Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Ronggeng hidup lagi, segera

Tarian ronggeng akan dihidupkan lagi, dewan kesenian medan mengadakan pertemuan membicarakan program memasyarakatkan kembali ronggeng.

13 Desember 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RONGGENG Melayu nyaris hilang. Bentuk tari rakyat Melayu yang memberi tekanan pada rentak kaki dan sangat populer di tahun 50-an di Sumatera Utara ini, biasanya muncul dalam acara pesta atau upacara. Tapi 15 tahun terakhir ini, puluhan grup ronggeng dl Sumatera Utara satu per satu berantakan. "Kami kalah dengan grup musik pop, yang tumbuh macam jamur sejak Orde Baru," kata Ahmadsyah Ismail, Pimpinan grup ronggeng Buyung Damai yang telah bubar. Maka awal Desember yang lalu Dewan Kesenian Medan (DKM) mengadakan pertemuan --membicarakan program memasyarakatkan kembali ronggeng. Hasilnya baru: kerjasarna DKM dengan TVRI Medan untuk mendaftar grup-grup ronggeng yang masih ada. Kecuali itu, menurut Letkol Yoesoef Ketua DKM, juga akan dihimbau para pejabat agar pada setiap resepsi penutupan acara resmi, seminar atau lainnya diadakan pergelaran ronggeng. "Di Jawa Barat ada ketuk tilu, di Maluku ada lenso. Lalu apa di Medan?" kata Ketua DKM. "Rongeng, itulah." Soal asal muasal seni lengganglenggok yang diiringi biola, gendang dan terkadang juga suling itu, dengan para penarinya yang saling 'berbalas pantun, belum jelas benar. Menurut Tengku Luckman Sinar SH, putra bekas Sultan Serdang, dalam Hikayat Hang Tuah telah disebut-sebut ronggeng itu. "Jadi pada abad ke-15 sudah ada ronggeng," kata pengusaha swasta yang suka menekuni sejarah Melayu itu. Yang jelas, menurut catatan ketika menduduki Malaka (1511-1640) Portugis memperkenalkan satu bentuk hiburan berupa tarian diiringi musik biola, gong, gendang dan atau suling. Gerak tari lebih memberi tekanan pada rentak kaki daripada gerak tangan. Konon, bentuk inilah yang mendasari ronggeng. Kemudian rongeng populer sebagai kesenian rakyat. Ketika Sultan Serdang membuka sawah besar-besaran awal abad ke-20, sebagai hiburan diadakan pula ronggeng itu. Entah mencontoh inisiatif Sultan Serdang atau bukan, kemudian muncul tradisi: di perkebunan Sumatera Utara dan Timur setiap habis bulan tentu ada pergelaran ronggellg. Juga setiap pesta. Menurut Luckman Sinar, ronggeng waktu itu pesat berkembang karena ada pelindung. Apalagi pihak kesultanan tak mau mengundang sembarang ronggeng dipilihnya grup yang di samping beranggotakan penari cantik, juga benar-benar pintar menari dan terampil berbalas pantun. Ini mengakibatkan grup ronggeng berlomba meningkatkan mutu. Menurut Ahmadsyah, tahun 40-an beberapa penari ronggeng bahkan menjadi buah bibir orang Melayu--seperti bintang film kini. Galuh Dinar, Galuh Hamid, Masdurah, Siti Cina, adalah nama-nama primadona yang masih diingat Buyung. Sebenarnya, di Medan sekarang ini, mereka yang ingin beronggeng atau hanya menyaksikan ronggeng tak sulit. Di seberang gedung DPRD Kotamadya, persis di tepi Sungai Deli, ada Taman Raden Saleh. Di situ hampir setiap malam, sejak 15 tahun yang lalu, selalu ada ronggeng. Pesertanya siapa saja yang suka. Penggesek biola dan penabuh gendangnya pun, siapa yang bisa dan bersedia. Pengunjung datang dari usia 40-an ke atas. Agaknya mereka adalah pecinta ronggeng yang mencari tempat untuk mengenang masa muda. Kata seorang pengunjung yang rajin melihat, bernama Pak Adam,58 tahun, "ini boleh disel-ut nostalgia ronggeng. Yah, kami adalah pecinta ronggeng. " Menyimpang Yang Asli Hadirnya kembali ronggeng memang bisa mempunyai arti, bila benar meyakinkan. Soalnya, jenis ini pernah pula didesak oleh Serampang Dua Belas -yang populer di zaman Bung Karno dulu --yang konon diciptakan dari gerak-gerak ronggeng pula. Menurut Tengku Sita Syaritsah, Ketua Seksi Tari DKM, tak bertahannya Serampang Dua Belas justru karena tari itu "menyimpang dari semangat ronggeng yang asli." Tari baru itu, seperti juga tari Melayu yang lain, aturannya mengikat: ada hitungan dan pola langkah. Walhasil bagi mereka yang sekedar cari hiburan, tentu saja ogah. "Saya kira itu sebabnya mengapa kebanyakan tari Melayu dilupakan orang," kata Tengku Sita. Alkisah dahulu, lelaki yang turun menarl ronggeng harus membayar sejumlah uang. Ini segi lain dari ronggeng yang asli, dahulu. Dan uang itu harus diberikanya kepada penari ronggeng dengan cara memasukkannya ke dalam kutang si penari. Mirip tayuban, memang. Lantas yang terjadi kemudian antara yang lelaki dan perempuan, agaknya harus disensur. Lalu barangkali karena pengaruh agama, pemberian uang akhirnya cukup dilakukan dengan meletakkannya di sebuah tempat -- biasanya waskom -yang sudah disediakan. Lalu "acara berikutnya" pun makin ketat, tentu. Tanggung, andai mau dihidupkan kembali, ronggeng yang asli tanggung bisa cepat digemari masyarakat. Kalau tak ada protes kaum ibu, tentu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus