Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lima kapal tua berderet di pesisir Pantai Batu Porron, Desa Kamal, Kabupaten Bangkalan, Madura, Ahad sore tiga pekan lalu. Dua dari lima kapal itu hanya menyisakan bagian dek mesin bawah, tiga lainnya tinggal separuh bagian depan. Beberapa pekerja dengan las listrik mengiris-iris mereka menjadi lembaran baja. Lalu sepotong demi sepotong lembaran itu ditenteng mesin katrol menuju timbangan.
Pelat baja itu kemudian diangkut truk ke Surabaya untuk dilego ke pabrik peleburan. "Di sini hanya motong, gudangnya ada di Surabaya," kata Roji, 60 tahun, salah satu pekerja senior di dermaga barat Pantai Kamal. Ia bersama kelompoknya—biasanya 7-10 pekerja—tengah menggarap satu kapal berukuran 1.000 ton hari itu. Mereka diupah Rp 300 per kilogram baja.
Kawasan di pantai ini memang selalu ramai. Puluhan pekerja sibuk memutilasi bangkai kapal beragam ukuran. Apalagi kalau banyak tanker dan pengangkut kontainer uzur yang sandar di dermaga. Orang Bangkalan menjuluki Pantai Kamal sebagai "tempat penyembelihan kapal".
Lokasi pemotongan kapal Pantai Kamal terbagi menjadi dua, yakni dermaga barat dan timur. Di dermaga barat, izin pengelolaannya dipegang PT Handoko. "Semua pengusaha yang hendak membongkar kapal harus seizin saya," kata Direktur Utama PT Handoko Haji Abdul Karim.
Aba Dul Karim—sapaan Abdul Karim—adalah pengusaha besi tua sukses. Pria kelahiran 7 April 1967 ini masyhur sebagai salah satu orang terkaya di Bangkalan. Berbeda dengan pengusaha besi tua asal Madura lainnya yang tinggal di Surabaya, Abdul Karim memilih menetap di desanya. "Saya punya gudang dan pegawai di Surabaya," katanya kepada Tempo.
Bisnis besi tua baru dirintisnya pada 1997 hanya dengan modal awal Rp 5 juta. Tapi ia memulainya tepat waktu. Sesaat sebelum badai krisis moneter itu, harga besi hanya Rp 1.700-an per kilogram. Dengan uang Rp 5 juta saja, dia bisa membeli 3 ton atau sekitar satu kontainer besi tua. Begitu krisis menghantam, harga besi tua justru semakin kinclong, mencapai Rp 2.700 per kilogram. Dul Karim pun keranjingan hingga berburu besi ke Kalimantan, Sulawesi, bahkan Singapura.
Tambahan modal tak sulit didapat karena beberapa bank membuka pintu. Ia berani membeli tanker tua atau kapal karam dengan harga miliaran rupiah. Dari sukses besi tua, kini bisnisnya telah merambah ke sektor properti dan minyak. "Bukan mau sombong, aset saya sekarang dimakan anak-cucu masih cukup walau tidak kerja," katanya.
Tapi, dia mengakui, bisnis besi tua sedang kembang-kempis akhir-akhir ini. Harga besi turun tanpa aba-aba, dari Rp 4.500 ke Rp 3.500 per kilogram. Bahkan seorang temannya terlilit utang ke bank hingga Rp 30 miliar karena salah menaksir naik-turunnya harga barang rongsokan itu.
Berbisnis di bidang ini diperlukan kebeÂranian. Selebihnya, insting yang tajam karena risiko ruginya memang sangat besar. Ketika membeli besi tua, baik berupa kapal maupun bekas pabrik, si pengusaha harus dapat menaksir dengan tepat nilai barang dalam waktu singkat. Apalagi, kata Abdul, sistemnya borongan—istilahnya membeli gelondongan. Kalau penilaiannya salah, bisa buntung.
Semakin banyaknya jumlah besi tua, ditambah kian bebasnya impor, dituding sebagai biang kerok tidak stabilnya harga besi dalam negeri, terutama sejak krisis global melanda Eropa. "Pabrik sekarang seenaknya menaik-turunkan harga besi," ujar Abdul.
Kondisi itu bertambah parah karena Asosiasi Pengusaha Besi Tua Indonesia (Aspebi) tidak bertaji. Organisasi ini ditudingnya tidak bisa berbuat apa-apa manakala harga besi tua kembang-kempis. Namun, bagi Abdul, bisnis besi tua tetap menjanjikan. Tak akan pernah habis dan selalu dibutuhkan.
Ketua Aspebi Jawa Timur Haji Bukhori Imron mengakui asosiasi tidak bisa mempengaruhi harga besi tua. "Karena harga sangat bergantung pada permintaan dan ketersediaan barang," kata Bukhori, yang tengah umrah ketika dihubungi Tempo pada Senin dua pekan lalu. Harga bisa pula naik-turun mengikuti kondisi perekonomian internasional.
Bukhori mencontohkan, pada saat rehabilitasi dan rekonstruksi industri setelah bencana tsunami Jepang, besi tua bisa dihargai Rp 6.000 per kilogram. Namun permintaan kembali sepi menyusul krisis ekonomi Eropa beberapa waktu lalu. Akibatnya, harga besi pun nyungsep. "Saat saya berangkat umrah, harganya Rp 4.900 per kilogram untuk kualitas super, dan hari ini turun menjadi Rp 4.700 per kilogram," ujar Ketua Asosiasi yang menaungi 200-an pengusaha besi tua di wilayah Jawa Timur ini. Di Indonesia, ada empat asosiasi pengusaha besi tua.
Direktur PT Hanil Jaya Steel Putu Sri Sundari mengatakan kebutuhan besi tua di perusahaannya 1.000-1.200 ton per hari. Sebanyak 30-40 persen di antaranya dipasok pengusaha lokal, selebihnya impor dari berbagai negara. Pasokan besi tua lokal berkurang karena banyaknya relokasi pabrik dari Cina. "Pabrik baru di Sidoarjo, Mojokerto, dan Gresik juga menyerap besi tua ini sehingga kami kekurangan bahan baku, dan akhirnya memperbanyak impor," ujarnya.
Harga besi tua bervariasi dari Rp 3.800 untuk rongsokan dan Rp 4.800 per kilogram untuk kualitas premium. Besi tua impor lebih murah Rp 200 untuk kualitas premium. Besi tua itu dilebur dengan tungku listrik bertegangan tinggi. "Produk akhirnya adalah besi dan baja batangan," kata Sundari. Setiap tahun PT Hanil memproduksi 360 ribu ton.
Direktur Asosiasi Eksekutif Industri Besi dan Baja Indonesia Edward R. Pinem menambahkan, kebutuhan industri besi dan baja di Indonesia mencapai 6 juta ton per tahun. Sebanyak 30 persen di antaranya berasal dari pengusaha lokal. "Jadi, usaha besi tua lokal masih sangat terbuka," ujarnya.
Agus Supriyanto, Musthofa Bisri, Dini Mawuntyas
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo