Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adrianus Meliala
Kriminolog UI
Hak asasi manusia adalah isu modern yang mengemuka dalam beberapa dekade terakhir. Karena itu, sebagai gagasan, ia bisa disejajarkan dengan berbagai gagasan lain yang juga relatif baru bagi khalayak di Indonesia, misalnya menyangkut globalisasi, tata perekonomian dunia baru, ekolabeling, ataupun gagasan tentang pencegahan pemanasan bumi.
Profil gagasan-gagasan mutakhir tadi juga kurang lebih sama, yakni datang dari "Barat" serta mengasumsikan adanya situasi yang relatif homogen di semua belahan dunia. Anggapan perihal kehomogenan tersebut menjadikan Barat cenderung beranggapan masyarakat-masyarakat lain juga berpandangan sama tentang apa yang mereka anggap penting.
Kontras dengan situasi-situasi tersebut, muncul pula situasi lain yang kurang kondusif berupa munculnya beberapa anggapan. Di antaranya bahwa segala yang datang dari Barat mewakili "mereka", yang tidak sama dengan "kita", bahwa terdapat perbedaan situasi yang dihadapi antarnegara-negara, serta bahwa terdapat nilai-nilai setempat atau kebiasaan-kebiasaan tingkat lokal yang sebenarnya relevan saat dihadapkan pada situasi sekarang.
Hak asasi manusia pun mengalami situasi ketika ia dirasakan tidak membumi, apalagi mengakar. Seolah-olah ia jatuh dari langit, dan belakangan membikin kisruh Indonesia. Akibatnya, secara umum, suasana kemasyarakatan kita belum kondusif bagi perkembangan hak asasi.
Ingat saja cara pemerintah Orde Baru, yang dalam rangka menangkis tuduhan-tuduhan pelanggaran hak asasi secara konsisten menyatakan bahwa hak asasi itu hasil pemikiran Barat dan masyarakat Indonesia memiliki nilai-nilai Timur yang amat mungkin tidak cocok dengan hak asasi ala Barat tadi. Di pihak lain, selama ini telah telanjur muncul kesan bahwa pihak Barat memaksakan pendekatan hak asasi dalam interaksinya dengan Indonesia, misalnya tekanan pemerintah Amerika Serikat melalui bantuan pendidikan militer, Belanda melalui proyek IGGI, ataupun Australia dalam kasus Tim-Tim, yang secara silih berganti pernah kita rasakan.
Kini, era tersebut telah berlalu. Pemerintah Indonesia, juga masyarakat luas, telah bersedia mengakui bahwa sebenarnya tidak ada hak asasi milik orang barat atau hak asasi orang timur. Sebab, ketika berbicara mengenai hak untuk merdeka atau hak untuk bebas dari rasa takut, misalnya, bukankah itu adalah hak-hak bagi siapa saja?
Walau dikatakan tak ada beda antara hak asasi versi Barat dan Timur, seyogianya tak menjadikan pendekatan ini kehilangan warna lokal sehingga kehilangan kemampuan untuk mengakar. Dengan kata lain, pendekatan ini bisa disepakati sebagai pendekatan yang universal dan standar dalam menjalankan dan menilai tata-cara hubungan antaranggota masyarakat serta antarmasyarakat dan negara, justru karena pendekatan hak asasi memiliki "kontekstualitas" dengan permasalahan, nilai, atau kultur setempat.
Warna lokal yang dimaksud di sini sebagian besar berupa adanya unsur-unsur hak asasi yang berkembang dalam adat-istiadat setempat (local custom) serta kebiasaan setempat. Penghargaan dari banyak kelompok adat terhadap wanita, kebencian akan perbudakan, serta orientasi yang tinggi dari kalangan adat terhadap pendidikan adalah beberapa contoh kecil keselarasan nilai-nilai adat dengan nilai-nilai hak asasi manusia.
Jika nilai-nilai yang selaras tadi dieksplorasi sesuai dengan konteks masyarakat adat di wilayah tertentu, dapat dipastikan hak asasi dalam waktu singkat akan menjadi sesuatu yang dekat di masyarakat. Hasilnya bisa kita rasakan dalam jangka pendek ataupun panjang. Hasil jangka pendek adalah membaiknya kualitas hubungan antaranggota masyarakat, sedangkan hasil jangka panjang terlihat apabila ada salah seorang warga masyarakat adat setempat menduduki posisi yang memungkinkannya melanggar hak asasi (entah sebagai penguasa, pengusaha, dan lain-lain), tetapi tidak melakukannya karena telah kentalnya sosialisasi nilai-nilai tadi pada masa lalunya.
Permasalahannya adalah tidak semua nilai-nilai budaya lokal tadi sejalan dengan nilai-nilai hak asasi. Tradisi patrimonial, demikian pula tradisi guyub (dalam peguyuban), misalnya, bisa dianggap tidak sejalan dengan hak asasi untuk menentukan nasibnya sendiri serta hak untuk bebas berpendapat.
Sampai di sini belum ada rumusan, apakah nilai budaya yang tidak sejalan dengan ide hak asasi itu sepantasnya tidak usah dieksplorasi alias dibiarkan saja. Atau, mungkin ada baiknya nilai budaya tadi justru perlu diintervensi sedemikian rupa sehingga dapat bernegasi dengan nilai-nilai adat yang sejalan dengan pendekatan hak asasi. Selanjutnya juga perlu dipikirkan apakah kebiasaan atau nilai-nilai lokal yang tidak sejalan dengan hak asasi itu hanya akan dibiarkan sebagaimana adanya (syukur-syukur kalau terjadi perubahan sosial) atau diintervensi dengan kemungkinan berubah.
Pengertian lokalitas dalam gagasan hak asasi manusia juga bisa diperluas, yakni berkaitan dengan wilayah yang bisa berarti lingkungan pekerjaan, sekolah, fungsi, atau bidang kegiatan. Warna lokal juga bisa dimengerti dalam artian "tempat" seperti pasar, sekolah, ataupun setingkat arisan ibu-ibu. Sebagaimana dimafhumi, selain di tempat-tempat tersebut selalu terkonsentrasi orang dalam jumlah relatif besar, terbentuk pula "budaya", walau hanya lokal sifatnya. Di tempat-tempat tersebut juga selalu mungkin muncul apa yang dinamakan pelanggaran hak asasi, walau tingkatnya hanya lokal pula.
Sosialisasi hak asasi manusia tidak akan bisa tercapai kalau hak asasi itu tidak dicoba untuk diinterpretasikan secara amat praktis dan sehari-hari. Bila itu telah terjadi, tanpa disadari pendekatan hak asasi akan menjadi sesuatu yang sehari-hari digeluti masyarakat. Sehingga, bila kemudian ada pelanggaran hak asasi berat, yang dilakukan tentara, misalnya, tidak perlu ada pihak yang kaget setengah mati ataupun mengaku tidak mengerti apa-apa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |