Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Majalah Tempo tiga kali menerbitkan lapor-an panjang tentang dugaan pelicin untuk dok-ter agar obat diserap pasar, yang membuat harga obat menjadi mahal. Pada akhir 1990, pemerintah sudah mendorong pemakaian obat generik yang murah. Tapi jenis obat ini kurang populer, seperti dilaporkan Tempo pada edisi 25 Februari 1989 dengan judul “Mempopulerkan Obat Generik”.
Kalau saja obat tersebut populer di ka-langan dokter ataupun masyarakat, barangkali harga obat tidak akan melambung tinggi seperti yang terjadi selama ini. Soalnya, obat generik yang murah akan lebih banyak dipakai ketimbang obat paten yang mahal, yang sampai sekarang menguasai pasar. Karena itu, dalam menyiasati tingginya harga obat, Menteri Kesehatan Adhyatma tidak cuma menata kembali lalu lintas perdagangannya. Ia juga berusaha memperbesar peran obat generik.
Langkahnya yang pertama: memacu penggunaan obat murah ini di semua instansi kesehatan pemerintah. Tapi tentu saja ia tetap memperhatikan Daftar Obat Esensial Nasional, yang tidak semuanya obat generik. Dua pekan lalu, keluar per-aturan Menteri Kesehatan tentang kewa-jiban ini, yakni Peraturan Menteri Kesehatan 085/I/1989 bertanggal 28 Januari 1989. Apa sebenarnya obat generik? “Obat ini dipasarkan dengan nama umum,” kata farmakolog terkemuka, Iwan Darmansyah.
Nama umum diberikan ketika obat itu ditemukan. Contohnya obat panas asetosal dan antibiotik ampisilin. Tapi berbagai pabrik kemudian membuat varian obat asli ini—kemudian disebut obat paten—dengan, misalnya, menambahkan vitamin. Dari asetosal muncul Aspirin atau Cafenol dari ampisilin, dihasilkan Penbritin, Ampifen, dan Ultrapen. Mengapa obat generik lebih murah? “Karena hak paten obat generik pada umumnya sudah lewat masa berlakunya,” Iwan menjawab.
Karena itu, produknya di pasar tidak lagi dibebani pembayaran hak paten. Hanya, obat generik jarang diresepkan dokter. Sebabnya mungkin saja para dokter menerima komisi dari pabrik-pabrik obat, yang umumnya membuat obat paten. Namun sejumlah farmakolog berdalih, obat generik umumnya mempunyai bioavailability (daya obat) yang lebih rendah daripada obat paten. Sebuah obat paten, misalnya, bisa lebih cepat dan efektif diserap di dalam lambung daripada obat generik. Iwan Darmansyah membenarkan kemungkinan itu. Namun, dia melanjutkan, itu tergantung pabrik obatnya.
Pemimpin redaksi jurnal kedokteran Medika, dokter Kartono Mohamad, sependapat dengan Iwan. “Banyak obat yang memang buruk mutunya karena dibuat secara amatiran,” katanya. Sekarang, misalnya, ada pengusaha real estate yang membuka pabrik obat sebagai kegiatan sam-pingan. Celakanya, menurut Kartono, -pabrik-pabrik semacam ini justru yang paling berani mempromosikan produknya, termasuk menyuap dan memberikan komisi kepada para dokter.
Di sisi lain, tutur Kartono, obat generik kalah karena tidak pernah dipromosikan. “Di beberapa negara maju, obat generik mampu bersaing karena promosinya yang ditunjang pemerintah sama gencarnya dengan promosi obat paten.” Siasat ini -diperhitungkan juga oleh Menteri -Kesehatan.
Di masa mendatang, pemerintah akan menurunkan rekomendasi bagi obat generik yang terjamin mutunya. Rekomendasi itu berupa pencantuman simbol khusus pada kemasan obat ataupun obatnya. Di lingkungan instansi pemerintah, obat generik tidak cuma dipromosikan. Peraturan Menteri Kesehatan 085/I/1989 tegas menyebutkan obat generik wajib digunakan di semua rumah sakit pemerintah dan puskesmas. Kewajiban ini meliputi beberapa sektor, seperti pembelian obat dalam partai besar oleh rumah sakit, juga penye-diaan obat di apotek rumah sakit. Dan, -akhirnya, dokter rumah sakit mesti menuliskan resep obat generik.
Semua rumah sakit juga harus mengisi formularium (daftar pengadaan dan pemakaian obat) untuk kepentingan pengecekan. Pelanggaran dalam bentuk apa pun akan diberi sanksi disiplin. Masa transisi untuk melaksanakan peraturan ini hanya enam bulan. Cuma, dalam kasus khusus, dokter di rumah sakit pemerintah boleh memesan obat paten di apotek swasta. Ini pun dengan izin dari komite farmasi dan terapi, yang harus dibentuk di setiap rumah sakit.
Menurut Kartono, kebiasaan dokter menulis resep obat generik di rumah sakit pemerintah perlahan-lahan bisa menular ke praktik swasta. Seperti diketahui, karena terlalu banyaknya merek obat, dokter sering cuma mengingat beberapa merek ketika menulis resep. Biasanya, yang teringat adalah merek obat yang promosinya gencar. “Dengan adanya kebiasaan baru, promosi obat itu bisa tersaingi di memori -dokter.”
Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi 26 Januari 1974. Dapatkan arsip digitalnya di:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo