KETIKA Presiden Megawati Sukarnoputri melakukan kunjungan ke Mesir, 13 September 2002, di depan warga Indonesia di Mesir beliau mengatakan, ”Bangsa Indonesia adalah bangsa yang setengah.”
Kami sangat menyesalkan pernyataan Presiden ini, karena:
Pertama, kunjungan ke luar negeri seorang presiden haruslah dalam rangka melakukan diplomasi untuk kepentingan nasional, atau untuk mencapai tujuan politik luar negerinya. Bukan justru mengolok-olok bangsa sendiri. Pernyataan ”bangsa yang setengah” masih dilanjutkan dengan pembenaran bahwa bangsa Indonesia juga dikenal sebagai ”bangsa barbarian” (Kompas, 14 September 2002). Kalau Presiden sendiri di luar negeri menjelek-jelekkan bangsanya sendiri, bagaimana dengan pemimpin negara lain?
Kedua, bahasa politik seorang presiden sudah pasti akan menjadi panutan rakyat. Kita masih ingat ketika Presiden Soeharto sering menggunakan kata-kata ”ken” untuk akhiran ”kan”. Buntutnya, hampir semua pejabat dari menteri hingga lurah mengikutinya. Tidak dapatkah seorang presiden berbahasa dengan penuh etika, apalagi presiden tersebut seorang wanita yang dikenal dengan kelembutannya?
Pada suatu kesempatan lain, pernah juga Presiden mengatakan bahwa kabinetnya adalah ”kabinet keranjang sampah”. Hal ini masih dilanjutkan dengan pernyataan di televisi, jika para menteri tidak dapat menjalankan tugasnya, ”akan saya cekek lehernya.” Pernyataan ini bahkan diulangi hingga tiga kali.
Beginikah pembawaan seorang presiden wanita? Para pejuang feminisme sudah merasa berhasil atau malah merasa malu?
SITI MUTIAH SETIAWATI
Dosen Fisipol
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini