SEORANG putri keluarga raja, tiba-tiba menghilang dari
rumahnya di Sumbawa Besar. Dugaan kuat masyarakat: gadis itu
dilarikan seorang pegawai BRI, bernama A. Kontan rumah Kepala
BRI Sumbawa dikepung massa-yang mengira gadis itu ada di sana.
Ternyata tidak, dan massa beralih ke rumah Kepala Kejaksaan
Negeri Sumbawa. Letupan kemarahan tidak tertahan: kerusuhan
meledak di seantero pulau, menimbulkan korban puluhan orang.
Peristiwa yang sempat mengundang turunnya seluruh aparat
keamanan di Nusa Tenggara itu tidak lebih dari sekedar persoalan
cinta. Pemuda A melarikan gadis itu bukan untuk dia sendiri.
Melainkan untuk seorang temannya anggota Polri, NW. Hubungan
cinta NW dan si gadis memang sudah ada--dan tidak direstui
keluarga wanita. Maklum mereka berdua memang berlainan agama.
Tapi begitulah, NW nekat melarikan si gadis. Akibatnya
perkelahian 9 November yang lalu terjadi.
Kawin lari dalam masyarakat adat di Indonesia memang bisa
merupakan jalan pintas untuk perkawinan yang tidak direstui
orang tua. Tetapi di beberapa kalangan, kawin lari justru
direstui orang tua si gadis, untuk menghindarkan mas kawin yang
tinggi. Biasanya orang tua si gadis sudah menyetujui calon
mantunya, tetapi tidak bisa menurunkan mas kawin. Akhirnya,
orang tua menyctujui gadisnya dilarikan.
Di Pulau Bali, akibat sistem masyarakat yang berkasta,
banyak pasangan memilih kawin lari. Apalagi bila kasta wanita
lebih tinggi, Kesatria, sementara lelakinya terendah, Sudra,
tidak ada jalan lain kecuali kawin lari. Karena, biasanya, pihak
orang tua wanita tidak setuju menikahkan putrinya dengan orang
berkasta lebih rendah." "Kawin lari itu istilahnya saja yang
jelek, tapi sebetulnya tindakan kesatria," ujar Drs. AA. Gde
Putra, Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama, Bali.
Sebaliknya, di Bali ada juga pihak keluarga wanita yang
mengizinkan anaknya dibawa kabur. Itu biasanya disebabkan, pihak
keluarga wanita terikat untuk menjodohkan anak gadisnya dengan
putra seorang keluarga mereka, sementara anak gadisnya tidak
mau--karena sudah mencintai pria lain. Kebetulan pula, jejaka
yang dicintai gadis juga disetujui orang tuanya. Jadi mau tak
mau orang tua mengizinkan gadisnya dilarikan.
Adat kawin lari di Bali, tutur AA Gde Putra, tidak pernah
menyebabkan peristiwa yang bukan-bukan. Karena memang begitulah
adat. Tapi kericuhan bisa juga terjadi. Biasanya, laki-laki yang
membawa lari calon istrinya minta suaka kepala adat di desa
tetangganya. Dalam waktu tiga hari, keluarga laki-laki
memberitahu keluarga perempuan, perihal anaknya.
Keluarga perempuan menengok anaknya di tempat perlindungan
dan bertanya: benarkah ia mencintai pria yang melarikannya?
Kalau tidak wah, akibatnya bisa fatal--baik bagi laki-laki yang
melarikan maupun kepala adat yang memberikan perlindungan.
Mereka bisa dituntut. Tapi, "keluarga perempuan tidak bisa
menuntut dan polisi juga tidak bisa campur tangan bila mereka
saling mencinta," kata Gde Raka.
Kejatuhan Aib
Dengan begitu segala macam upacara adat boleh dijalankan.
Sementara itu calon mempelai dilarang keras melakukan hubungan
sebagai suami-istri. Ada upacara tambahan yang harus dilakukan
si 'korban" kawin lari: mempelai wanita harus permisi kepada
leluhur melalui upacara yang disebut mesakapan. Untuk itu masih
harus pula dicari hari dan bulan baik atau hari dewasa ayu.
Umumnya 21 hari sebelum Hari Raya Galungan.
Di Lombok, tetangga Pulau Bali, kawin lari juga dikenal.
Repotnya, kalau keluarga wanita tidak merestui, mereka akan
mengejar. Nah, bila ketemu, perkelahian tidak terelakkan. Tapi,
bila setuju, mereka pura-pura tidak tahu, sampai datang
pemberitahuan dari keluarga laki-laki.
Dalam kasus orang tua tidak setuju, biasanya anak gadisnya
akan ditanyai, apakah akan pulang atau terus melangsungkan
perkawinan. Bila jawabannya, pulang ke rumah perkawinan batal
dan si lelaki kena denda. Sebaliknya, bila si gadis tetap akan
mengikuti calon suaminya, keluarga tidak bisa berbuat apa-apa.
Untuk itu, dalam masyarakat Lombok yang beragama Islam,
perkawinan dilangsungkan dengan wali hakim.
Tapi yang semacam itu jarang terjadi. Sebab, biasanya
setelah anak gadisnya dilarikan, pihak orang tua menjatuhkan
restunya juga. Dulu, sebelum ada Undang-Undang Perkawinan,
upacara pernikahan bisa langsung dilaksanakan. Sekarang harus
melalui pendaftaran di Kantor Urusan Agama.
Menurut Mr. B. Ter Haar Bzn, seorang ahli hukum adat
Indonesia, kawin lari dikenal di seluruh masyarakat Indonesia.
Baik keluarga yang menganut garis ibu atau bapak. Kawin lari di
Lampung, Rejang Lebong, dilakukan untuk menurunkan yang jujur
(mas kawin) yang tinggi, misalnya.
Tapi sebaliknya di Sulawesi Selatan membawa lari gadis
merupakan pelanggaran adat. Bahkan, bila ada unsur pemaksaan
dari pihak laki-laki, akibatnya jadi buruk: keluarga perempuan
merasa kejatuhan aib, dan merasa memperoleh hak membunuh si
pemuda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini