Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Worang: nyaris sebuah obituari

Pengarang: ch.a. rondonuwu menado: yayasan manguni rondor, 1977 resensi oleh: b. sondakh. (bk)

21 Januari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Potret Diri H V. WORANG, Profil Anak Tani. Karangan: Ch. A. Rondonuwu, 297 halaman. Penerbit Yayasan Manguni ondor, 1977. PRAJURIT tua tidak pernah mati. Tapi buku ini nyaris sebuah obituari, dan tentang orang yang berangkat mati baiklah dibicarakan yang baik-baiknya saja. Diterbitkan ketika Worang sedang menjalani masa akhir jabatannya, segar bugar sepeninggal Opstib yang sejenak mampir menggebu-gebu, buku ini adalah sebuah contoh terbaik tentang suatu pemolesan. Ini adalah sebuah lukisan yang sangat berminyak, dan karenanya menjadi kabur. Menjadi pertanyaan apakah obyeknya merasakan bahwa buku tentang biografinya adalah suatu kebutuhan, setidaknya pada saut ini ketika badai sudah berlalu, ketika kedudukannya malahan sudah lebih dipertegas. Jika karena pertimbangan lain, misalnya "selama hayat masih dikandung badan, tugasku tak akan berhenti" seperti yang disebutkan pada kalimat terakhir buku ini - ya sudahlah: Yayasan Manguni Rondor toh merasa perlu menerbitkannya. Sang "Tonaas" Sayang, sepuluh halaman pertama tentang masa kanak-kanak Hein Vietor Worang tidak menceritakan apa-apa. Tak cukup kisah bagaimana sebuah tokoh dibentuk, beranjak pergi ke medan perang dan kembali membawa "Batalion Worang" yang legendaris itu. Tak cukup gambaran bagaimana kepemimpinan dalam perang itu, kemudian menempanya menjadi Tonaas, yang memimpin daerahnya dengan disiplin militer. Mendadak, masih di halaman belasan, pembaca sudah diajak masuk ke dalam suasana panen raya cengkeh, Opstib, Pungli dan gemuruhnya pembangunan di Sulut. Singkatnya: cara penyajiannya acak-acakan, hinga entah bagaimana mulanya gelar Tonaas Wangko Unz Baua jadi disandang Worang. Selebihnya, dua ratus halaman berikutnya, merupakan suatu ujian ketabahan. Perlu sabar untuk membalik setiap lembar buku ini. Dua masa jabatan gubernur Worang direkam oleh penulisnya dengan tergesa-gesa. Dan ia, bagaikan kena rasuk, begitu senang menggunakan istilah-istilah asing. Tapi sering salah pakai. Kegandrungannya mensitir tanpa menghiraukan perlu atau tidak, harangkali dimaksud agar lebih mantap dilihat, namun malah membuat persoalan lebih samar ketimbang memperjelas. Silhuet? Aknirnya yang bisa ditarik sebagai kesimpulan adalah sebuah teka-teki. Sesudah disanjung demikian melambung (menjadi pertanyaan adakah Worang masih membutuhkannya kini), sesudah digambarkan sebagai tokoh pendekar yang keras dan pantang menyerah. Worang masih di"potret" dalam suasana uram. Sang penulis masih menyelipkan di sana-sini dengan sinyalemen bahwa banyak Brutus berkeliaran di sekitar Worang. Terasa ada suatu bayangan hari-hari terlahir seorang tua renta yang cuma disambangi oleh satu dua orang yang masih setia. Apakah ini sebuah potret atau sebuah profil silhuet? Barangkali karena Worang adalah tokoh yang berubah. Ada suatu gairah, suatu yang tak dapat dilukiskan, suatu keresahan yang tak dapat diatasi, sepanjang perjalanannya yang bergelora sebagai seorang anak tani sejak dari desa Tontalete dekat pelabuhan Bitung. Tapi ketika sampai di Bumi Beringin, rambutnya sudah banyak ditumbuhi uban. Nilai-nilai peninggalan leluhur yang dihormatinya membuat dia berpaling ke alam mistik. Ia mendirikan patung-patung para tonaas sebelumnya. Dan ketika dia mulai memugar batu-batu tumani untuk mendapatkan vibrasi, orang-orang bersikap mengambil jarak. Senyumannya yang jarang, semakin lebih jarang lagi. Ketika dia berpaling kepada sanak-saudaranya, yang terjadi adalah nepotisme. Banyak tonaas sebelum dia yang hilang, terutama karena pergolakan Permesta di tahun 1950-an. Ketika datang waktunya, Hein Victor Worang adalah pilihan satu-satunya. Ia mengingatkan kembali akan harga diri daerah ini. Ia meningkalkan perbaikan hidup, dan bersama-sama seperti dalam semangat Mapalus mempersiapkan diri esok yang lebih cerah. Tapi setelah perjalanan yang panjang, barangkali kinilah saat yang terbaik untuk mengaso. B. Sondakh

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus