DI Jepang, di ranah Minang, di Jakarta atau di mana saja, ada
permainan layang-layang. Kalau diperlombakan, biasanya yang
bermain bukan anak-anak lagi. Layang-layang adalah permainan
universil yang hampir dikenal di semua tempat. Musimnya tiba
kalau angin berhembus kencang di suatu kawasan di luar musim
hujan atau musim dingin.
Tidak jarang, permainan ini disertai taruhan, besar atau kecil,
seperti pernah dilakukan di Jakarta beberapa tahun yang lalu,
untuk memperingati HUT Kota Jakarta. Di Jepang, musim
layang-layang disertai dengan berbagai festival. Juga
ditampilkannya karya seni lewat layang-layang dan si seniman
mendapat tempat terhormat saat itu.
Di Bali di kabupaten Badung dan Tabanan adalah permainan
tradisional yang dilakukan dengan berbagai upacara. Setiap
banjar di Badung atau Tabanan biasanya berlangsung perlombaan
membuat layangan atas nama desa atau banjar. Biasanya dibuat
dalam ukuran besar. Model layangan yang populer di tempat itu
ialah layangan bebean, yang berbentuk ikan, layangan janggan
yang mempunyai tubuh seperti ikan tetapi tanpa ekor, dan tapel
naga, berbentuk topeng naga.
Model tapel naga adalah model yang dianggap keramat. Karena itu,
setiap permainan layang-layang usai, tapel naga selalu disimpan
kembali dalam suatu tempat suci di pura. Rakyat banjar percaya,
bahwa tapel naga ada yang "memilikinya" dan karena itu harus
selalu disembahyangi setiap bulan purnama atau bulan tilem
(bulan mati).
Seperti tapel naga milik banjar Celuk Panjer, begitu keramatnya
sehingga dianggap layangan ini bisa membantu penduduk banjar
yang kehilangan sesuatu. I Made Darti, usianya 19 tahun. Pada
suatu hari, kucit (anak babi) miliknya hilang. Tiga hari sudah
dia mencari, sang kucit tidak kunjung didapat. seberapa orang
lain juga membantu mencari, tapi masih sia-sia. Kemudian dia
ingat, sebaiknya "saya mengadakan permakluman kepada tapel,"
fikirnya. Sepulangnya dari pura, eh, si kucit itu sudah ada
dipekarangannya.
Ni Nyoman Sulendri (15 tahun kehilangan subang. Takut kena
marah, menangislah Nyoman Sulendri. Segala sudut rumah dan
pekarangan telah dilacaknya, tetapi subang yang hilang tidak
juga ketemu. Dia kemudian memohon permakluman kepada sang tapel.
Tanpa disadari, subang ditemukan di pekarangan rumah, yang
rasanya sudah dllacaknya secara teliti.
Kewajiban Made Darti atau Nyoman Sulendri sederhana saja setelah
barang yang hilang bisa ditemukan. Yaitu memberi sesajen kepada
tapel naga di kala bulan purnama atau bulan tilem.
Tidak seorang pun yang rahu, kapan tapel naga di pura banjar
Celuk Panjer dibuat dan siapa yang membuatnya. Tidak juga Pak
Wija yang usianya telah 60 tahun dan telah 33 tahun menjadi
pemangku pura tersebut. Tidak pula ayah Pak Wija yang juga
mempunyai pekerjaan serupa.
Tapel naga disimpan di dalam pura dan dibungkus dengan kain.
Saking tuanya, kain pembungkus sudah dimakan rayap. Tapel naga
yang dibuat dari kayu, tetap utuh. Karena itu penduduk bertambah
percaya akan kemulcjizatan sang tapel.
Tentu saja ketika tapel naga akan diperlombakan, hampir seluruh
penghuni banjar Celuk Panjer mengeluelukannya. Nyaris seperti
peristiwa sekaten di Yogya, ketika kereta kencana dikeluarkan
dan akan dicuci (dimandikan--demikian istilahnya). Ketika tapel
naga akan mengudara, lapangan menjadi bertambah sesak oleh
banyaknya penonton.
Di Kabupaten Badung, layangan keramat seperti tapel naga milik
banjar Celuk ada tiga. Yang pertama milik banjar Celuk, kedua
milik banjar Sanur dan ketiga, milik banjar Pedungan. Tapi
rupanya yang paling jago adalah milik banjar Celuk. Kalau saja
tapel naga dari Celuk sudah mengudara, pasti layangan dari Sanur
atau Pedungan tidak mampu menyainginya di udara. Karena itu
kalau tapel naga sudah keluar dari tempat pertapaannya, biasanya
layangan milik banjar Sanur dan Pedungan lebih baik absen saja.
Sebab biar bagaimana pun, keduanya tidak bisa menyaingi si tapel
naga. Kalau pun angin cukup kencang, keduanya akan sempat naik
sejenak untuk kemudian meliuk-liuk dan meluncur ke bawah lagi.
"Seperti manusia, dua layangan yang lain akan geleng-geleng
kepala tidak mau," ujar I Gusti Ketut Regug.
Keajaiban tapel naga yang lain ialah dia tidak bisa dipotret.
Boleh coba, tetapi tidak akan tampak si tapel diklise. segitu
juga kalau sampai tali layangan putus, tapel naga tidak akan
sehina itu mau menyurukkan tubuhnya di tanah. Jatuh ya jatuh,
tetapi tubuhnya tak pernah menyentuh tanah.
Tetapi berlomba layangan di Bali biasanya mempunyai tujuan
tertentu. Upacara tradisional ini dilengkapi dengan berbagai
rituil. "Sama seperti upacara yadnya pada manusia," ujar
Pamangku banjar Celuk, Wija Biaya tentu tidak kecil, tetapi
penduduk banjar biasanya tidak keberatan bergotong royong untuk
menyumbang.
Undagi
Kalau sesajen telah lengkap, dimulailah upacara menerbangkan
tapel naga. Pertama kali, anggota kelompok ekehe (organisasi
desa) melakukan doa bersama dalam upacara sembahyang yang
dilakukan di bawah tapel naga. Kemudian gamelan pun ditabuh
bertalu-talu. sunyi gong paling menonjol agar Dewa Angin
mendengarnya untuk kemudian menghembuskan angin. Memegang tali
layangan adalah seorang yang ahli menaikkan layangan. Dia akan
mengenakan pakaian adat tanpa baju. Di pinggangnya melilit kain
berwarna loreng hitam putih. Orang Bali percaya, loreng-loreng
ini gunanya untuk penolak maksud jahat.
Seluruh upacara layangan ini adalah usaha untuk membasmi hama
yang menyerang tanam-tanaman. Terutama wereng yang kini selalu
membuat kecewa petani. Orang Bali percaya, bahwa segala hama
yang merusak tanarnan itu mmpunyai raJa. Ariangon namanya.
angan tanyakan ujud atau bentuknya, karena Raja Ariangon tak
bisa dilihat mata. Ariangon akan marah kalau sudah lama tid,ak
ada hiburan yang dipersembahkan kepadanya. Maka diutuslah segala
wereng, tikus atau binatang perusak tumbuh-tumbuhan lainnya
untuk membuat petani sadar, bahwa sebuah hiburan berupa lomba
layangan harus dipersembahkan kepada Raja Ariangon.
Demikianlah, 12 Agustus yang lalu, telah diadakan lomba
layang-layang di sebuah lapangan di Kabupaten Badung. Seingat
penduduk di situ, perlombaan semacam ini diadakan terakhir kali
di tahun 196. Berkat dorongan Gubernur Bali, Prof. Dr. Ida
Bagus Mantra, sebuah panitia pun dibentuk. Rencana panitia,
lomba layangan ini akan diadakan setiap tahun sebagai salah satu
atraksi pariwisata yang menarik. Juga agar para undagi (pembuat
layangan) tidak akan terputus bakatnya.
Di atas areal persawahan (yang dijadikan lapangan sementara) di
subak Buaji dan subak Kedaton didekat Desa Sanur, perlombaan itu
dilangsungkan. Tidak kurang dari 43 layang-layang ambil bagian.
Dari jumlah itu, 23 buah tergolong layang-layang milik banjar
dan sisanya milik perseorangan. Yang terakhir ini biasanya
mempunyai ukuran kecil dan berbentuk sederhana.
Sedangkan layang-layang milik banjar, jauh bedanya. Berbentuk
besar dan megah, layang-layang ini biasanya dikeramatkan. Dan
layang-layang dari banjar Celuk, merajai semua layang-layang
banjar lainnya. Berbatang dari pokok pinang, layang-layang Celuk
yang berbentuk janggan (seperti ikan tanpa ekor) mempunyai
panjang tubuh 6 meter. Buntutnya terbuat dari kain tetoron 60
meter dan lebar 4,5 meter. Di ujung atas janggan inilah ditempel
tapel naga yang tidak pernah mau menyentuh tanah itu. Ongkos
membuat layang-layang kebanggaan banjar ini konon sampai Rp 200.
000. Ongkos tersebut tidak termasuk upacara sesajen dan doa
ketika akan mengeluarkan tapel naga dari pura. "Uang kami dapat
dari sumbangan sukarela penduduk," ujar Kepala Desa Celuk
Panjer, I Gusti Ketut Regug.
Perlombaan akan berlangsung sampai berhari-hari. Dewan juri
terdiri dari 7 orang. Selama satu jam, layang-layang harus
sanggup mengudara. Karena itu, kalau tak ada angin, perlombaan
pun batal. Biarpun gong dan gamelan telah ditalu, Dewa Angin
terap berkepala batu. Juri menilai mulai dari bentuk layangan,
bagaimana potongan seninya, elog-elognya ketika di udara,
bagaimana cekatannya ketika akan mengudara dan nyaringnya bunyi
guwangan. Benda kecil yang diselipkan di tubuh layang-layang ini
biasanya akan "bernyanyi" dan semakin keras bunyi guwangan,
berarti semakin kencang angin bertiup. Sering pula, sebuah
layanglayang mempunyai dua guwangan dan bunyinya akan
sahut-menyahut, mengikuti alun layang-layang.
Kena Injak
Pemenang akan diumumkan 20 September nanti, pada HUT Puputan
Badung yang ke-73. Jadi adu layangan mempunyai arti ganda. Siapa
tahu bisa menarik turis dan sekaligus memberantas hama. Mengusir
hama, ada dua macam. Sekala, artinya bisa dilihat, yaitu
memberantas hama dengan semprotan atau bentuk lain. Niskala
adalah usaha mengusir hama tanpa bisa dilihat mata. "Dan semua
itu usaha, 'kan?" ujar I Gusti Ketut Regug. "Rakyat cukup
terhibur," ujar drs. Nengah Sepud yang jadi Ketua Panitia
Perlombaan.
Tetapi Sepud rupanya lupa, bahwa ada juga sekelompok orang yang
kecewa. Yaitu para pemilik ladang dan sawah yang kena injak
penonton. Rempug misalnya, penanam kacang yang berusia 40 tahun
mengomel ketika melihat kebun kacangnya yang sudah sejengkal
tingginya habis kena injak. Padahal sudah dipagari bambu, tapi
desakan para penonton membuat pagar rapuh itu tidak berdaya.
Apakah Rempug akan minta ganti rugi? Akan hal ini, Sepud cuma
berkata "Hal itu belum kami fikirkan. Tapi kal.dia tidak minta
ganti rugi, yaah, kami anggap dia turut menyumbang dan
berpartisipasi . . . "
Rupanya, Bali yang kini pada,t dan sesak, sulit juga untuk
mencari tanah lapang luas yang bebas dari ladang-ladang orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini