Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

prelude

Bala Kapal Nahas

Arsip majalah Tempo 18 Januari 1975.

15 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kapal Showa Maru, yang membawa 66 juta galon minyak mentah, karam di dekat Pulau Batam. Ceceran minyaknya bergerak sejauh 16 kilometer.

  • Dalam waktu kurang dari setahun sudah ada dua kapal supertanker pembawa minyak mentah karam bernasib sial di perairan Singapura, yang berimbas ke Indonesia dan Malaysia.

  • Menteri Luar Negeri Adam Malik berencana menutup jalur Selat Malaka bagi kapal berbobot mati di atas 200 ribu ton.

PERTAMINA Hulu Energi Offshore Southeast Sumatra (PHE OSES) dan Offshore North West Java (PHE ONWJ) turun tangan menyelidiki tumpahan minyak yang mencemari perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, sejak tiga pekan lalu. “Kami belum mengetahui dari mana ceceran berasal,” kata Vice President Relations PHE Ifki Sukarya, Rabu, 12 Agustus 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tumpahan minyak yang telah memadat dan berwarna hitam pekat tak hanya mencemari Pulau Pari. Gumpalan hitam juga ditemukan di Pulau Untung Jawa, Pulau Tidung, dan Pulau Lancang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada 18 Januari 1975, Tempo menulis tumpahan minyak di dekat Pulau Batam yang menjadi masalah tiga negara: Singapura, Malaysia, dan Indonesia. Dalam laporan berjudul “Bocor, Tabrakan, Terbakar, Tenggelam” diceritakan tumpahan minyak terjadi akibat kandasnya kapal supertanker Showa Maru milik Jepang di perairan dangkal Selat Singapura yang masuk wilayah perairan Indonesia, 3 mil dari Buffalo Rock atau Karang Kerbau. Kapal yang karam pada 6 Januari 1975 itu membawa total 66 juta galon minyak mentah dari kawasan Teluk Persia menuju Jepang.

Peristiwa itu menyebabkan tercecernya minyak sejauh 16 kilometer. Dalam waktu 24 jam, 800 ribu galon minyak sudah mencemari perairan Selat Singapura dan Selat Philip. Ceceran tumpahan minyak kali ini bergerak lebih jauh dari kecelakaan tanker di sebelah barat daya Singapura pada Juli 1974. Saat itu, tumpahan minyak dari kapal Great Royal Sea milik Hong Kong bergerak sejauh 8 kilometer dari lokasi kapal terbakar.

Kecelakaan kapal-kapal supertanker pembawa minyak mentah ini bukan yang pertama terjadi di sekitar perairan Indonesia, Singapura, dan Malaysia. Sebelumnya, pada 1972, supertanker Myrtea, yang berukuran 210 ribu ton bobot mati, kandas di perairan Pulau Bukom, Singapura. Ada pula kecelakaan yang menyebabkan supertanker berbendera Jepang, Meigen Maru, kandas di sekitar perairan Pulau St. John. Kapal-kapal tersebut mengangkut minyak mentah dari Timur Tengah ke Jepang. Minyak mentah dari kawasan Timur Tengah dikenal tinggi kandungan belerang dan polusinya dibanding minyak mentah dari Indonesia.

Menteri Luar Negeri Adam Malik telah berupaya mencegah peristiwa serupa berulang. Pada 1974, ia meminta kapal-kapal supertanker yang memiliki bobot mati di atas 200 ribu ton tidak berlayar melintasi Selat Malaka. Malaysia menyetujui upaya ini, demi melindungi perairannya dari pencemaran yang ditimbulkan akibat karamnya kapal-kapal raksasa pengangkut minyak mentah. Tapi Singapura menunjukkan sikap sebaliknya.

Padahal tabrakan, kebocoran, tenggelam, dan terbakarnya supertanker makin sering terjadi. Noel Mostert dalam bukunya, Supership, menyebutkan setidaknya enam kapal raksasa pembawa minyak mentah yang nahas di sekitar perairan Afrika Selatan dalam kurun 1970. Buntut peristiwa ini: ada 10 juta ton minyak yang meracuni Lautan Atlantik. “Sementara itu, minyak-minyak yang menempel di tangki-tangki yang kandas ke dasar laut baru akan memudar efek polusinya bagi lautan setelah satu generasi,” katanya dikutip dari bukunya.

Mostert mengatakan kapal-kapal super ini dibangun dengan kurang cermat. Maka, setelah berlayar, kapal-kapal ini sulit dikendalikan. Belum lagi ditambah perilaku korup dengan membawa muatan berlebih dan mengabaikan aturan keamanan lalu lintas laut. Kecelakaan di jalur padat dan perairan dengan ombak ganas menjadi tak terelakkan, seperti di Selat Malaka dan Tanjung Harapan. Untuk menghindari kecelakaan berulang, Mostert mengusulkan dibangun menara pengawas di rute pelayaran, seperti layaknya dalam lalu lintas udara. 

Sedangkan Indonesia, yang teguh ingin menutup Selat Malaka dan mengalihkan rutenya dari Samudra Hindia ke Selat Sunda, Selat Lombok, dan Selat Ombai, harus berpikir masak-masak. Hanya memindahkan rute tidak akan mengatasi pencemaran laut yang disebabkan oleh para raksasa laut ini. Apalagi akan dibangun terminal minyak di Teluk Semangka, Lampung, hingga Lombok, yang berpotensi menyebabkan pencemaran makin merata di seluruh perairan Nusantara. Terminal-terminal ini harus dilengkapi sarana pencegah polusi yang paling mutakhir.


Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi 18 Januari 1975. Dapatkan arsip digitalnya di:

https://majalah.tempo.co/edisi/1908/1975-01-18

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus