RONGGENG Melayu nyaris hilang. Bentuk tari rakyat Melayu
yang memberi tekanan pada rentak kaki dan sangat populer di
tahun 50-an di Sumatera Utara ini, biasanya muncul dalam acara
pesta atau upacara. Tapi 15 tahun terakhir ini, puluhan grup
ronggeng dl Sumatera Utara satu per satu berantakan.
"Kami kalah dengan grup musik pop, yang tumbuh macam jamur
sejak Orde Baru," kata Ahmadsyah Ismail, Pimpinan grup ronggeng
Buyung Damai yang telah bubar.
Maka awal Desember yang lalu Dewan Kesenian Medan (DKM)
mengadakan pertemuan --membicarakan program memasyarakatkan
kembali ronggeng. Hasilnya baru: kerjasarna DKM dengan TVRI
Medan untuk mendaftar grup-grup ronggeng yang masih ada. Kecuali
itu, menurut Letkol Yoesoef Ketua DKM, juga akan dihimbau para
pejabat agar pada setiap resepsi penutupan acara resmi, seminar
atau lainnya diadakan pergelaran ronggeng.
"Di Jawa Barat ada ketuk tilu, di Maluku ada lenso. Lalu
apa di Medan?" kata Ketua DKM. "Rongeng, itulah."
Soal asal muasal seni lengganglenggok yang diiringi biola,
gendang dan terkadang juga suling itu, dengan para penarinya
yang saling 'berbalas pantun, belum jelas benar. Menurut
Tengku Luckman Sinar SH, putra bekas Sultan Serdang, dalam
Hikayat Hang Tuah telah disebut-sebut ronggeng itu. "Jadi
pada abad ke-15 sudah ada ronggeng," kata pengusaha swasta
yang suka menekuni sejarah Melayu itu.
Yang jelas, menurut catatan ketika menduduki Malaka
(1511-1640) Portugis memperkenalkan satu bentuk hiburan berupa
tarian diiringi musik biola, gong, gendang dan atau suling.
Gerak tari lebih memberi tekanan pada rentak kaki daripada gerak
tangan. Konon, bentuk inilah yang mendasari ronggeng.
Kemudian rongeng populer sebagai kesenian rakyat. Ketika
Sultan Serdang membuka sawah besar-besaran awal abad ke-20,
sebagai hiburan diadakan pula ronggeng itu. Entah mencontoh
inisiatif Sultan Serdang atau bukan, kemudian muncul tradisi: di
perkebunan Sumatera Utara dan Timur setiap habis bulan tentu ada
pergelaran ronggellg. Juga setiap pesta.
Menurut Luckman Sinar, ronggeng waktu itu pesat berkembang
karena ada pelindung. Apalagi pihak kesultanan tak mau
mengundang sembarang ronggeng dipilihnya grup yang di samping
beranggotakan penari cantik, juga benar-benar pintar menari
dan terampil berbalas pantun. Ini mengakibatkan grup ronggeng
berlomba meningkatkan mutu.
Menurut Ahmadsyah, tahun 40-an beberapa penari ronggeng
bahkan menjadi buah bibir orang Melayu--seperti bintang film
kini. Galuh Dinar, Galuh Hamid, Masdurah, Siti Cina, adalah
nama-nama primadona yang masih diingat Buyung.
Sebenarnya, di Medan sekarang ini, mereka yang ingin
beronggeng atau hanya menyaksikan ronggeng tak sulit. Di
seberang gedung DPRD Kotamadya, persis di tepi Sungai Deli, ada
Taman Raden Saleh. Di situ hampir setiap malam, sejak 15 tahun
yang lalu, selalu ada ronggeng. Pesertanya siapa saja yang suka.
Penggesek biola dan penabuh gendangnya pun, siapa yang bisa dan
bersedia.
Pengunjung datang dari usia 40-an ke atas. Agaknya mereka
adalah pecinta ronggeng yang mencari tempat untuk mengenang masa
muda. Kata seorang pengunjung yang rajin melihat, bernama Pak
Adam,58 tahun, "ini boleh disel-ut nostalgia ronggeng. Yah, kami
adalah pecinta ronggeng. "
Menyimpang Yang Asli
Hadirnya kembali ronggeng memang bisa mempunyai arti, bila
benar meyakinkan. Soalnya, jenis ini pernah pula didesak oleh
Serampang Dua Belas -yang populer di zaman Bung Karno dulu
--yang konon diciptakan dari gerak-gerak ronggeng pula. Menurut
Tengku Sita Syaritsah, Ketua Seksi Tari DKM, tak bertahannya
Serampang Dua Belas justru karena tari itu "menyimpang dari
semangat ronggeng yang asli." Tari baru itu, seperti juga tari
Melayu yang lain, aturannya mengikat: ada hitungan dan pola
langkah. Walhasil bagi mereka yang sekedar cari hiburan, tentu
saja ogah. "Saya kira itu sebabnya mengapa kebanyakan tari
Melayu dilupakan orang," kata Tengku Sita.
Alkisah dahulu, lelaki yang turun menarl ronggeng harus
membayar sejumlah uang. Ini segi lain dari ronggeng yang asli,
dahulu. Dan uang itu harus diberikanya kepada penari ronggeng
dengan cara memasukkannya ke dalam kutang si penari. Mirip
tayuban, memang. Lantas yang terjadi kemudian antara yang lelaki
dan perempuan, agaknya harus disensur.
Lalu barangkali karena pengaruh agama, pemberian uang
akhirnya cukup dilakukan dengan meletakkannya di sebuah tempat
-- biasanya waskom -yang sudah disediakan. Lalu "acara
berikutnya" pun makin ketat, tentu.
Tanggung, andai mau dihidupkan kembali, ronggeng yang asli
tanggung bisa cepat digemari masyarakat. Kalau tak ada protes
kaum ibu, tentu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini