Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARI-HARI ini kita boleh tertegun melihat musikus mancanegara datang silih berganti. Tapi semarak pertunjukan panggung sesungguhnya sudah dimulai tiga dekade silam. Di tempat yang sama ketika konser Lady Gaga batal digelar, pada awal Januari 1979, Guruh Sukarno Putra menggelar pertunjukan musik spektakuler di Gelora Senayan, Jakarta.
Didukung seratus musikus, pertunjukan itu digelar dua hari berturut-turut. Ribuan tiket ludes terjual. Harga tiketnya Rp 3.000-8.000. Pertunjukan menelan biaya Rp 53 juta. Untuk ukuran saat itu, pertunjukan yang digelar anak mantan presiden tersebut terbilang mewah.
Pertunjukan itu, beserta aksi di balik panggung, menjadi laporan utama majalah Tempo 13 Januari 1979. Rupanya, ada ambisi patriotisme dalam kumpulan lagu-lagu Guruh yang dibawakan dengan tari itu. Ada semangat eksperimen memadukan gamelan dengan musik klasik dan pop.
"Sejak kecil, saya memang memimpikan sebuah pertunjukan seperti di Broadway, Lido, dan Moulin Rouge di Prancis atau Opera Peking," kata Guruh. Ia juga menyebut Hollywood, Walt Disney, dan Takaratsuka di Jepang.
Kiprah Guruh bermula setelah lagunya, Renjana, menang dalam Festival Lagu Populer Indonesia 1975. Dengan mengantongi sejumlah lagu, ia bertemu dengan Johny Lantang, yang punya kelompok anak sekolah yang gandrung bermain folk song. Dari situ, dibentuk Swara Maharddhika: suara yang hebat, perkasa, dan merdeka.
Guruh lalu berangan-angan menggelar konser. Harga mimpinya ternyata terlalu mahal. Mula-mula diperkirakan hanya Rp 7 juta. Tapi, setelah panitia kecil dibentuk, angka itu membengkak jadi Rp 20 juta. Kawan-kawan Guruh tertegun. Untung ada Guntur, kakak sulungnya, yang membawa rencana itu ke Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi). Orang Hipmi ketawa melihat angka itu.
Tapi mereka tertarik. Dari hasil perhitungan, dipastikan biayanya tak kurang dari Rp 53 juta. Hipmi langsung membuka dompet, menyediakan Rp 25 juta untuk modal awal. Sisanya dari kantong sponsor.
Tak kurang dari 26 orang bergerak dalam kepanitiaan. Bekerja tidak semata-mata karena honor, melainkan oleh dorongan solidaritas. Sulit ditentukan apakah ini dijiwai oleh idealisme musik atau karisma Guruh. Ia juga mengumpulkan banyak musikus muda paling laris pada masa itu, di antaranya Keenan Nasution, Chrisye, Yockie, dan Ahmad Albar.
Setelah ada modal, didampingi Junaedi Salat dan Ronny Harahap, Guruh membawa Swara Maharddhika membuat rekaman di Studio Gelora Seni. Sebagian pertunjukan dilangsungkan secara play-back. "Untuk pementasan yang dilakukan oleh anak-anak yang masih sekolah, kalau tidak play-back, risikonya terlalu besar," kata Chrisye.
Sadar pada kualitas suara yang masih kurang, Guruh menetapkan penampilan harus didukung kostum yang keren dan gerak yang menarik. Tata sandang direncanakan dengan cermat. Kuncir hias kepala, misalnya, supaya tidak kalah dengan rombongan Royal Family di Eropa, langsung dibeli dari Paris. Untuk gerak, setiap hari Guruh sibuk mencari perpaduan dari tari Bali, Jawa, Melayu, dan gerak kungfu.
"Saya merasa sebagai pekerja saja. Saya percaya, unsur-unsur yang lemah kalau dipadu bisa jadi kekuatan," kata Guruh. Usaha yang berbuah hasil gemilang.
Karena itu, ia tidak menolak pertunjukannya dianggap tontonan anak gedongan. Ia menyadari telah dibesarkan di lingkungan itu. "Bagi saya, memang sebaiknya kita harus memulai dari atas kalau mau memperbaiki moral di negeri ini." Sebaliknya, ia juga merasa harus merakyatkan tontonannya yang mewah tersebut. Karena itu, pintu Balai Sidang dibuka gratis untuk anak-anak yatim, keluarga veteran, serta penderita cacat untuk menyaksikan geladi resik, persis sehari sebelum pementasan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo