SUARANYA melengking keras. Erat-erat pengeras suara dipegangnya
dan ia tempelkan ke bibir: Nama saya Fransis Dasilba, Kepala
Desa Kamia, Kecamatan Dilly Timur, Kabupaten Dilly, Timor Timur.
Suaranya lenyap. Tapi segera disambut tepuk tangan.
Itulah suatu pemandangan di Balai Desa Kademangan (Kecamatan
Gondanglegi, Malang) pertengahan Agustus lalu. Yaitu ketika 27
Kepala Desa Teladan se-Indonesia berkunjung ke sana-salah satu
acara sebelum mereka melangsungkan temu karya dan menghadiri
upacara 17 Agustus di Jakarta.
Desa Kademangan sendiri mewakili Jawa Timur sebagai desa teladan
1979/ 1980. Ketika Kepala Desanya, H. Abdul Mukti, menguraikan
segala seluk-beluk desanya di hadapan 26 rekannya, sebagian
menilai sebagai hal yang tak asing lagi dan terdapat juga di
desanya--sementara sebagian lagi menunjukkan kekaguman. Termasuk
di antaranya Fransis Dasilba dan M. Idris Wergiri, Kepala Desa
Feterna dari Irian Jaya. Malahan, "saya belum mengerti apa yang
dimaksudkan semuanya itu," ucapnya ketika melihat data-data
pembangunan di Balai Desa Kademangan. Dan ketika mendapat
jawaban bahwa ubi kayu yang besar-besar di desa ini dihasilkan
karena Desa Kademangan bertanah subur, Dasilba mengeluh Wah,
bagaimana mungkin kami lakukan, sebab tanah kami di sana kering.
Berpenduduk 6.000 jiwa lebih dengan pendapatan perkapita Rp
115.154, 68 perjiwa pertahun, kemenangan Desa Kademangan
tampaknya terletak pada kelengkapan sarananya. Ada gedung PKK,
gedung LSD, kantor pramuka, kantor hansip, gedung kesenian,
balai pengobatan, lumbung desa dan tentu saja balai desa serta
jalan desa. Tapi lebih dari semua itu adalah kekompakan warganya
Sehingga dari berbagai sumbangan penduduk 1979/1980 ini menurut
Abdul Mukti, telah tersimpan dana sebesar Rp 11.350.000. Jumlah
ini didapat dari bantuan perani tebu sebanyak Rp 15 tiap kwintal
setiap panen, Rp 75 dari tiap hektar sawah juga tiap panen, Rp
10 tiap M3 pengambilan pasir yang ada di tepi desa.
Desa Trangsan di Kecamatan Gatak, Kabupaten Sukoharjo, terpilih
sebagai desa terbaik di Jawa Tengah tahun ini. Kemenonjolan desa
ini selain rapi, peralatan desa serba cukup, juga karena
kehidupan warganya yang cukup makmur. Selain bersawah, desa ini
terkenal juga karena anyaman rotannya. Yang dihasilkan hampir
semua perabotan rumah tangga. Satu stel meja kursi misalnya
sampai berharga Rp 36.000. Di antaranya diekspor ke luar negeri.
Harum
Desa Trangsan berpenduduk hampir 5.000 jiwa Dari 838 buah rumah
yang ada, 818 di antaranya berupa rumah gedung permanen.
Tercatat juga di antara penduduknya ada 39 orang lulusan
universitas. Balai desa megah berbentuk joglo dan baru saja
selesai setelah mendengar dicalonkan untuk disertakan dalam
lomba desa, menelan biaya Rp 14 Juta.
Keberhasilan Desa Lembursitu (Kecamatan Baros, Sukabumi) sebagai
desa teladan di Jawa Barat agaknya terletak pada kepemimpinan
kepala desanya, Tatha Machrodji (50 tahun). "Ia memberi
perhatian besar pada masalah air," komentar petani Syantibi
tentang kepala desanya. Tatha mengajak warganya membendung Kali
Cipelang dan mengairi hampir seluruh areal persawahan. Lalu
dibentuk Kelompok tani Harum, singkatan dari Harta Umum.
Bertindak sebagai koperasi simpan pinjam, Harum berhasil
mengumpulkan modal dari anggotanya mulai Rp 25 tiap minggu
sampai Rp 500 setiap musim panen dari tiap anggota. "Dan
sekarang kami sudah punya simpanan Rp 2 juta lebih," kata E.
Kosasih, Ketua Gabungan Kelompok Tani Lembur situ. Anehnya, KUD
sendiri tak mampu bertahan lama di desa ini. "Mungkin karena KUD
dibentuk berdasarkan instruksi, " kata seorang anggota Kelompok
Tani Harum.
Kegiatan menonjol lainnya dari kelompok tani ini adalah beternak
ikan. Setiap anggota diwajibkan menyebar bibit ikan di selokan
depan maupun belakang rumah. "Hasilnya, menyebar 1 kwintal
bibit, akan menjadi 4 kwintal 3 bulan kemudian," lanjut Kosasih.
Dan pemandangan di seantero desa meman adalah kolam-kolam ikan
semata.
Biar Miskin
Potret Desa Ngawis di Gunung Kidul sebagai desa terbaik untuk
Daerah Istimewa Yogyakarta, memang gambaran desa yang minus. Di
mana-mana tanah kering, rumah-rumah bambu dan dengan penduduk
yang bekerja keras menantang kegersangan. Tapi tiba-tiba wajah
desa ini berubah. Bersih, bentangan jalanjalan yang telah
dikeraskan, pagar bambu rumah bercat putih di sepanjang
kiri-kanan jalan. Keadaan inilah rupanya yang menjadi kunci
kejuaraannya. "Gotong-royong masyarakat untuk membangun desa ini
baik sekali, sehingga walaupun miskin, mereka dapat berbuat
banyak," kata Suwantorejo, Kepala Bagian Kemakmuran Desa gawis
mengungkapkan alasan tim penilai.
Kegontohg-royongan warga desa itu misalnya membuat jalan batu
melingkati desa sepanjang 16 km, plus jalan tanah sepanjang 30,5
km. Semuanya dikerjakan dalam waktu 15 hari terus menerus
menjelang kedatangan tim penilai lomba desa. Tapi jangan lupa
sebelumnya desa ini juga telah memiliki sebuah di antara sumur
bor yang dibangun P2AT (Proyek Pengembangan Air dan Tanah).
Sejak sumur ini diresmikan pada 1978 lalu warga desa ini tak
punya masalah air lagi untuk umum.
Dari hampir 5.000 jiwa penduduknya, 80% penduduk Ngawis
menjadikan ketela sebagai makanan pokok. Sisanya 15% makan beras
dan 5% jagung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini