Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengawasan tajam dalam penyusunan bujet di Ibu Kota ini sekaligus menunjukkan manfaat terbesar demokrasi: mekanisme kontrol akan berjalan hanya jika ada oposisi yang kuat.
Sangat menyedihkan bahwa anggaran DKI masih disusun dengan banyak persoalan—termasuk adanya anggaran pembelian lem Aica-Aibon yang menghebohkan. Padahal, secara prosedur, rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah ini dilakukan dalam 46 tahap: dari persiapan hingga penetapan penyempurnaan rancangan peraturan daerah dan rancangan peraturan gubernur. Di tengahnya ada musyawarah perencanaan pembangunan dan konsultasi publik, sebelum hasilnya dimasukkan ke rencana kerja.
Sejak zaman Gubernur Basuki Tjahaja Purnama pada 2015, DKI menggunakan sistem penganggaran elektronik. Sistem ini dibuat oleh seorang konsultan dari Surabaya bernama Gagat Sidi Wahono, yang konon juga mengerjakan tahap awal sistem serupa di kota itu. Pembuatan sistem ini sempat membuat ribut Gubernur dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang ketika itu menggunakan hak angket untuk mempertanyakan kebijakan pemerintah Surabaya. Namun Komisi Pemberantasan Korupsi pernah menyebut sistem ini sebagai salah satu yang terbaik di Indonesia.
Pemerintah DKI mempublikasikan rancangan anggaran yang bernama Kebijakan Umum Anggaran-Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS) melalui website provinsi. Pada tahap ini, publik bisa melihat rancangan program hasil musyawarah yang dibuat berjenjang dari level rukun warga meski belum merupakan bujet final. Sementara rancangan dibahas pemerintah dan Dewan, publik bisa menyisir program-program yang tidak wajar. Hasil pembahasan Dewan dan pemerintah akan diunggah kembali ke situs provinsi—publik pun bisa membandingkannya dengan draf awal.
Publikasi di situs Internet provinsi itu berjalan hingga 2018—tahun awal pemerintahan Anies—tapi berubah pada tahun berikutnya. Di sini, publikasi dilakukan setelah pembahasan pemerintah dengan Dewan. Pada tahun ini, draf bahkan sama sekali tidak dipublikasikan. Anies beralasan publikasi akan memancing gaduh, sementara program-program yang ada masih akan berubah.
Anies juga mengklaim sedang menyusun sistem baru, yang jauh lebih transparan, yang baru akan dipakai untuk menyusun anggaran 2021. Konon, pada sistem baru nanti akan ada alarm yang menyala jika ada anggaran tak wajar.
Keputusan Anies ini ternyata keliru. “Kegaduhan” itu sebenarnya bukan datang dari kesalahan sistem penganggaran elektronik, melainkan konsekuensi dari penyusunan bujet yang serampangan. Hal itu terkonfirmasi dari mundurnya Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Sri Mahendra Satria Wirawan, yang merasa gagal menyusun anggaran dengan baik. Gubernur dalam sebuah rapat—yang rekaman videonya kemudian dipublikasikan melalui media sosial—juga menemukan kejanggalan-kejanggalan pada rancangan anggaran yang disusun bawahannya. Anies semestinya justru memerintahkan aparatnya menyisir dari awal, agar ketika diumumkan telah menjadi rancangan anggaran yang baik.
Anies sepatutnya tidak menyalahkan sistem yang digunakan pemerintahannya. Bagaimanapun, dialah penanggung jawab tertinggi dalam pembuatan bujet di Provinsi DKI. Tugasnya adalah memastikan rancangan anggaran berisi program-program yang diperlukan masyarakat dengan nilai semestinya dan tidak ada titip-an kepentingan di dalamnya. Untuk tujuan itu, ia justru perlu melibatkan partisipasi publik seluas-luasnya. Anies juga perlu mencopot bawahannya yang terbukti mengisi draf anggaran dengan seenaknya.
Langkah-langkah politik Partai Solidaritas Indonesia di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta layak dihargai. Mereka menjalankan fungsi pengawasan dengan serius terhadap kinerja pemerintah DKI dalam menyusun anggaran. Di masa lalu, anggota Dewan sering justru memasukkan program-program titipan. Mereka bisa menyelipkan proyek yang sebenarnya telah “diijonkan” kepada kelompok bisnis yang terafiliasi dengan mereka. Praktik serupa lazim terjadi di daerah lain, termasuk di Dewan Perwakilan Rakyat pada saat penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Secara makro, langkah anggota DPRD dari PSI itu menunjukkan bahwa kekuatan di lembaga legislatif sangat penting untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Dengan “oposisi” yang kuat, pemerintah akan mawas diri. Lalu, pada akhirnya, masyarakatlah yang akan menikmati hasilnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo