BILA seorang tua bercakap-cakap dengan seorang muda, apa yang terjadi? Di TEMPO, itu melahirkan rubrik baru yang disebut Memoar, yang mulai muncul dalam nomor ini. Seorang tua tak cuma menang di umur. Yang muda tak memiliki apa yang dimiliki yang tua: sebuah masa lalu yang panjang, kadang kala penting. Wartawan kami Yopie Hidayat, misalnya. Ia lahir di Surabaya 4 bulan sebelum G30S-PKI meletus. Ia tak mungkin mengalami dan menyimpan kenangan tentang peristiwa itu. Yopie -- dan beberapa reporter baru yang baru saja lulus dari masa percobaan: Bambang Aji, Liston Siregar, Ardian Taufik, Tommy Tamtomo, yang lahir di tahun 1960-an -- memang bisa tahu peristiwa itu dari membaca buku. Tapi tentunya mereka bisa lebih asyik, misalnya, bila mendengarkan pengalaman Budiman S. Hartoyo, salah seorang wartawan senior, yang ikut "diganyang" PKI di kotanya, Solo. Itu terutama karena mereka lalu bisa bertanya-jawab dengan si pencerita -- suatu hal yang sulit dilakukan dengan sebuah buku, bagaimanapun bagusnya buku itu. Di TEMPO saja ada sejumlah orang yang ikut mengalami, bahkan terlibat, dengan peristiwa bersejarah -- tak cuma politik, tapi juga peristiwa kebudayaan -- yang kisahnya bisa mengasyikkan, berapa tokoh di skala nasional yang begitu itu? Maka, lahirlah Memoar, rubrik yang menceritakan pengalaman seorang tokoh dalam suatu peristiwa dalam gaya "aku". Bentuk "aku" ini dipilih karena bagaimanapun penuturan seorang "aku" adalah subyektif. Memoar memang tak bermaksud menyajikan sejarah, tapi sebuah bahan sejarah. Dua bulan lalu Penanggung Jawab Rubrik Memoar, Budiman S. Hartoyo, merundingkan rubrik ini dengan sejumlah wartawan, redaktur foto, dan periset foto, juga para designer. Tersusunlah kriteria tokoh yang layak di-Memoar-kan. Antara lain, mereka yang punya reputasi nasional, ikut menciptakan sejarah di bidang atau lingkungannya, kini dalam usia di atas 55 tahun, dan -- ini syarat yang tak mungkin ditinggalkan -- masih bisa diwawancarai. Dari kriteria itu, terdaftarlah sejumlah tokoh. Bila nomor awal Memoar mengetengahkan Jenderal Purnawirawan A.H. Nasution, itu cuma soal praktis. Tim yang mewawancarai tokoh inilah yang pertama kali menyelesaikan tugasnya. Tampaknya Pak Nas, penulis buku yang tekun, masih sangat segar ingatannya tentang masa lampau, hingga wawancara -- berlangsung beberapa kali di rumahnya, Jalan Teuku Umar, Jakarta -- berjalan lancar. Selain Budiman dan Priyono B. Sumbogo, tim inti, ikut mewawancarai Pak Nas adalah Isma Sawitri, Amran Nasution, dan Bambang Bujono. Didik Budiarto, periset foto, menyeleksi koleksi foto Pak Nas yang bisa kami tampilkan. Adapun penyunting setelah wawancara diketik adalah Putu Wijaya. Putu Wijaya kini mengeditori Selingan dan Nukilan Buku. Dalam rencana, rubrik Memoar akan muncul sekali sebulan. Kami yakin, manfaatnya besar bagi bahan sejarah nasional kelak, yang tokoh-tokohnya sudah makin langka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini