Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Di Ambang Cicak-Buaya II

6 Agustus 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sungguh aneh sikap polisi yang nekat menyidik korupsi proyek simulator untuk ujian pengemudi. Petinggi kepolisian semestinya sadar, publik kurang percaya akan keseriusan korps berbaju cokelat ini dalam membongkar korupsi yang melibatkan jenderal polisi. Penyidikan itu juga terancam cacat hukum karena menabrak wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi, yang lebih berhak menyidik kasus ini.

Kepolisian terkesan pula berupaya merintangi langkah komisi antikorupsi, hal yang bisa dikategorikan sebagai obstruction of justice alias menghambat penegakan hukum. Pekan lalu, mereka sempat menyandera selama 20 jam barang bukti hasil penggeledahan penyidik KPK di kantor Korps Lalu Lintas di Jakarta Selatan. Padahal Komisi jelas memegang surat izin dari pengadilan. Lembaga ini juga telah memulai penyidikan korupsi proyek simulator untuk ujian pemohon surat izin mengemudi. Ini ditandai dengan penetapan Inspektur Jenderal Djoko Susilo, bekas Kepala Korps Lalu Lintas yang kini jadi Gubernur Akademi Kepolisian, sebagai salah satu tersangka kasus pengadaan simulator senilai Rp 196,87 miliar itu.

Polisi berdalih barang bukti itu juga mereka perlukan karena sedang mengusut kasus yang sama. Alasan ini janggal lantaran sebelumnya tak ada tanda-tanda polisi serius menelisiknya, ketika April lalu majalah ini mengungkap korupsi proyek simulator. Bahkan kepolisian kemudian mengeluarkan hak jawab membantah liputan panjang Tempo dengan menyatakan tidak ada korupsi dalam proyek itu.

Akhirnya polisi memang mengizinkan barang bukti dibawa oleh penyidik KPK. Hanya, pertikaian di antara dua lembaga ini belum mereda karena beberapa hari kemudian kepolisian juga mengumumkan penetapan tersangka korupsi proyek simulator. Beberapa nama tersangka bahkan sama dengan yang dibidik KPK. Bedanya, polisi belum menyentuh Djoko.

Kesepakatan bersama yang dibikin kepolisian, kejaksaan, dan KPK pada Maret 2012 rupanya menjadi alasan pembenar. Salah satu butir kesepakatan ini, lembaga penegak hukum yang lebih dulu menyelidiki suatu kasuslah yang lebih berhak menanganinya. Polisi mengklaim langsung menyelidiki kasus itu setelah Tempo memuat tulisan tentang proyek simulator. Tapi, masalahnya, KPK mengaku jauh sebelum itu telah menyelidikinya.

Poin kesepakatan itu juga menjadi mentah karena Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi mengatur masalah tumpang-tindih penanganan kasus secara lebih lugas. Kuncinya pada tahap penyidikan, bukan penyelidikan. Pasal 50 undang-undang ini menyatakan KPK lebih berwenang menangani kasus korupsi yang secara bersamaan juga disidik oleh kepolisian atau kejaksaan. Bahkan polisi atau jaksa wajib menghentikan penanganan kasus yang juga disidik komisi antikorupsi.

Undang-undang itu jelas memberi wewenang kepada Komisi untuk mengusut kasus korupsi yang melibatkan penegak hukum. KPK diberi tugas ini karena korupsi di suatu instansi penegak hukum selalu sulit ditangani instansi itu sendiri. Susah dibayangkan, misalnya, penyidik kepolisian memeriksa secara serius jenderalnya yang terlibat korupsi. Padahal, di banyak negara, termasuk Indonesia, korupsi justru merajalela di kalangan penegak hukum.

Derajat sebuah kesepakatan yang dijadikan pijakan kepolisian tentu jauh di bawah undang-undang. Apalagi cuma soal etika, yang selama ini dipersoalkan polisi. Misalnya, mengapa komisi antikorupsi tak memberi tahu pimpinan kepolisian ketika menjerat Djoko sebagai tersangka.

Risiko besar justru muncul bila polisi tidak mau mengalah. Tak hanya melanggar undang-undang, kepolisian akan dituding berupaya melindungi para jenderalnya sehingga emoh melepas kasus itu. Sikap ngotot polisi juga akan memancing pertikaian berkepanjangan ala "Cicak versus Buaya" yang terjadi beberapa tahun lalu. Istilah ini muncul ketika komisi antikorupsi berupaya mengusut korupsi seorang jenderal polisi. Korps kepolisian kemudian berbalik menyerang "Cicak" dengan mengkriminalkan pejabat KPK.

Bisa dibayangkan, jika hal serupa meletik lagi, pamor kepolisian akan semakin babak-belur. Polisi dianggap defensif terhadap upaya pemberantasan korupsi di lembaganya. Selama ini pun khalayak melihat kepolisian tak serius menangani kasus dugaan korupsi di korpsnya, misalnya kasus rekening gendut yang melibatkan jenderal.

Itu sebabnya, penting sekali untuk lekas menyetop kenekatan polisi. Dewan Perwakilan Rakyat semestinya turun tangan menengahi konflik ini. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun tidak boleh diam karena Polri berada di bawah kekuasaannya. Dalih yang kerap disampaikan bahwa Presiden tidak boleh mencampuri urusan hukum tak relevan. Campur tangan dalam materi kasus memang dilarang. Tapi rakyat akan bertanya-tanya bila Presiden membiarkan kepolisian menabrak undang-undang sekaligus menggangsir wewenang KPK.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus