Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Bila gadis dilarikan

Di beberapa daerah masih ada kelaziman pria melarikan gadis untuk dinikahi. kejadian di lombok sempat menimbulkan kerusuhan masal. ada yang kawin lari justru dikehendaki orang tua gadis.

13 Desember 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG putri keluarga raja, tiba-tiba menghilang dari rumahnya di Sumbawa Besar. Dugaan kuat masyarakat: gadis itu dilarikan seorang pegawai BRI, bernama A. Kontan rumah Kepala BRI Sumbawa dikepung massa-yang mengira gadis itu ada di sana. Ternyata tidak, dan massa beralih ke rumah Kepala Kejaksaan Negeri Sumbawa. Letupan kemarahan tidak tertahan: kerusuhan meledak di seantero pulau, menimbulkan korban puluhan orang. Peristiwa yang sempat mengundang turunnya seluruh aparat keamanan di Nusa Tenggara itu tidak lebih dari sekedar persoalan cinta. Pemuda A melarikan gadis itu bukan untuk dia sendiri. Melainkan untuk seorang temannya anggota Polri, NW. Hubungan cinta NW dan si gadis memang sudah ada--dan tidak direstui keluarga wanita. Maklum mereka berdua memang berlainan agama. Tapi begitulah, NW nekat melarikan si gadis. Akibatnya perkelahian 9 November yang lalu terjadi. Kawin lari dalam masyarakat adat di Indonesia memang bisa merupakan jalan pintas untuk perkawinan yang tidak direstui orang tua. Tetapi di beberapa kalangan, kawin lari justru direstui orang tua si gadis, untuk menghindarkan mas kawin yang tinggi. Biasanya orang tua si gadis sudah menyetujui calon mantunya, tetapi tidak bisa menurunkan mas kawin. Akhirnya, orang tua menyctujui gadisnya dilarikan. Di Pulau Bali, akibat sistem masyarakat yang berkasta, banyak pasangan memilih kawin lari. Apalagi bila kasta wanita lebih tinggi, Kesatria, sementara lelakinya terendah, Sudra, tidak ada jalan lain kecuali kawin lari. Karena, biasanya, pihak orang tua wanita tidak setuju menikahkan putrinya dengan orang berkasta lebih rendah." "Kawin lari itu istilahnya saja yang jelek, tapi sebetulnya tindakan kesatria," ujar Drs. AA. Gde Putra, Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama, Bali. Sebaliknya, di Bali ada juga pihak keluarga wanita yang mengizinkan anaknya dibawa kabur. Itu biasanya disebabkan, pihak keluarga wanita terikat untuk menjodohkan anak gadisnya dengan putra seorang keluarga mereka, sementara anak gadisnya tidak mau--karena sudah mencintai pria lain. Kebetulan pula, jejaka yang dicintai gadis juga disetujui orang tuanya. Jadi mau tak mau orang tua mengizinkan gadisnya dilarikan. Adat kawin lari di Bali, tutur AA Gde Putra, tidak pernah menyebabkan peristiwa yang bukan-bukan. Karena memang begitulah adat. Tapi kericuhan bisa juga terjadi. Biasanya, laki-laki yang membawa lari calon istrinya minta suaka kepala adat di desa tetangganya. Dalam waktu tiga hari, keluarga laki-laki memberitahu keluarga perempuan, perihal anaknya. Keluarga perempuan menengok anaknya di tempat perlindungan dan bertanya: benarkah ia mencintai pria yang melarikannya? Kalau tidak wah, akibatnya bisa fatal--baik bagi laki-laki yang melarikan maupun kepala adat yang memberikan perlindungan. Mereka bisa dituntut. Tapi, "keluarga perempuan tidak bisa menuntut dan polisi juga tidak bisa campur tangan bila mereka saling mencinta," kata Gde Raka. Kejatuhan Aib Dengan begitu segala macam upacara adat boleh dijalankan. Sementara itu calon mempelai dilarang keras melakukan hubungan sebagai suami-istri. Ada upacara tambahan yang harus dilakukan si 'korban" kawin lari: mempelai wanita harus permisi kepada leluhur melalui upacara yang disebut mesakapan. Untuk itu masih harus pula dicari hari dan bulan baik atau hari dewasa ayu. Umumnya 21 hari sebelum Hari Raya Galungan. Di Lombok, tetangga Pulau Bali, kawin lari juga dikenal. Repotnya, kalau keluarga wanita tidak merestui, mereka akan mengejar. Nah, bila ketemu, perkelahian tidak terelakkan. Tapi, bila setuju, mereka pura-pura tidak tahu, sampai datang pemberitahuan dari keluarga laki-laki. Dalam kasus orang tua tidak setuju, biasanya anak gadisnya akan ditanyai, apakah akan pulang atau terus melangsungkan perkawinan. Bila jawabannya, pulang ke rumah perkawinan batal dan si lelaki kena denda. Sebaliknya, bila si gadis tetap akan mengikuti calon suaminya, keluarga tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk itu, dalam masyarakat Lombok yang beragama Islam, perkawinan dilangsungkan dengan wali hakim. Tapi yang semacam itu jarang terjadi. Sebab, biasanya setelah anak gadisnya dilarikan, pihak orang tua menjatuhkan restunya juga. Dulu, sebelum ada Undang-Undang Perkawinan, upacara pernikahan bisa langsung dilaksanakan. Sekarang harus melalui pendaftaran di Kantor Urusan Agama. Menurut Mr. B. Ter Haar Bzn, seorang ahli hukum adat Indonesia, kawin lari dikenal di seluruh masyarakat Indonesia. Baik keluarga yang menganut garis ibu atau bapak. Kawin lari di Lampung, Rejang Lebong, dilakukan untuk menurunkan yang jujur (mas kawin) yang tinggi, misalnya. Tapi sebaliknya di Sulawesi Selatan membawa lari gadis merupakan pelanggaran adat. Bahkan, bila ada unsur pemaksaan dari pihak laki-laki, akibatnya jadi buruk: keluarga perempuan merasa kejatuhan aib, dan merasa memperoleh hak membunuh si pemuda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus