Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Bung

Panggilan bung begitu populer dipakai pada zaman pergerakan. kata panggilan yang dapat mewakili sentimen kebangsaan, solidaritas dan persaudaraan. zaman ini kata "bung" kiranya perlu lagi dipakai.

1 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERAPA banyak dari kita masih suka dipanggil "bung"Agaknya tidak banyak lagi. Nampaknya orang sekarang lebih suka dipanggil "pak" "bapak", "mas" atau munkin "abang". Padahal dulu alangkah pernah populer panggllan itu. Di mana-mana panggilan "bung" itu terdengar. Dan rasanya baik bagi yang memanggil maupun yang dipanggil kata itu seakan ada semacam pengaruh ajaib. Begitu kata "bung" itu diucapkan wajah yang cerah nampak selalu mengikuti kata itu. Seakan ada semacam tali persaudaraan yang akrab yang langsung terjalin antara yang memanggil dan yang dipanggil itu. Kenapa begitu? Mungkin karena kata itu lahir bersama dengan menaiknya suhu sentimen kebangsaan kita pada jaman pergerakan. Pada waktu kita membutuhkan suatu suasana solider dan akrab antara sesama bangsa "inlander". Tanyakanlah kepada mereka yang mengalami jaman itu. Jaman orang keranjingan memakai peci dan memakai segala baju yang berbau pribumi. Sarung, celana batik, jas tutup lurik aan sebagainya lagi. Jaman "swadeshi"--untuk mengikuti gerakan yang dianjurkan oleh Gandhi di India itu. Yakni suatu gerakan yang antara lain menganjurkan untuk hanya memakai hasil buatan negeri sendiri. Juga jaman di mana Indonesia-Raya belum dinyanyikan "Indonesia Raya merdeka, merdeka" tetapi "Indonees, Indonees mulia, mulia ... " Di tengah suasana begitulah, saya kira, muncul "bung". Yakni satu kata panggilan yang agaknya dapat mewakili sentimen kebangsaan, persaudaraan dan solidaritas. Satu kata panggilan pendek yang sekaligus dimaksudkan untuk dapat meloncati tembok "segan-menyegani", nkuh-pakewuh, sebagai akibat tingkat perbedaan ieodal maupun kolonial. Kata yang bisa menggantikan "tuan", "ndoro", "meneer" dan sebagainya itu. Maka waktu pemimpin-pemimpin pergerakan menganjurkan rakyat untuk memanggil mereka dengan "bung" saja menjangkitlah wabah itu. Maka orang tidak lagi memanggii Ir. Soekarno tapi Bung Karno, bukan Drs. Moh. Hatta tapi Bung Hatta, Bung Syahrir dan bung, bung lainnya lagi. Di sekolah-sekolah menengah para pelajar yang bersemangat kebangsaan (secara sembunyi) saling menyapa dengan bung. Seorang pelajar yang mondok di rumah kami bahkan minta kepada pacarnya untuk berhenti memanggilnya "sehat" tetapi "bung". Di jaman Jepang, kecuali untuk Bung Karno dan Bung Hatta, bung lenyap sebentar dari peredaran umum. Hanya di antara mereka yang bergerak di bawah tanah saja, saya kira, panggilan bung masih berlaku. Bung Adam, bung Chairul, bung Syahrir, bung Badio, bung Wikana dan sebagainya lagi. Tetapi di antara para pelajar sekolah menengah tidak terlalu banyak lagi "bung" kedengaran. Baru pada waktu revolusi pecah, bung jadi berkumandang lagi. Di Jakarta, di Surabaya, di Yogya, di mana-mana. Di Surabaya lahir seorang orator baru yang bernama Bung Tomo yang kemudian disusul dengan berpuluh bung-bung pemimpin baru di mana-mana. Waktu itu adalah juga waktunya orang senang terlibat dalam debat dan diskusi terbuka. Tentang politik melawan Belanda, tentang Linggardjati, tentang Renville, tentang Sayap Kiri, tentang Persatuan Perjuangan, tentang Front Demokrasi Rakyat, tentang apa saja. Itulah suasana suhu sentimen kebangsaan naik dengan sqadijadinya. Pekik merdeka yang hampir tidak hentinya diteriakkan di mana-mana, di sepanjang Malioboro yang remang-remang tetapi ramai dengan penduduk "kiblik" yang hilir-mudik itu, di front, di garis depan di pinggir-pinggir garis demarkasi. Itulah semua satu suasana yang agaknya subur lagi buat kembalinya kata bung sebagai alat-penyapa yang paling cocok dan enak. Merdeka, bung! Mau ke mana bung, sini, dong, bung, Iho, kok gitu to, bung . . . Ismail Maruki, komponis kita itu, juga tidak ketinggalan melempar senandung baru: Mari, bung, mari ke mari, Jakarta menanti-nanti. . . Dan pada waktu akhirnya kemerdekaan kita menangkan? Bagaimana dengan nasib "bung" kita? Wah, berangsur jadi mlempem lagi. Buat mereka, terutama para pemimpin politik, yang sudah terlanjur memiliki kata "bung" sebagai semacam "kata majemuk", semacam trade mark bagi nama mereka, "bung" yang menempel di depan nama mereka sudah jadi cap yang abadi. Tetapi "bung" sebagai panggilan, baik yang akrab maupun yang basa-basi, sungguh jadi pudar kembali. Bahkan mereka yang pada jaman revolusi merasa sudah terbiasa dipanggil bung oleh teman-teman dan bawahannya sekarang merasa kikuk dan risih telinganya mendengar kata "bung" dilempar kepadanya. Kok kayak panggil pelayan restoran saja, gerutu seorang kepala jawatan. Berangsur-angsur orang agaknya lebih senang dipanggil "bapak". Akhirnya '.'bung" mengalami satu hari naas waktu Bung Karno lebih suka dipanggil "bapak" dalam percakapan tidak resmi dan. . . Paduka Yang Mulia Presiden bagi upacara resmi. Maka seluruh anggota kabinet 100 menteri pun mengikuti jejak itu. Bahkan D.N. Aidit--yang juga anggota kabinet--dalam pelariannya waktu mendarat di lapangan terbang Adisucipto konon masih disapa oleh protokol lokal dengan: Yang Mulia . . . *** Mengapa "bung" mengalami nasib begitu? Mungkin karena "bung" adalah kata yang diciptakan oleh suasana. Atau tepatnya oleh kebutuhan akan suasana. Pada waktu negeri kita membutuhkan satu suasana solidaritas nasional yang hangat dan akrab yang dalam kenaikan suhunya bisa menjadi suasana "revolusioner" itu. Tetapi begitu kebutuhan akan suasana ini pudar, melembaga dalam berbagai kotak dan atribut-kotak, "bung" ini jadi binatang yang aneh. Kotak-kotak beserta penghuni-penghuninya itu sang pemenang revolusi-- tiba-tiba melihat "bung" tidak secantik dulu lagi. "Bung" pun jadi dikotakkan juga dalam tempatnya sendiri. Maka sang kepala jawatan menggerutu: kok kayak panggil pelayan restoran saja... Tapi dalam jaman pembangunan seperti sekarang ini tidakkah kita membutuhkan satu suasana "solidaritas nasional" lagi? Suasana "duduk sama rendah berdiri sama tinggi" lagi? Suasana yang tempo hari sesungguhnya telah dicitra dengan baik oleh jenderal Yoga Sugama - yang sayang tidak keburu populer sebagai "pemerataan keprihatinan" itu! Bukankah dalam satu keadaan di mana kita secara simultan ditantang oleh inflasi yang mau membesar lagi, masalah sumber pangan dan sumber alam yang terus rawan, masalah pendidikan dan lapangan pekerjaan -- dua kembar siam yang belum juga terpecahkan dengan memuaskan, kependudukan yang belum sepenuhnya terkendalikan, benar-benar dibutuhkan sikap prihatin yang merata di antara kita? Dalam keadaan begitu bukankah suasana hng.dan rabnya persaudaraan akan membantu membangun solidaritas-nasional itu? Dan "bung" mungkin akan menjadi tiangsangga yang pentlng untuk pembangunan suasana yang demikian itu. Ingat jaman 'Indonees, Indonees mulia, mulia, mulia . . . " Ingat waktu Bung Karno dan Bung Hatta dan bungbung yang lain masih bung-bung kita yang benar? Bagaimana kalau tidak hanya kepada Bung Adam kita panggil "bung" sekarang? Juga Bung Harto, Bung Widjojo, Bung Yusuf? Sehingga tidak perlu kita ikut berhiba dengan ciptaan Ismail Marzuki yang lain: Buuuung di mana engkau berada, bertahun lamanya kita berpisah . . .

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus