Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Dipacu ombak, di sela karang dipacu ombak, di sela karang

Suka duka pemetik rumput laut di pantai cilauteureun (ja-bar) mereka selalu berpacu dengan ombak. penghasilannya rp 700/hari lebih besar dari penghasilan bertani.

14 November 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GELOMBANG Samudra Indonesia selalu tampak ganas. Tapi penduduk Cilauteureun Kecamatan Pameungpeuk, Jawa Barat, rupanya tak peduli. Sebab justru di hamparan batu karang di pantai desa itu, mereka mengandalkan hidup sebagai pemetik rumput laut! Laki-laki maupun wanita, lengkap dengan dudukuy (topi lebar dari bambu) terbongkok-bongkok memetik tanaman laut itu sambil menyeret kantung plastik sebagai wadah. Ombak-ombak yang setiap waktu datang menggulung, lalu menghempas ke pantai, bagaikan benda mainan mereka. Jika seorang melihat gulungan ombak sedang berlari menuju tepian, dia akan berteriak mengingatkan temantemannya. Teriakan disambut riuh sambil mendorong ke pinggir. Begitu ombak memecah dengan keras, mereka pun berteriak senang sambil berlari ke tempat semula, ke karang tempat rumput laut itu tumbuh. "Nasib kami memang harus selalu berpacu dengan ombak--sedikit kurang gesit kami akan ditelannya, " ungkap salah seorang pemetik rumput laut itu, Said. Pantai Cilauteureun dan sekitarnya, seperti Gunung Sulah, Cimari, Ranca Buaya dan Sancang, Kecamatan Pameungpeuk, Kabupaten Garut, sejak lama dikenal sebagai penghafsil rumput laut. Setiap bulan puluhan ton rumput laut diangkut dari pantai ini. Penghasilan para pencari tumbuhan laut pun lumayan. Bila sedang mujur, Said misalnya, bisa mengumpulkan 30 kg rumput laut merah. Bila dari jenis yangbaik setiap kilogram bisa laku Rp 200. Rumput laut hijau, yang biasa disebut kades, laku Rp 40/kg dan yang bernama pars cuma Rp 15/kg. Eee, Dia Tersenyum Ditambah perolehan Itang, istrinya, Said bisa hidup tenteram dengan empat anaknya. Sayangnya ia cuma bisa beroperasi bila laut sedang surut. Yaitu sekitar tanggal 1 - 4, tanggal 11 - 13 dan tanggal 26 - 29 tiap bulan. ltu pun hanya untuk sekitar 2 - 3 jam. Di luar waktu itu, ombak Samudra Indonesia sungguh tak bisa diajak berkompromi. Di saat air pasang, para pemetik rumput laut biasanya menganggur, meskipun ada juga yang tetap nekat, tak mempedulikan gelombang. Tapi Eon tak merasa kecil hati. "Tuhan memang telah mengatur begitu," katanya, "kalau rumput laut bisa dipetik setiap hari, pasti akan segera habis." Jadi, katanya lagi, air pasang itu ada hikmahnya juga. Menyadari bahaya yang mungkin timbul, terkadang Said dan Itang merasa ngeri. Tak hanya diancam terkaman ombak, terperosok ke celah batu karang yang bisa mengundang maut. Paling sedikit kalau sedang sial, kaki tersenggol bulu babi, sejenis binatang laut yang punya duri berbisa. Tapi rasa ngeri segera sirna bila ingat, keempat anak mereka perlu makan. Lagi pula, mencari rumput laut punya arti khusus--yang romantis--bagi suami istri ini. Said membisikkan peristiwa yang dialaminya sekitar 16 tahun lalu. Ketika itu ia masih bujang dan Itang yang lagi "mekar" banyak diincar pemuda. Seperti biasa mereka mencari rumput laut. Tiba-tiba ombak bergulung cepat sekali. Semua lari pontang panting menyelamatkan diri. Tak sengaja Said menabrak Itang. Keduanya jatuh saling tindih, gelagapan kena air laut. Semula Said mengira Itang akan marah-marah. "Ternyata . . . eee, dia tersenyum," kata Said. Sejak itu keduanya tambah intim dan lalu bersumpah setia di hadapan penghulu . Walau harus sering menganggur, pencari rumput laut umumnya enggan jadi petani. "Mencari rumput laut lebih menguntungkan," tutur Enoh. Ia pernah membuktikannya dengan bertanam kacang tanah. Dari areal seluas 1.500 meter, ia cuma bisa memetik 2 kuintal atau Rp 100 ribu. Itu pun setelah bekerja keras dan menanti 3 bulan lamanya. Memetik rumput laut, sekali turun Enoh memperoleh Rp 700. Dan kerjanya cukup santai. "Kalau gesit, bisa mendapat lebih banyak," kata ibu dari lima anak ini. Sang suami yang ikut turun ke pantai, membuat keluarga mereka hidup cukup memadai. Usaha KUD Unit Rumput Laut Pameungpeuk pun turut lancar. Ketuanya, Ondo, biasa membeli rumput laut yang sudah agak kering Rp 130/kilo. Di KUD rumput itu disortir dan dikeringkan lagi. Satu kuintal rumput laut basah, paling banyak menjadi 10 - 15.kg bila sudah kering. Harganya pun sudah melonjak jadi Rp 600/kg--untuk selanjutnya diangkut dengan truk ke Jakarta atau Surabaya. Untuk selanjutnya diekspor atau diolah -di dalam negeri. Selain untuk bahan kue (agar-agar) rumput laut berguna untuk industri gula, cat, karet atau film. Kabar selentingan bahwa ekspor rumput laut dihentikan, sempat pula singgah di telinga Ondo. Ia menuding kabar itu dilontarkan sesuatu pihak untuk menekan harga. Tanpa ekspor, katanya, pabrik agar-agar dalam negeri sebenarnya cukup banyak menyedot rumput laut. Nyatanya, omzet penjualan KUD yang dipimpinnya sampai sekarang tak mengalami perubahan. Para pencari rumput laut pun tetap tenang bekerja. Kokom, gadis berusia 13 tahun, biasa turun ke pantai bersama ibunya. Yang bisa dikumpulkan mereka tak banyak, hanya sekitar 20 kg rumput laut jenis kades atau paris. Mencari rumput laut merah atau biasa disebut agar-agar, mereka tak berani. Jenis yang harganya lebih mahal ini tumbuh jauh di tengah laut. Kokom dan ibunya cukup mencari yang tumbuh di pinggiran, karena mereka tak kuat berlari kencang menghindari ombak. Toh hasilnya lumayan. Kokom bisa membiayai sekolahnya. Ia kini duduk di kelas VI SD. Peristiwa tragis pernah menimpa Uus. salah seorang pemetik rumput laut. Pemuda berusia 20 tahun (ketika itu) seperti biasa turun ke batu karang. Tiba-tiba ombak besar datang. Teriakan peringatan agar menghindar, tak sempat didengarnya. Tapi Uus yang berada jauh di tengah masih mencoba berlari. Ia terpeleset dan jatuh terjerembab. Ombak besar datang, lalu menyeretnya ke tengah Laut Kidul. Sampai kini mayat Uus tak pernah ditemukan. Itu sebabnya Odi, saudara sepupu Uus, agak ngeri bila melihat mendung dan ombak yang menderu bergulung-gulung. "Bulu kuduk saya selalu berdiri," katanya. Di saat begitu, ketimbang mengalami nasib seperti Uus, ia merasa lebih baik pulang ke rumah dengan tingan hampa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus