Potret Diri H V. WORANG, Profil Anak Tani.
Karangan: Ch. A. Rondonuwu, 297 halaman. Penerbit Yayasan
Manguni ondor, 1977.
PRAJURIT tua tidak pernah mati. Tapi buku ini nyaris sebuah
obituari, dan tentang orang yang berangkat mati baiklah
dibicarakan yang baik-baiknya saja.
Diterbitkan ketika Worang sedang menjalani masa akhir
jabatannya, segar bugar sepeninggal Opstib yang sejenak mampir
menggebu-gebu, buku ini adalah sebuah contoh terbaik tentang
suatu pemolesan. Ini adalah sebuah lukisan yang sangat
berminyak, dan karenanya menjadi kabur.
Menjadi pertanyaan apakah obyeknya merasakan bahwa buku tentang
biografinya adalah suatu kebutuhan, setidaknya pada saut ini
ketika badai sudah berlalu, ketika kedudukannya malahan sudah
lebih dipertegas. Jika karena pertimbangan lain, misalnya
"selama hayat masih dikandung badan, tugasku tak akan berhenti"
seperti yang disebutkan pada kalimat terakhir buku ini - ya
sudahlah: Yayasan Manguni Rondor toh merasa perlu
menerbitkannya.
Sang "Tonaas"
Sayang, sepuluh halaman pertama tentang masa kanak-kanak Hein
Vietor Worang tidak menceritakan apa-apa. Tak cukup kisah
bagaimana sebuah tokoh dibentuk, beranjak pergi ke medan perang
dan kembali membawa "Batalion Worang" yang legendaris itu. Tak
cukup gambaran bagaimana kepemimpinan dalam perang itu, kemudian
menempanya menjadi Tonaas, yang memimpin daerahnya dengan
disiplin militer.
Mendadak, masih di halaman belasan, pembaca sudah diajak masuk
ke dalam suasana panen raya cengkeh, Opstib, Pungli dan
gemuruhnya pembangunan di Sulut. Singkatnya: cara penyajiannya
acak-acakan, hinga entah bagaimana mulanya gelar Tonaas Wangko
Unz Baua jadi disandang Worang.
Selebihnya, dua ratus halaman berikutnya, merupakan suatu ujian
ketabahan. Perlu sabar untuk membalik setiap lembar buku ini.
Dua masa jabatan gubernur Worang direkam oleh penulisnya dengan
tergesa-gesa. Dan ia, bagaikan kena rasuk, begitu senang
menggunakan istilah-istilah asing. Tapi sering salah pakai.
Kegandrungannya mensitir tanpa menghiraukan perlu atau tidak,
harangkali dimaksud agar lebih mantap dilihat, namun malah
membuat persoalan lebih samar ketimbang memperjelas.
Silhuet?
Aknirnya yang bisa ditarik sebagai kesimpulan adalah sebuah
teka-teki. Sesudah disanjung demikian melambung (menjadi
pertanyaan adakah Worang masih membutuhkannya kini), sesudah
digambarkan sebagai tokoh pendekar yang keras dan pantang
menyerah. Worang masih di"potret" dalam suasana uram. Sang
penulis masih menyelipkan di sana-sini dengan sinyalemen bahwa
banyak Brutus berkeliaran di sekitar Worang. Terasa ada suatu
bayangan hari-hari terlahir seorang tua renta yang cuma
disambangi oleh satu dua orang yang masih setia. Apakah ini
sebuah potret atau sebuah profil silhuet?
Barangkali karena Worang adalah tokoh yang berubah. Ada suatu
gairah, suatu yang tak dapat dilukiskan, suatu keresahan yang
tak dapat diatasi, sepanjang perjalanannya yang bergelora
sebagai seorang anak tani sejak dari desa Tontalete dekat
pelabuhan Bitung. Tapi ketika sampai di Bumi Beringin, rambutnya
sudah banyak ditumbuhi uban. Nilai-nilai peninggalan leluhur
yang dihormatinya membuat dia berpaling ke alam mistik. Ia
mendirikan patung-patung para tonaas sebelumnya. Dan ketika dia
mulai memugar batu-batu tumani untuk mendapatkan vibrasi,
orang-orang bersikap mengambil jarak. Senyumannya yang jarang,
semakin lebih jarang lagi. Ketika dia berpaling kepada
sanak-saudaranya, yang terjadi adalah nepotisme.
Banyak tonaas sebelum dia yang hilang, terutama karena
pergolakan Permesta di tahun 1950-an. Ketika datang waktunya,
Hein Victor Worang adalah pilihan satu-satunya. Ia mengingatkan
kembali akan harga diri daerah ini. Ia meningkalkan perbaikan
hidup, dan bersama-sama seperti dalam semangat Mapalus
mempersiapkan diri esok yang lebih cerah. Tapi setelah
perjalanan yang panjang, barangkali kinilah saat yang terbaik
untuk mengaso.
B. Sondakh
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini