Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

<font face=arial size=2 color=#FF0000>Tempo Doeloe</font><br /> Belanja ke Toserba Negeri Singa

6 Agustus 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INDONESIA rupanya telah lama terkenal sebagai negeri orang yang suka belanja. Tak hanya di dalam negeri, mereka mengejar kepuasan berbelanja hingga ke mancanegara. Data terakhir, pada 2011, jumlah wisatawan Indonesia yang berkunjung ke Singapura mencapai 3,5 juta orang, jauh lebih banyak dibanding turis dari negara lain. Konon, mereka datang untuk berbelanja.

Majalah Tempo edisi 30 Desember 1978 pernah menyo­roti fenomena warga Indonesia sebagai tukang belanja di Singapura. Diceritakan, meski merupakan salah satu negara terkecil di dunia, Singapura kala itu menjadi tujuan utama pelancong asal Indonesia. Mereka tak datang untuk melihat koleksi batu giok keluarga Haw dan Par atau benteng di Pulau Sentosa, yang memiliki ratusan meriam peninggalan perang. Bukan itu. Bagi turis Indonesia, Singapura adalah sebuah toserba yang besar.

Kegemaran belanja masyarakat Indonesia itu tampaknya ditangkap dengan baik oleh agen perjalanan, pengusaha hotel, dan tentu saja tempat-tempat belanja di Singapura. Sudah jamak bila agen perjalanan memberi referensi tempat-tempat belanja untuk dikunjungi, plus nasihat khusus bagi setiap turis Indonesia: “Berbelanjalah sepuas-puasnya." Sebuah nasihat yang tak pernah diberikan kepada turis dari negara lain.

Pusat belanja di sana berlomba memanjakan ­pe­-ngunjung dari Indonesia. Tak hanya pelayan yang berbahasa Melayu, setiap mode yang menjadi tren di Indonesia akan selalu menjadi pajangan utama. Ketika masyarakat Indonesia sedang gandrung sepatu merek Kickers, misalnya, toko sepatu di sana ramai-ramai menjualnya. “Coba di mana pasaran sepatu Kickers kecuali sengaja dijual untuk bangsa kita?" ujar seorang pejabat KBRI Singapura kepada Tempo ketika itu.

Biasanya, Desember adalah saat puncak bagi turis Indonesia menghabiskan uang di Singapura. Pada hari-hari itu, tempat belanja di sepanjang Jalan Orchard, seperti C.K. Tang, Lucky Plaza, dan Yaohan, penuh sesak. Cukup dengan tulisan big sale atau special discount 20-50% saja, tempat-tempat itu akan diserbu pembelanja dari Indonesia.

Pada musim belanja itu pula semua hotel di Singapura penuh. Untuk bisa dapat kamar mesti memesan jauh-jauh hari melalui agen perjalanan. Penerbangan Indonesia ke Singapura pun padat. Garuda menambah jadwal penerbangan ekstra beberapa kali sepekan. Agen perjalanan seperti Musi Holiday sampai harus mencarter pesawat sendiri untuk mengangkut 3.000 turis yang ingin berakhir tahun di Singapura.

Pada 1970-an itu, rata-rata 300 ribu turis Indonesia membanjiri Singapura tiap tahun, membelanjakan uang sekitar US$ 1.000 per orang. Perputaran uang dari turis Indonesia di Singapura paling banyak dibanding turis dari negara mana pun.

Hotel bertaraf internasional, seperti Holiday Inn, Hyatt, Merlin Cockpit, dan Peninsula, berlomba menata suasana se-Indonesia mungkin. Dari penerima tamu, tukang angkat barang, sampai pelayan lift, semuanya berbahasa Melayu, untuk melayani turis Indonesia. Masakan khas Indonesia juga menjadi sajian utama di sana. Tujuannya agar tamu Indonesia merasa seperti di rumah sendiri, lebih betah tinggal, dan tentu membelanjakan uang lebih banyak lagi.

Hasrat berbelanja itu bahkan tak terbendung oleh Kebijakan 15 November (dikenal sebagai Kenop 15), ketika pemerintah mendevaluasi rupiah menjadi Rp 625 per US$ 1. Rupiah boleh melemah, biaya wisata ke luar negeri boleh makin mahal, jumlah turis asal Indonesia di Singapura tetap paling besar.

Ini kebalikannya: meski Kenop 15 menyebabkan rupiah melemah terhadap dolar dan biaya berlibur di Indonesia makin murah bagi turis mancanegara, wisatawan asing tetap saja sepi. Pengunjung Bali, yang merupakan pulau wisata andalan Indonesia, tak banyak bertambah. Yogyakarta, kota turis kedua setelah Bali, malah lebih sepi dibanding tahun sebelumnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus