SAMBIL bergandengan tangan, kedua gadis itu memasuki salah
sebuah toko terbesar di Jalan Asia Afrika, Bandung. Di depan
pintu toko itu mereka melihat ada sebuah timbangan. Seorang di
antaranya segera merogoh kantung roknya mengambil uang Rp 50.
Dia pun naik ke timbangan tersebut. Uang logam dimasukkan.
Tidak berapa lama keluar secarik kertas yang mirip karcis kereta
api. Di bawah tulisan "berat badan anda" tertera angka "53 kg".
"Horee, turun sekilo," dia berseru kepada temannya. Ia pun
tertawa ketika membaca tulisan di balik "karcis" itu: "Akan
datang teman lama, membawa berita dan rezeki yang tak
disangka-sangka."
Kini giliran gadis yang satu lagi. Kartu yang keluar menunjuk
angka 48 kg. Sedangkan ramalan di balik karcis berbunyi "Soal
teman dan uang harus anda pisahkan, jika tidak ingin tertipu."
"Wah, apaan sih, ni," serunya. "Sekali lagi, ah." Dia lebih
mempedulilan ramalan, ketimbang berat tubuhnya. Dan di karcis
kecil yang kedua dibaca: "Pengeluaran uang ekstra harus
benar-benar diperhitungkan."
"Tulisan itu sih iseng saja, darinada kosong," ujar Warni,
penjaga timbangan badan di pusat perbelanjaan Projek Senen,
Jakarta. Dan hal ini dibenarkan oleh Johnny Tjan, 38 tahun,
pemilik 5 unit timbangan di Projek Senen. "Ramalan itu buat
tambah kegembiraan saja," kata Johnny, "dan usaha timbangan cuma
bisnis iseng saja." Karena menurut dia hasilnya tidak bisa
ditentukan. Dia lebih mengandalkan toko emasnya.
Timbangan yang tersedia di beberapa pusat perbelanjaan memang
jenis khusus timbangan berat badan. Berat maksimum, 100 kg.
Sistem pencatatan berat beban bekerja secara elektronis dan
otomatis, yang sekaligus mencatat tentang berat, tanggal, bulan
dan tahun ketika menimbang, berikut kalimat-kalimat ramalan di
balik karcis. Jenis timbangan macam ini sangat tergantung pada
arus listrik.
Ternyata berat badan yang ditunjukkan kartu timbangan juga
sering berbeda, artinya tak cocok dengan berat sebenarnya. "Itu
bisa terjadi karena jarum silinder belum berhenti betul, coin
sudah dimasukkan," kilah Johnny. Sebab, tambahnya, kalau jarum
masih bergerak, walau sedikit, angka penunjuk berat bisa
meleset.
Menurut Kepala Seksi Ukuran Panjang dan Timbangan di kantor
Metrologi Bandung, Tatang, ketakcocokkan timbangan itu memang
bisa saja terjadi, lebih-lebih pada timbangan badan yang bekerja
secara elektris. "Misalnya karena kurang hati-hati
memindahkannya, perubahan pada alat ukurnya dapat tak sesuai
dengan yang sebenarnya," kata Tatang.
Dari 5 unit timbangan yang dimiliki Johnny Tjan, kini tinggal 2
buah saja yang masih jalan. "Tak ada yang menjaga, jadi lebih
baik ditutup saja," kata Tjan. Tidak jelas, mengapa timbangan
yang berjalan serba otomatis ini masih memakai seorang tenaga
penjaga, yang gaji hariannya Rp 600. Mungkin untuk menghindari
tangan-tangan jahil, karena kalau rusak, ongkos reparasinya
cukup mahal.
"Dulu saya pikir cukup menguntungkan," keluh Tjan, "tapi
ternyata sulit. Bisa balik modal saja sudah untung." Tiga tahun
yang lalu, ketika Johnny Tjan membeli timbangan bekas pakai itu,
harganya masih Rp 750.000. "Sekarang, saya tidak pernah
menghitung sudah kembali modal atau belum,"katanya lagi.
Penghasilan mesin timbang ini juga tidak pasti. Timbangan yang
ada di King's Shopping Centre, Jalan Sudirman, Bandung, berkisar
Rp 2.000 sehari. Hasil itu masih dibagi lagi antara pemilik toko
dan pemilik timbangan. Menurut Johnny Tjan penghasilan sebuah
timbangannya bersih cuma sekitar Kp 500 sehari. Warni si penjaga
timbangan di Proyek Senen bekerja dari pukul 09. 00 sampai pukul
20.00 dengan pendapatan rata-rata sekitar Rp 3.500 sehari. Dari
hasil tersebut, Tjan masih harus membayar listrik yang harus
dibayarnya per hari. Selama bulan September 1981 misalnya,
kelima buah timbangan Johnny Tjan terkena biaya listrik Rp
84.150. Meskipun cuma dua timbangan yang masih aktif dan tiga
terpaksa dipensiunkan.
Belum lagi ongkos teranya. "Ongkosnya sih tidak seberapa," kata
Tjan lagi, "paling cuma Rp 2.000. Tapi ongkos angkut timbangan
itu ke Kantor Tera, jauh lebih besar." UU No. 2/81 tentang
Metrologi Legal, yaitu jenis timbangan badan yang dioperasikan
dengan memungut bayaran, mewajibkan tiap timbangan ditera setiap
tahun. "Kalau sampai lalai, bisa kena ancaman denda Rpl juta,"
kata Sanyoto, Kepala Seksi Pengawasan dan Penyuluhan UTTP
(Ukuran Timbangan-Takaran dan Peralatannya) Jakarta.
Tarif tera sesungguhnya ringan. Timbangan sampai dengan 25 kg
cuma Rp 90, ukuran 26 kg sampai dengan 100 kg Rp 150, sampai 250
kg Rp 210 dan sampal dengan 1 ton, hanya Rp 450. Di atas 1 ton,
kena tambahan Rp 200 setiap ton.
Tetapi tenaga pengamat tera ternyata sangat sedikit. Cuma 12
orang untuk wilayah Jakarta, berikut kawasan Banten, Bogor,
Purwakarta, Subang, Karawang dan Bekasi. "Jadi pemilik timbangan
di daerah-daerah itu harus menerakan di Jakarta," kata Sanyoto.
Dalam keadaan serupa itu tak sulit ditebak bila ibu-ibu yang
berbelanja di pasar sering mengeluh. "Membeli sekilo daging,
bila ditimbang lagi di rumah selalu hanya sembilan ons," keluh
seorang wanita yang sering berbelanja di Pasar Jatinegara,
Jakarta. Dan timbangan yang sering memalsu berat sebenarnya itu,
terdapat hampir di tiap pasar, bahkan menjalar ke toko-toko
biasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini