Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengejar Sinar, Menuai Sesal

Sejumlah bank dan dana pensiun waswas menghadapi kredit dan obligasi Sinar Mas yang tidak terbayar. Kalau modal tak kuat, bisa-bisa mereka ikut tumbang.

1 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PINTU itu tiba-tiba terkuak, dan dua lelaki keluar dengan tergesa-gesa. Wajah keduanya terlihat gusar. Di ruangan yang baru mereka tinggalkan, rapat masih berlangsung. Sesekali terdengar pertanyaan yang menuntut jawaban tegas. Aksi walk out itu diikuti beberapa peserta lain yang semuanya adalah pemegang obligasi PT Lontar Papyrus—sebuah anak perusahaan Sinar Mas. Mereka tak puas karena tak mendapat jawaban pasti soal nasib obligasinya.

Pertemuan informal antara pemegang obligasi PT Lontar Papyrus dan Bank Niaga sebagai wali amanat berlangsung Kamis pekan lalu. Pagi harinya, rapat yang sama dilakukan dengan pemegang obligasi Indah Kiat Pulp & Paper.

Indra Novan Ginting, Presiden Direktur PT MLC Investment Indonesia, melihat ada yang disembunyikan oleh perusahaan bubur kertas itu. Pasalnya, Februari lalu, Presiden Direktur Lontar Papyrus, Hendra Kosasih, masih meyakinkan mereka bahwa bunga tetap akan dibayar. "APP dan Lontar adalah perusahaan dengan badan hukum terpisah," katanya waktu itu. Kesulitan APP tidak akan mempengaruhi anak perusahaan. Tapi, sejak Maret, cerita berubah total. Menurut Hendra, sikap menyerah APP menyebabkan semua anak perusahaan tidak bisa membayar utang, baik pokok maupun bunga, termasuk Lontar Papyrus.

Indra mewakili ratusan pemegang obligasi dan kreditor APP/non-APP lainnya yang mencemaskan nasib uangnya. Nilai obligasi empat anak perusahaan APP di dalam negeri mencapai Rp 2,4 triliun, dan beberapa di antaranya akan jatuh tempo dalam waktu dekat (lihat tabel). Sedangkan kredit perbankan nasional di empat perusahaan itu berkisar Rp 1,25 triliun. Gabungan keduanya memang masih jauh lebih kecil kalau dibandingkan dengan seluruh utang empat perusahaan, yang mencapai Rp 47 triliun. Tapi, tetap saja posisi standstill memaksa mereka menunggu proses restrukturisasi utang karena semua kreditor diperlakukan sama.

Vice President Investment Services Bank Niaga, Teddy Punu, membenarkan portofolio perbankan nasional yang cukup tinggi pada obligasi Grup Sinar Mas. Banyak bank nasional kala itu mengejar surat utang milik anak perusahaan APP karena peringkatnya yang rata-rata A. Sekarang, ketika mereka tidak mampu membayar, bank-bank tersebut kelabakan. Kalau modal tidak kuat, bukan tidak mungkin beberapa dari mereka akan tumbang.

Analis perbankan WI Carr, Mirza Aditya-swara, membenarkan hal itu. BCA kabarnya berpiutang di Sinar Mas US$ 45 juta—sebanyak US$ 20 juta di antaranya dalam bentuk obligasi. Piutang bank lainnya tertahan di Lippobank, Danamon, dan Bank Niaga. Adapun piutang BNI kabarnya Rp 506 miliar. Namun, sumber di BNI Securities mengatakan bahwa untuk obligasi, Grup BNI hanya memiliki Rp 80 miliar.

Berapa pun jumlahnya, yang pasti, selama masa restrukturisasi—biasanya memakan waktu lebih dari setahun—ratusan triliun rupiah tertahan, tak bisa berputar. Alhasil, pendapatan bank-bank pemberi kredit akan terganggu. Target keuntungan bisa tidak tercapai, dan bukan mustahil modalnya ikut tergerus. Tengoklah BCA, yang tahun ini menargetkan keuntungan Rp 1,6 triliun. Jika restrukturisasi tidak selesai dalam sembilan bulan, akhir Desember ini BCA harus mencadangkan provisi 100 persen karena kreditnya turun ke golongan macet. Pencadangan itu tak pelak membuat laba jauh berkurang.

BCA dan bank bermodal gemuk mungkin masih bisa bernapas. Tapi, bagaimana dengan bank-bank bermodal gepeng dan berlaba minim? Mirza menyatakan, pastilah bank seperti ini yang paling menderita. Pencadangan sampai 100 persen bisa membuat bank-bank tersebut sempoyongan, bahkan neracanya bisa negatif kalau pencadangan ternyata lebih besar dari keuntungan.

Nasib sial itu tak hanya monopoli perbankan. Sejumlah dana pensiun, reksadana, dan asuransi juga harus merugi. Seorang pemegang obligasi Lontar Papyrus dari perusahaan asuransi mengeluh. Ketidakjelasan apakah Lontar bisa membayar bunga membuat mereka harus menghitung ulang. Memang, kalau dibandingkan dengan pemegang surat utang lainnya, jumlah obligasinya tidak terlalu besar. Tapi, bagi perusahaannya, yang bermodal kecil, bunga itu sangat berarti karena kontribusinya ke kinerja perusahaan cukup besar.

Leanika Tanjung

Rincian Utang Empat Anak Perusahaan APP Per Juni 2000
Obligasi yang Diterbitkan Jatuh Tempo Obligasi Jumlah Obligasi* Total (Kredit + Obligasi) * 1) Kredit Perbankan Nasional*
Tjiwi Kimia I, 1996 Nov' 2001 200 miliar 10 triliun 208 miliar
Pindo Deli I, 1997 Januari 2002 200 miliar 14,43 triliun Nihil
Lontar Papyrus I, 2000 Seri A, B, C April 2005 1 triliun 3,23 triliun 61,7 miliar l
Indah Kiat I, 1999 Seri A1, A2, B1, B2, C1, dan C2 Oktober 2004-2006 1 triliun 21 triliun 976 miliar
Total   2,4 triliun 48,66 triliun 1,25 triliun
* Dalam rupiah
1) Termasuk bank campuran dan asing di Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus