PENDUDUK beberapa desa di Simalungun, Sum-Ut, hidup nyaris
tanpa air. Mereka mandi dua hari sekali --adapula yang seminggu
sekali. Bisa dimengerti kalau sebagian besar penduduk mengidap
berbagai penyakit, terutama penyakit kulit. Keadaan seperti itu
sudah berlangsung sejak masa nenek moyang mereka.
Sebenarnya di Simalungun bukannya tidak ada air sama sekali
Hampir di setiap desa yang terletak di punggung-punggung bukit
itu ada sumber air. Tapi letaknya sangat jauh dari kawasan
pemukiman penduduk. Untuk mencapai sumber itu harus didaki
perbukitan dan jurang terjal harus pula dituruni. Letaknya di
tepi hutan, jaraknya lebih dari 2 km dari desa.
Teknologi Madya
Tapi pekerjaan berat itu justru dilakukan oleh para ibu.
Jadi ibu-ibu dcngan kaleng berisi 20 liter air di kepala
merupakan pemandangan biasa. Tak jarang pekerjaan berat itu
mereka lakukan sembari menggendong anak. Sementara kaum lelaki
hanya nongkrong sambil berdendang di kedai kopi atau tuak.
Tapi untunglah: 5 tahun lalu ada seorang misionaris Katolik
yang sangat memperhatikan keadaan seperti itu. Ia adalah Bruder
L. Antonis, 59 tahun berdarah Belanda. Sejak 1971 ia menjadi
Koordinator Hygiene Sanitasi Pengembangan Masyarakat pada Rumah
Sakit Bethesda di Desa Saribudolok, Kecamatan Silimakuta. Lima
tahun lalu ia mulai memasang pompa air di Desa Hutatinggi,
Kecamatan Purba, tak jauh dari rumah sakit. Usahanya tersebut
menarik perhatian Menteri Negara PPLH Emil Salim yang sempat
meninjau pada 21 November lalu.
Dengan biaya Rp 2 juta lebih, pompa air tersebut mencukupi
kebutuhan 80 kk. Pompa itu memanfaatkan tenaga air terjun yang
memang banyak terdapat di punggung perbukitan. Dengan berbagai
klep, air bisa disemprotkan lewat pipapipa plastik, sampai ke
sebuah bak besar di desa. Pompa itu tidak memerlukan bahan bakar
minyak. Selama air terjun menderas, selama itu pula bak besar
di desa penuh.
Sejak itu penduduk tak lagi naik-turun bukit dan jurang.
Sampai sekarang pompa air seperti itu, disebut pompa ram sudah
terbangun di 23 desa dan memberi manfaat kepada sekitar 23.000
jiwa. Sepuluh desa di Kabupaten Simalungun dan sebuah di
Kabupaten Karo.
Pompa didatanbkan Antonis dari Inggris. Harganya Rp
650.000. Soal biaya nampaknya tak sulit bagi Antonis. Berbagai
badan sosial keagamaan dari luar negeri membantunya. Misalnya
Protestant Central Agency for Developmentand Aid (Jerman).
Antonis sendiri, meski Katolik, bekerja untuk GKPS (Gereja
Kristen Portestan Simalungun). RS Bethesda juga milik GKPS itu.
Namun, tidak berarti penduduk bisa mendapatkan air secara
gratis. Berdasarkan musyawarah desa, mereka mengangsur biaya
pembangunan pompa air tersebut. Tahun pertama dan kedua mereka
membayar 5 kaleng beras. Tahun ketiga dan seterusnya setengah
kaleng.
"Hasil pengumpulan beras dikembalikan ke desa lewat
koperasi," kata Jasa Purba, petugas pelayanan pembangunan
GKPS. "Dengan begitu timbul rasa memiliki di kalangan penduduk,"
tambahnya.
Dan karena kaum wanita di desa-desa itu sangat berperan
dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam hal bergotongroyong
membangun pompa air, kehadiran seorang wanita petugas pelayanan
masyarakat amat penting. Tahun lalu Johanna Armgrad Pattiasina,
24 tahun, keluar masuk desa-desa di Simalungun memberi
penyuluhan. Ia tamatan Sekolah Pekerjaan Sosial Widuri Jakarta.
"Tapi yang penting bagaimana menarik mereka hingga bersedia
menerima barang baru sekaligus mengubah gaya hidup mereka," ujar
Ned Riahman Purba, juga dari GKPS "Kami tidak ingin mengalami
nasib seperti pembangunan jamban dan sumur pompa tangan oleh
pemerintah daerah," kata Ned.
Kedua proyek pemda tersebut, menurut Ned, jadi asing bagi
penduduk. "Soalnya, pembangunannya main instruksi dari atas.
Akibatnya banyak yang malah dirusak penduduk," ujarnya. Tapi
mengapa tidak sekaligus mengajak penduduk memanfaatkan fasilitas
atau usaha yang pernah dirintis pemda?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini