DARI jauh, mereka tampak seperti anak-anak kelompok bermain yang
sedang asyik menggambar. Tetapi setelah didekati, ternyata
mereka sedang membatik. Dengkul, paha, atau batu besar dijadikan
pengganjal hamparan kain putih yang sudah penuh berbagai macam
motif.
Sebuah kuwas dijadikan penyganti canting untuk diganskan di atas
kain mori Sedangkan lilin atau malam mereka jerang di
tengah-tengah api unggun bukan dengan anglo atau kompor. Tempat
lilin apa saja. Bisa cuma bekas panci, atau bahkan bekas dop
mobil yang bentuknya mirip penggorengan.
Wanita-wanita Aborigin--penduduk asli Australia--kini telah
bisa membatik. Caranya tentu saja beda dengan yang lazim
terdapat di Indonesia--negeri asal batik. Para pembatik itu
terdapat di Desa Utopia, di jantung Benua Australia. Seperti
alam lainnya yang kini dihuni oleh para Aborigin Australia, desa
ini mempunyai tanah yang berwarna merah kekuning-kuningan. Keras
seperti batu. Di beberapa celahnya ada semaksemak yang tidak
terlalu hijau. Pohon gum yang tidak hijau itu tampak satu dua
saja. Selebihnya, tanah yang datar, luas sekali, tanpa
kehidupan. Siang hari panas bukan main dan dingin mencekam di
malam hari. Kehidupan mereka memang tampak tak begitu
cerah--dari membatik rupanya salah satu usaha menolong hidup
mereka.
Garis-garis Asli
Sebagai bangsa "tersingkir" di benua yang makin dikuasai orang
kulit putih, kaum Aborigin banyak ditolong oleh pemerintah
Australia. Untuk mereka yang tinggal di Utopia, beberapa waktu
yang lalu, telah tiba seorang guru yang pernah belajar membatik
di Yogya. Hasilnya: kini ada sekitar 60 wanita Aborigin yang
setiap hari membatik di waktu luang mereka. Tentu suatu saat
diharapkan mereka bisa membentuk suatu usaha yang lebih menuju
ke suatu kegiatan ekonomi. Untuk sementara ini, "kami baru
membimbing mereka tentang teknik-teknik membatik," ujar Yulia
Murray, wanita yang memimpin pembatik Aborigin tersebut.
Sistem pembabaran batik, mulai dari me-rengsi (mendisain mori),
sampai ke lorod (mencelup kain dalam air panas), juga dengan
cara mereka sendiri. Bahan-bahan pewarna harus bisa didapatkan
di kawasan mereka sendiri. Dan rupanya hal itu tersedia semua.
- Dan bagaimana dengan motif? Para wanita yang berasal dari suku
Alyawana dan Aumatjira ini tidak pernah bersekolah. Memegang
pensil atau pena adalah hal yang sangat asing bagi mereka.
Tetapi ketika mereka dibiarkan membuat motif atau disain di atas
mori, terlihatlah garis-garis asli tapi indah. Motif-motif yang
terdapat dalam alam totem mereka, seperti cicak, buaya, kanguru,
ikan atau sejenis tumbuh-tumb'uhan, mereka lukiskan di atas
mori.
Di kemudian hari, Utopia yang jauh dari jangkauan kota itu
mungkin bisa dijadikan kota-turis kedua untuk mempertontonkan
kehidupan kaum Aborigin. Kota pertama adalah Alice Springs. Bagi
kaum pembela Aborigin, Alice Springs disamakan dengan kawasan
perlindungan (kamp) kaum Oglala Sioux di Pine Ridge, South
Dakota, Amerika Serikat.
Selama ini, barang-barang kerajinan Aborigin antara lain berupa
lukisan di atas kulit kayu atau kulit burung emul yang mempunyai
warna dasar merah, hitam dan putih.
Sebagai kelanjutan memperkenalkan batik kepada pribumi Australia
itu, tahun depan, 5 wanita Aborigin akan melancong ke Yogya
untuk memperdalam teknik pembatikan. Kelima wanita ini akan
dipimpin oleh Yulia Murray sendiri. Hanya masalahnya kini,
seperti yang dikatakan hlurray: "Adakah keluarga Indonesia yang
mau menampung kami?
Sebab ongkos hotel cukup mahal dan kami tidak ada uang untuk
itu." Ya, siapa yang bersedia menampung mereka?.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini