Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sulitnya Koordinasi Ekonomi

20 Februari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anggito Abimanyu
Dosen Fakultas Ekonomi UGM dan anggota Dewan Ekonomi Nasional RI

DALAM berbagai kesempatan, banyak kalangan, baik dari dalam maupun luar lingkungan pemerintahan, melihat lemahnya koordinasi antarkebijakan, sektoral dan departemental, di bidang ekonomi sebagai salah satu hambatan dalam pelaksanaan program pemulihan ekonomi. Padahal, sudah ada kantor Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri. Kepada merekalah sebenarnya koordinasi digantungkan. Ada beberapa alasan yang bisa membenarkan sekaligus menjadi alasan mengapa koordinasi memang lemah, paling tidak ada kesan yang kuat bahwa sektor dan departemen perencanaan dan operasional berjalan sendiri-sendiri. Pertama, karena kompleksitas masalah dan warisan masalah dari rezim sebelumnya. Pemerintahan duet Abdurrahman Wahid dan Megawati mewarisi masalah ekonomi yang demikian kompleks, dan pertaliannya dengan aspek politik, sosial, regional, hukum, dan administrasi sangatlah erat. Padahal, pada masa lalu, bidang-bidang tersebut dan keeratan hubungannya tidak diperhatikan. Kedua, para menteri di bidang ekonomi (ekuin, keuangan, perdagangan, dan BUMN, khususnya) relatif masih belum berpengalaman dan mempunyai latar belakang afiliasi politik yang berbeda pula. Masalah yang dihadapi kabinet Abdurrahman memang jauh lebih kompleks dan pada umumnya bersifat cross-cutting (lintas sektoral dan regional) daripada sebelumnya. Ini yang berbeda dari rezim sebelumnya. Penyusunan RAPBN 2000, misalnya, penuh dengan implikasi pada bidang seperti moneter-perbankan, perdagangan, sektor riil, dan otonomi daerah, di samping sisi fiskalnya. Terjadinya inflasi sebagai akibat dari pengurangan subsidi pada sisi fiskal, misalnya, akan berpengaruh langsung pada program rekapitalisasi perbankan dan kebijakan serta sektor lainnya. Masalahnya bertambah kompleks karena sekarang Bank Indonesia, yang menjadi penjaga tingkat inflasi, sudah independen. Pelaksanaan otonomi daerah (Undang-Undang No. 22 dan 25 Tahun 1999) juga harus didiskusikan dalam jajaran Menko Ekuin, Polkam, dan Kesra sekaligus, padahal Menteri Negara Otonomi Daerah berada dalam koordinasi Menko Polkam. Yang lebih rumit, eksistensi Menteri Otonomi Daerah tidak ada dalam Keppres No. 67/1999 sebagai pelaksana UU No. 22 dan 25 tersebut. Maka, sampai hari ini mereka kurang efektif mempersiapkan pelaksanaan otonomi daerah. Demikian juga dengan kebijakan pengentasan masyarakat dari kemiskinan yang selama ini bernaung dalam koordinasi Menko Kesra, padahal aspek ekonomi (misalnya JPS) dikendalikan dalam koordinasi Menko Ekuin. Koordinasi tidak hanya terjadi pada level menteri tetapi juga pada pembantunya, dan ini sebenarnya sudah terjadi sebelumnya karena pada umumnya mereka tidak berubah banyak. Tetapi fungsi menteri sebagai ujung tombak pengambil kebijakan tetap sangat penting. Sebab, di tangan dialah suatu keputusan harus dieksekusi untuk kemudian dipertanggungjawabkan. Pada akhirnya, dirigen dari koordinasi pemerintahan ada di tangan presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di bidang pemerintahan. Masalahnya, seperti yang sering diungkapkan, Abdurrahman Wahid sadar bahwa dirinya kurang lihai di bidang ekonomi teknis, dan tentunya tidak pada tempatnya mengharapkan kepala negara untuk masuk dalam area yang detail, operasional, dan ekonomis-teknis. Penuntasan persoalan politik-hukum (termasuk hak asasi manusia dan TNI), keamanan, dan internasional pada saat ini memang harus mendapat prioritas utama, yang akan memberikan kepercayaan pada stabilitas ekonomi dan investasi. Bisa disimpulkan, berkat perlawatannya ke luar negeri yang sangat luas, Abdurrahman sekarang mendapat dukungan politik yang lebih besar ketimbang dalam negeri. Di dalam negeri, ia masih the lone samurai warrior. Sekarang yang diisukan adalah reshuffle kabinet. Misalnya, Laksamana Sukardi akan diganti oleh Rozy Munir dan Laksamana akan dijadikan Gubernur BI. Ada juga yang menggunjingkan bahwa Gus Dur sudah tidak terlalu puas dengan kerja Ekuin karena Menko Ekuin mempunyai obsesi mau menggantung sejumlah bos konglomerat besar yang menipu negara. Ia jauh lebih suka rekonsiliasi dan kompromistis. Ada juga gunjingan bahwa Gus Dur berpikir untuk menghapus jabatan menteri koordinator karena menambah persoalan saja. Kalau ini terjadi, Kwik Kian Gie akan menjadi korbannya, sengaja atau tidak. Bagaimanapun, koordinasi ekonomi lewat Menteri Kwik tetap penting karena ibarat sebuah orkestra musik konser, masternya, yakni Menko Ekuin, tetap diperlukan karena komposisi yang dimainkan harus harmonis dan serasi. Mengambil padanan pada orkestra musik, masalahnya para pemain musiknya ingin bermain dalam irama dan nada yang berbeda-beda. Gus Dur sebagai dirigen utama, misalnya, ingin memainkan Symphony No. 9 karya Beethoven yang sangat artikulatif dan komprehensif, tapi para pembantunya berkeberatan, bahkan kurang memahaminya. Pada prinsipnya, pembantu harus tunduk dan memahami keinginan dirigennya. Jadi, dalam koordinasi, yang penting adalah adanya tujuan dan prioritas yang secara prinsipiil sama, kepemimpinan di tingkat paling atas dan operasional yang punya visi dan berwibawa, serta saling pengertian di antara individu pelaksana. Dan saat ini, kita memiliki itu semua.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum