KALAU dikembangkan dengan sungguh-sungguh, ternyata sebagian
besar kebutuhan kita bisa dipenuhi oleh bambu. Ini memang bukan
gagasan baru yang jelas Yayasan Pekerti -- bergerak dalam
pembinaan kerajinan rakyat -- yang berdiri sejak 1975 kembali
menawarkan gagasan itu lewat pamerannya di Ruang Pameran TIM, 23
Mei - 4 Juni ini.
Dengan tema "Bambu dalam Kehidupan Manusia" pameran kerajinan
dan alat-alat dari bambu ini tampaknya memang bukan sekedar
promosi. "Ini pameran apresiasi untuk masyarakat yang mencoba
membuktikan bahwa bambu mempunyai aspek ekonomi, sosial dan
budaya," kata Sulaiman Dahlan, 55 tahun, Direktur Pelaksana
Yayasan Pekerti.
Dalam Ruang Pameran itu bisa dilihat alat-alat dapur, mebel
sampai dengan atap rumah dari bambu. Juga pompa air bambu
ciptaan Pusat Teknologi Pembangunan (PTP) -- semacam bengkel
kerja, yang dibentuk oleh civitas akademika Institut Teknologi
Bandung. Juga seperangkat musik bambu dari Bandung yang selama
pameran dibuka sempat dimainkan oleh satu grup musik bambu -- di
bawah pimpinan seniman musik Slamet Abdulsyukur.
Dengan bantuan sebuah lembaga di Negeri Belanda, yayasan yang
diprakarsai lima organisasi ini: Dewan Nasional Indonesia,
Muhammadiyah, satu organisasi di bawah Dewan Gereja-gereja di
Indonesia, LPUB (Lembaga Pendidikan Usaha Bersama) dan LP3ES,
memang mampu bertahan untuk tidak mencari untung. Artinya,
selisih harga pembelian dari produsen kerajinan di desa-desa
dengan harga penjualan kepada konsumen hanya untuk menutup
ongkos kirim dan 10% keuntungan bagi penjual. Sampai sekarang
telah dijangkau pengrajin-pengrajin sekitar Yogyakarta,
Surakarta, Pekalongan, Priangan. Sementara Sulawesi Selatan dan
Kalimantan sedang dirintis. Total jenderal ada 60 kelompok
pengrajin yang sekarang mempunyai hubungan dengan Yayasan
Pekerti.
Melihat pameran ini memang harus diakui bahwa alat-alat yang
dibuat dari bambu tidak kalah dengan yang dari plastik, misamya.
Bahkan lebih punya nilai artistik. Mulai kap lampu misalnya
sampai alat-alat dapur. Seperangkat meja kursi yang enak
diduduki lagi artistik hanya berharga Rp 20 ribu sampai Rp 30
ribu -- dan ini harga sesudah Knop 15 dan kenaikan BBM. Boleh
bersaing dengan harga di toko-toko mebel.
Yang menarik dari yayasan yang berIantor di arena Pekan Raya
Jakarta Monas, ini ialah, seperti yang dikatakan oleh Direktur
Pelaksananya: "Pembinaan dan pemasaran tak bisa dipisahkan.
Hanya bisa membuat saja meskipun bagus, tapi tak bisa
memasarkannya, ya, akan mati." Para pengrajin yang berhubungan
dengan yayasan ini tidak terikat, artinya mereka tetap berhak
menjual hasil kerajinannya kepada siapa saja. Justru tujuan
yayasan ini agar mereka dapat berdiri sendiri, artinya yayasan
ini sudah berhasil dengan misinya.
Maryono
Sebuah film 16 mm diputar melengkapi pameran ini, menceritakan
kegiatan Yayasan Pekerti. Ceritanya seorang karyawan lapangan
yayasan ini, Maryono sarjana ekonomi, dengan motornya ke luar
masuk desa memberikan bimbingan kepada pengrajin atau kalau
dipandang perlu menawarkan bantuan modal. Hasilnya, "baru
terbatas kepada pengrajinnya itu sendiri belum meluas sampai ke
satu desa misalnya," cerita Dahlan.
Yayasan ini juga telah sempat mengekspor kerajinan bambu ke
berbagai negara Eropa, Australia dan Amerika. Tidak sembarangan
ekspor sebab permintaan dari sana datang dari lembaga atau
yayasan yang sejenis. Artinya tidak mencari untung tapi
bertujuan membantu perkembangan industri kerajinan rakyat di
negara-negara berkembang. Hasilnya, seperti yang telah dikatakan
Dahlan, memang dirasakan oleh si pengrajin itu sendiri. Tapi
sejauh mana kekuatan jaringan ini untuk melawan perusahaan
komersial yang multi-nasional sekarang ini, belum bisa
dikatakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini