannya sebagai wujud keinginan rakyat. Dengan menggunakan logika berpikir sesederhana apa pun, siapa pun dapat menilainya. Berdasarkan daftar hadir, sesuai dengan persyaratan peserta yang telah ditentukan panitia dan disepakati oleh kongres itu sendiri, tercatat 2.003 peserta sebagai utusan dari daerah tingkat II dan wakil dari kelompok masyarakat yang telah ditentukan sebagai perwakilan dari 4,5 juta masyarakat Riau (hanya 0,044 persen). Dan dari jumlah peserta itu sendiri, mahasiswa lebih mendominasi ketimbang tokoh masyarakat yang justru sebagai tokoh representatif, sebagai wakil masyarakat. Sejak awal, disepakati bahwa kongres tersebut bertujuan mencari suatu solusi. Namun, dalam perjalanannya, peserta kongres dihadapkan pada tiga pilihan, yaitu merdeka, otonomi luas, atau federal, yang diprakarsai oleh kelompok mahasiswa. Dan kongres pun mulai memanas.
Sebagai wujud penolakan terhadap perubahan agenda kongres tersebut, peserta utusan dari empat kabupaten, yaitu Kepulauan Riau, Karimun, Natuna, dan Batam, ditambah peserta dari utusan kelompok lainnya, menyatakan mengundurkan diri sebagai peserta kongres. Dan meskipun peserta kongres hanya tersisa 623 orang atau cuma 31,1 persen dari jumlah 2.003 peserta, kongres tersebut dipaksakan untuk terus berlangsung. Namun, kesepakatan tidak juga tercapai. Dan akhimya, dimotori oleh mahasiswa, untuk mendapatkan suatu hasil kongres, dilakukanlah voting terhadap ketiga opsi tersebut. Hasilnya, 270 (44,8 persen) memilih merdeka, 199 memilih otonomi, 146 memilih federal, dan delapan suara abstain.
Jika demikian, sahkah hasil voting tersebut ? Dan dapatkah hasil voting tersebut dikatakan sebagai hasil kongres? Apalagi jika diklaim sebagai kehendak masyarakat Riau? Sungguh naif. Meskipun hasil kongres tersebut sesuatu yang naif, saya mengimbau pemerintah pusat hendaknya dapat mengambil hikmahnya, bahwa perlu segera diambil langkah-langkah konkret dalam menyelesaikan masalah tersebut.
NUZIRWAN
Joglo, Jakarta Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo