Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Pompa Dari Bruder

Beberapa desa di Simalungun (Sum-ut) yang mengalami kesulitan air, kini mendapat uluran tangan bruder antonis (seorang misionaris) yang memasang pompa air di desa-desa tersebut.(ds)

13 Desember 1980 | 00.00 WIB

Pompa Dari Bruder
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
PENDUDUK beberapa desa di Simalungun, Sum-Ut, hidup nyaris tanpa air. Mereka mandi dua hari sekali --adapula yang seminggu sekali. Bisa dimengerti kalau sebagian besar penduduk mengidap berbagai penyakit, terutama penyakit kulit. Keadaan seperti itu sudah berlangsung sejak masa nenek moyang mereka. Sebenarnya di Simalungun bukannya tidak ada air sama sekali Hampir di setiap desa yang terletak di punggung-punggung bukit itu ada sumber air. Tapi letaknya sangat jauh dari kawasan pemukiman penduduk. Untuk mencapai sumber itu harus didaki perbukitan dan jurang terjal harus pula dituruni. Letaknya di tepi hutan, jaraknya lebih dari 2 km dari desa. Teknologi Madya Tapi pekerjaan berat itu justru dilakukan oleh para ibu. Jadi ibu-ibu dcngan kaleng berisi 20 liter air di kepala merupakan pemandangan biasa. Tak jarang pekerjaan berat itu mereka lakukan sembari menggendong anak. Sementara kaum lelaki hanya nongkrong sambil berdendang di kedai kopi atau tuak. Tapi untunglah: 5 tahun lalu ada seorang misionaris Katolik yang sangat memperhatikan keadaan seperti itu. Ia adalah Bruder L. Antonis, 59 tahun berdarah Belanda. Sejak 1971 ia menjadi Koordinator Hygiene Sanitasi Pengembangan Masyarakat pada Rumah Sakit Bethesda di Desa Saribudolok, Kecamatan Silimakuta. Lima tahun lalu ia mulai memasang pompa air di Desa Hutatinggi, Kecamatan Purba, tak jauh dari rumah sakit. Usahanya tersebut menarik perhatian Menteri Negara PPLH Emil Salim yang sempat meninjau pada 21 November lalu. Dengan biaya Rp 2 juta lebih, pompa air tersebut mencukupi kebutuhan 80 kk. Pompa itu memanfaatkan tenaga air terjun yang memang banyak terdapat di punggung perbukitan. Dengan berbagai klep, air bisa disemprotkan lewat pipapipa plastik, sampai ke sebuah bak besar di desa. Pompa itu tidak memerlukan bahan bakar minyak. Selama air terjun menderas, selama itu pula bak besar di desa penuh. Sejak itu penduduk tak lagi naik-turun bukit dan jurang. Sampai sekarang pompa air seperti itu, disebut pompa ram sudah terbangun di 23 desa dan memberi manfaat kepada sekitar 23.000 jiwa. Sepuluh desa di Kabupaten Simalungun dan sebuah di Kabupaten Karo. Pompa didatanbkan Antonis dari Inggris. Harganya Rp 650.000. Soal biaya nampaknya tak sulit bagi Antonis. Berbagai badan sosial keagamaan dari luar negeri membantunya. Misalnya Protestant Central Agency for Developmentand Aid (Jerman). Antonis sendiri, meski Katolik, bekerja untuk GKPS (Gereja Kristen Portestan Simalungun). RS Bethesda juga milik GKPS itu. Namun, tidak berarti penduduk bisa mendapatkan air secara gratis. Berdasarkan musyawarah desa, mereka mengangsur biaya pembangunan pompa air tersebut. Tahun pertama dan kedua mereka membayar 5 kaleng beras. Tahun ketiga dan seterusnya setengah kaleng. "Hasil pengumpulan beras dikembalikan ke desa lewat koperasi," kata Jasa Purba, petugas pelayanan pembangunan GKPS. "Dengan begitu timbul rasa memiliki di kalangan penduduk," tambahnya. Dan karena kaum wanita di desa-desa itu sangat berperan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam hal bergotongroyong membangun pompa air, kehadiran seorang wanita petugas pelayanan masyarakat amat penting. Tahun lalu Johanna Armgrad Pattiasina, 24 tahun, keluar masuk desa-desa di Simalungun memberi penyuluhan. Ia tamatan Sekolah Pekerjaan Sosial Widuri Jakarta. "Tapi yang penting bagaimana menarik mereka hingga bersedia menerima barang baru sekaligus mengubah gaya hidup mereka," ujar Ned Riahman Purba, juga dari GKPS "Kami tidak ingin mengalami nasib seperti pembangunan jamban dan sumur pompa tangan oleh pemerintah daerah," kata Ned. Kedua proyek pemda tersebut, menurut Ned, jadi asing bagi penduduk. "Soalnya, pembangunannya main instruksi dari atas. Akibatnya banyak yang malah dirusak penduduk," ujarnya. Tapi mengapa tidak sekaligus mengajak penduduk memanfaatkan fasilitas atau usaha yang pernah dirintis pemda?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus