Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dapur Dalikin Siswodiharjo hampir tak pernah berhenti mengepul. Pagi-pagi buta, setelah puluhan kilogram tahu dipak untuk dibawa anaknya ke pasar, lelaki 67 tahun ini bersiap dengan kesibukan baru. Ampas tahu itu diolahnya menjadi kue kering atau nuget. Sekilo nuget bisa dijual Rp 15 ribu, sedangkan harga satu kilo kue kering Rp 8.000-15.000.
Hasil itu terang menggembirakan hati keluarga Dalikin dan 21 keluarga pembuat tahu lainnya di Kampung Gedong Kiwo, Mantri Jeron, Yogyakarta. Puluhan tahun menjadi perajin tahu, Dalikin tak pernah membayangkan ampas tahu yang biasanya dibuang atau paling banter dijual ke peternak babi ini bisa diolah jadi makanan.
Padahal jumlah limbah pembuatan tahu ini lumayan banyak. Dari 75 kilogram kedelai, Dalikin mendapat ampas tahu sekitar 50 kilogram. Selama ini Dalikin menjual ampas tersebut Rp 5.000 per ember berisi 15 kilogram ampas. Jika laku semua, Dalikin mendapat tambahan penghasilan Rp 15 ribu sehari. Jika lagi sial, limbah itu terbuang sia-sia.
Hal yang sama dilakukan pembuat tempe atau tahu tetangga Dalikin. Setiap hari kampung sentra pembuat tahu dan tempe itu membutuhkan 12 ton kedelai. Dari jumlah itu, bisa dihasilkan ampas hampir satu ton. Jika tak laku dijual ke peternak babi, ampas itu dibuang ke sungai. Pada musim hujan, ampas itu pun hanyut ke hilir. Tapi, jika terik, ratusan kilogram limbah tak tergelontor, menyeruakkan aroma ”aduhai”.
Tapi justru dari bau menyengat itulah nasib warga Gedong Kiwo berubah. Ceritanya bermula ketika enam siswa kelas II SMA Negeri 6 Yogyakarta diundang Toyota ke Bogor untuk mengikuti pelatihan lingkungan hidup SMA se-Jawa dan Bali, November lalu. Deo Fani Nurwijaya, Fathurahman, Umy Nurfadhilah, Nurul Istiqomah, Dewi Prasetya Drajati, dan Yuki Prakanto diajari antara lain metodologi penelitian tentang lingkungan sekitar.
Sepulang dari Kota Hujan, mereka tertantang membuat penelitian. Nah, lantaran beberapa dari mereka akrab dengan sengatan bau limbah tahu—karena setiap pulang sekolah melewati Gedong Kiwo—muncullah ide untuk melakukan sesuatu pada limbah tersebut. Nurul mengusulkan mengubah ampas tahu dari konsumsi ternak menjadi penganan.
Mereka kemudian membawa sampel ampas tahu ke laboratorium Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada untuk diuji kandungan protein, gizi, atau kemungkinan adanya bakteri. ”Begitu yakin kandungan nutrisinya lumayan, kami pun semangat mengolahnya menjadi makanan,” kata Deo.
Eksperimen berlangsung tiga bulan. Limbah kering dan basah dipisah. Ampas berupa kulit kedelai diolah menjadi keripik dan kue kering. Sedangkan ampas tahu padat dicuci, disaring dengan kain kasa, dicampur telur dan bumbu lain. Adonan dikukus lalu didinginkan dan dimasukkan ke freezer. Jadilah ampas itu nuget yang siap digoreng.
Uji coba para siswa itu langsung disosialisasikan ke warga kampung. Praktek membuat nuget dan kue kering dari ampas tahu pun dilakukan berulang kali, sebelum mendapatkan rasa yang pas. Begitu sukses, warga menjualnya. Untuk menambah daya tarik, bentuk nuget dibuat berjenis-jenis, ada yang hanya berbentuk potongan sederhana, ada pula yang dibikin seperti mobil atau bunga.
Tak diduga, nuget ampas tahu itu banyak peminatnya. Warga kampung pun diminta ikut bazar dan pameran yang digelar pemerintah Yogyakarta. Temuan itu membuat perajin tempe dan tahu kini bisa tersenyum lebar. Dalikin, misalnya, selain dari tahu, koceknya bertambah tebal dari ampasnya. Hasilnya jauh berlipat-lipat ketimbang dijual ke peternak babi.
Keenam murid SMAN 6 itu lalu mengirim karyanya untuk lomba penelitian Toyota Eco Youth 2007, akhir Maret lalu. ”Mereka berhasil menang dalam lomba karya ilmiah inovatif,” ujar Rudi Prakanto, guru SMA 6 Yogyakarta. Menurut Rudi, anak didiknya menang karena hasil penelitiannya memberikan manfaat ekonomi langsung kepada penduduk Gedong Kiwo.
Setelah kemenangan itu, SMAN 6 Yogyakarta kian tertantang untuk mengembangkan model belajar yang langsung terkait dengan masyarakat sekitar. ”Siswa diajak melihat fenomena di masyarakat, karena sebuah teori akan menarik jika dikaitkan dengan fenomena di masyarakat,” ujar guru biologi ini.
Model belajar yang sama sudah dilakukan SMAN I Yogyakarta lebih dulu. SMA terbaik di Kota Gudeg ini melakukannya sejak 1985. Hingga kini mereka sudah memiliki 22 desa binaan di Yogyakarta dan daerah sekitarnya seperti Gunung Kidul dan Bantul. Pada Juli nanti, sekolah ini akan mengarahkan kegiatan siswanya ke Desa Tayuban, Kulonprogo.
Kegiatan tersebut biasanya dilakukan setiap awal tahun ajaran. Semua siswa kelas I dan II wajib ikut. Mereka dibagi dalam beberapa kelompok. Setiap desa akan dijadikan ajang belajar selama lima tahun. ”Ini agar siswa belajar tentang realitas sosial langsung di tengah-tengah masyarakat,” ujar Muhammad Singgih, Wakil Kepala SMAN I Yogyakarta.
Tak ubahnya seperti mahasiswa yang melaksanakan kuliah kerja nyata, pembelajaran di desa oleh anak SMAN I dibuka dengan kemah bakti. Tiap kelompok siswa menginventarisasi masalah di desa itu dan mempresentasikannya di depan kelas, lengkap dengan usul untuk solusinya. ”Secara periodik, mereka akan kembali ke desa yang ditunjuk untuk melakukan berbagai kegiatan,” kata Singgih.
Salah satu yang dilakukan adalah mengajari penduduk Desa Banyusoca, Bantul, membuat kerajinan dari tanaman enceng gondok yang banyak tumbuh di kawasan itu. ”Desa itu akhirnya menjadi sentra perajin keranjang dari enceng gondok dan hasilnya diekspor,” katanya. Kini perekonomian daerah itu tak hanya bergantung pada sektor pertanian.
Menurut praktisi pendidikan Arief Rachman, sistem pembelajaran yang berbasis pada masyarakat ini akan menumbuhkan kreativitas siswa dan manfaatnya juga konkret. ”Itu bisa masuk ke semua mata pelajaran, dari pendidikan kewarganegaraan hingga sains,” katanya. Para siswa pun menjadi lebih peka terhadap lingkungan sekitarnya dan terbiasa mencari solusi atas masalah yang dihadapi.
Widiarsi Agustina dan Syaiful Amin (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo