Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Bila tapel naga mengudara

Tapel naga, layang-layang berbentuk topeng naga milik banjar celuk panjer, kab. badung, bali dianggap keramat. tiap bulan purnama & bulan tilem diberi sesajen & untuk menerbangkannya pakai upacara tabuh gamelan. (ils)

1 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Jepang, di ranah Minang, di Jakarta atau di mana saja, ada permainan layang-layang. Kalau diperlombakan, biasanya yang bermain bukan anak-anak lagi. Layang-layang adalah permainan universil yang hampir dikenal di semua tempat. Musimnya tiba kalau angin berhembus kencang di suatu kawasan di luar musim hujan atau musim dingin. Tidak jarang, permainan ini disertai taruhan, besar atau kecil, seperti pernah dilakukan di Jakarta beberapa tahun yang lalu, untuk memperingati HUT Kota Jakarta. Di Jepang, musim layang-layang disertai dengan berbagai festival. Juga ditampilkannya karya seni lewat layang-layang dan si seniman mendapat tempat terhormat saat itu. Di Bali di kabupaten Badung dan Tabanan adalah permainan tradisional yang dilakukan dengan berbagai upacara. Setiap banjar di Badung atau Tabanan biasanya berlangsung perlombaan membuat layangan atas nama desa atau banjar. Biasanya dibuat dalam ukuran besar. Model layangan yang populer di tempat itu ialah layangan bebean, yang berbentuk ikan, layangan janggan yang mempunyai tubuh seperti ikan tetapi tanpa ekor, dan tapel naga, berbentuk topeng naga. Model tapel naga adalah model yang dianggap keramat. Karena itu, setiap permainan layang-layang usai, tapel naga selalu disimpan kembali dalam suatu tempat suci di pura. Rakyat banjar percaya, bahwa tapel naga ada yang "memilikinya" dan karena itu harus selalu disembahyangi setiap bulan purnama atau bulan tilem (bulan mati). Seperti tapel naga milik banjar Celuk Panjer, begitu keramatnya sehingga dianggap layangan ini bisa membantu penduduk banjar yang kehilangan sesuatu. I Made Darti, usianya 19 tahun. Pada suatu hari, kucit (anak babi) miliknya hilang. Tiga hari sudah dia mencari, sang kucit tidak kunjung didapat. seberapa orang lain juga membantu mencari, tapi masih sia-sia. Kemudian dia ingat, sebaiknya "saya mengadakan permakluman kepada tapel," fikirnya. Sepulangnya dari pura, eh, si kucit itu sudah ada dipekarangannya. Ni Nyoman Sulendri (15 tahun kehilangan subang. Takut kena marah, menangislah Nyoman Sulendri. Segala sudut rumah dan pekarangan telah dilacaknya, tetapi subang yang hilang tidak juga ketemu. Dia kemudian memohon permakluman kepada sang tapel. Tanpa disadari, subang ditemukan di pekarangan rumah, yang rasanya sudah dllacaknya secara teliti. Kewajiban Made Darti atau Nyoman Sulendri sederhana saja setelah barang yang hilang bisa ditemukan. Yaitu memberi sesajen kepada tapel naga di kala bulan purnama atau bulan tilem. Tidak seorang pun yang rahu, kapan tapel naga di pura banjar Celuk Panjer dibuat dan siapa yang membuatnya. Tidak juga Pak Wija yang usianya telah 60 tahun dan telah 33 tahun menjadi pemangku pura tersebut. Tidak pula ayah Pak Wija yang juga mempunyai pekerjaan serupa. Tapel naga disimpan di dalam pura dan dibungkus dengan kain. Saking tuanya, kain pembungkus sudah dimakan rayap. Tapel naga yang dibuat dari kayu, tetap utuh. Karena itu penduduk bertambah percaya akan kemulcjizatan sang tapel. Tentu saja ketika tapel naga akan diperlombakan, hampir seluruh penghuni banjar Celuk Panjer mengeluelukannya. Nyaris seperti peristiwa sekaten di Yogya, ketika kereta kencana dikeluarkan dan akan dicuci (dimandikan--demikian istilahnya). Ketika tapel naga akan mengudara, lapangan menjadi bertambah sesak oleh banyaknya penonton. Di Kabupaten Badung, layangan keramat seperti tapel naga milik banjar Celuk ada tiga. Yang pertama milik banjar Celuk, kedua milik banjar Sanur dan ketiga, milik banjar Pedungan. Tapi rupanya yang paling jago adalah milik banjar Celuk. Kalau saja tapel naga dari Celuk sudah mengudara, pasti layangan dari Sanur atau Pedungan tidak mampu menyainginya di udara. Karena itu kalau tapel naga sudah keluar dari tempat pertapaannya, biasanya layangan milik banjar Sanur dan Pedungan lebih baik absen saja. Sebab biar bagaimana pun, keduanya tidak bisa menyaingi si tapel naga. Kalau pun angin cukup kencang, keduanya akan sempat naik sejenak untuk kemudian meliuk-liuk dan meluncur ke bawah lagi. "Seperti manusia, dua layangan yang lain akan geleng-geleng kepala tidak mau," ujar I Gusti Ketut Regug. Keajaiban tapel naga yang lain ialah dia tidak bisa dipotret. Boleh coba, tetapi tidak akan tampak si tapel diklise. segitu juga kalau sampai tali layangan putus, tapel naga tidak akan sehina itu mau menyurukkan tubuhnya di tanah. Jatuh ya jatuh, tetapi tubuhnya tak pernah menyentuh tanah. Tetapi berlomba layangan di Bali biasanya mempunyai tujuan tertentu. Upacara tradisional ini dilengkapi dengan berbagai rituil. "Sama seperti upacara yadnya pada manusia," ujar Pamangku banjar Celuk, Wija Biaya tentu tidak kecil, tetapi penduduk banjar biasanya tidak keberatan bergotong royong untuk menyumbang. Undagi Kalau sesajen telah lengkap, dimulailah upacara menerbangkan tapel naga. Pertama kali, anggota kelompok ekehe (organisasi desa) melakukan doa bersama dalam upacara sembahyang yang dilakukan di bawah tapel naga. Kemudian gamelan pun ditabuh bertalu-talu. sunyi gong paling menonjol agar Dewa Angin mendengarnya untuk kemudian menghembuskan angin. Memegang tali layangan adalah seorang yang ahli menaikkan layangan. Dia akan mengenakan pakaian adat tanpa baju. Di pinggangnya melilit kain berwarna loreng hitam putih. Orang Bali percaya, loreng-loreng ini gunanya untuk penolak maksud jahat. Seluruh upacara layangan ini adalah usaha untuk membasmi hama yang menyerang tanam-tanaman. Terutama wereng yang kini selalu membuat kecewa petani. Orang Bali percaya, bahwa segala hama yang merusak tanarnan itu mmpunyai raJa. Ariangon namanya. angan tanyakan ujud atau bentuknya, karena Raja Ariangon tak bisa dilihat mata. Ariangon akan marah kalau sudah lama tid,ak ada hiburan yang dipersembahkan kepadanya. Maka diutuslah segala wereng, tikus atau binatang perusak tumbuh-tumbuhan lainnya untuk membuat petani sadar, bahwa sebuah hiburan berupa lomba layangan harus dipersembahkan kepada Raja Ariangon. Demikianlah, 12 Agustus yang lalu, telah diadakan lomba layang-layang di sebuah lapangan di Kabupaten Badung. Seingat penduduk di situ, perlombaan semacam ini diadakan terakhir kali di tahun 196. Berkat dorongan Gubernur Bali, Prof. Dr. Ida Bagus Mantra, sebuah panitia pun dibentuk. Rencana panitia, lomba layangan ini akan diadakan setiap tahun sebagai salah satu atraksi pariwisata yang menarik. Juga agar para undagi (pembuat layangan) tidak akan terputus bakatnya. Di atas areal persawahan (yang dijadikan lapangan sementara) di subak Buaji dan subak Kedaton didekat Desa Sanur, perlombaan itu dilangsungkan. Tidak kurang dari 43 layang-layang ambil bagian. Dari jumlah itu, 23 buah tergolong layang-layang milik banjar dan sisanya milik perseorangan. Yang terakhir ini biasanya mempunyai ukuran kecil dan berbentuk sederhana. Sedangkan layang-layang milik banjar, jauh bedanya. Berbentuk besar dan megah, layang-layang ini biasanya dikeramatkan. Dan layang-layang dari banjar Celuk, merajai semua layang-layang banjar lainnya. Berbatang dari pokok pinang, layang-layang Celuk yang berbentuk janggan (seperti ikan tanpa ekor) mempunyai panjang tubuh 6 meter. Buntutnya terbuat dari kain tetoron 60 meter dan lebar 4,5 meter. Di ujung atas janggan inilah ditempel tapel naga yang tidak pernah mau menyentuh tanah itu. Ongkos membuat layang-layang kebanggaan banjar ini konon sampai Rp 200. 000. Ongkos tersebut tidak termasuk upacara sesajen dan doa ketika akan mengeluarkan tapel naga dari pura. "Uang kami dapat dari sumbangan sukarela penduduk," ujar Kepala Desa Celuk Panjer, I Gusti Ketut Regug. Perlombaan akan berlangsung sampai berhari-hari. Dewan juri terdiri dari 7 orang. Selama satu jam, layang-layang harus sanggup mengudara. Karena itu, kalau tak ada angin, perlombaan pun batal. Biarpun gong dan gamelan telah ditalu, Dewa Angin terap berkepala batu. Juri menilai mulai dari bentuk layangan, bagaimana potongan seninya, elog-elognya ketika di udara, bagaimana cekatannya ketika akan mengudara dan nyaringnya bunyi guwangan. Benda kecil yang diselipkan di tubuh layang-layang ini biasanya akan "bernyanyi" dan semakin keras bunyi guwangan, berarti semakin kencang angin bertiup. Sering pula, sebuah layanglayang mempunyai dua guwangan dan bunyinya akan sahut-menyahut, mengikuti alun layang-layang. Kena Injak Pemenang akan diumumkan 20 September nanti, pada HUT Puputan Badung yang ke-73. Jadi adu layangan mempunyai arti ganda. Siapa tahu bisa menarik turis dan sekaligus memberantas hama. Mengusir hama, ada dua macam. Sekala, artinya bisa dilihat, yaitu memberantas hama dengan semprotan atau bentuk lain. Niskala adalah usaha mengusir hama tanpa bisa dilihat mata. "Dan semua itu usaha, 'kan?" ujar I Gusti Ketut Regug. "Rakyat cukup terhibur," ujar drs. Nengah Sepud yang jadi Ketua Panitia Perlombaan. Tetapi Sepud rupanya lupa, bahwa ada juga sekelompok orang yang kecewa. Yaitu para pemilik ladang dan sawah yang kena injak penonton. Rempug misalnya, penanam kacang yang berusia 40 tahun mengomel ketika melihat kebun kacangnya yang sudah sejengkal tingginya habis kena injak. Padahal sudah dipagari bambu, tapi desakan para penonton membuat pagar rapuh itu tidak berdaya. Apakah Rempug akan minta ganti rugi? Akan hal ini, Sepud cuma berkata "Hal itu belum kami fikirkan. Tapi kal.dia tidak minta ganti rugi, yaah, kami anggap dia turut menyumbang dan berpartisipasi . . . " Rupanya, Bali yang kini pada,t dan sesak, sulit juga untuk mencari tanah lapang luas yang bebas dari ladang-ladang orang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus