Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Anda, apakah birokrasi lamban menangani bencana gempa di Yogyakarta dan sekitarnya? (31 Mei - 7 Juni 2006) | ||
Ya | ||
97,08% | 3.158 | |
Tidak | ||
2,09% | 68 | |
Tidak tahu | ||
0,83% | 27 | |
Total | 100% | 3.253 |
Wakil Presiden Jusuf Kalla patut geram. Tiap hari ia mendengar be-rita para pengungsi korban gempa di Yogyakarta telantar karena bantuan tak kunjung sampai. Ia menilai pangkal soal-nya sikap birokratis aparat Pemerintah Yog-yakarta dan Jawa Tengah. ”Mereka lamban,” kata Kalla, Rabu (31/5).
Kalla menyebut pemerintah daerah terlalu banyak pertimbangan dalam menya-lur-kan bantuan. Misalnya, khawatir bantuan tidak sampai ke tangan orang yang berhak. ”Itu terlalu rigid,” ujarnya. Ia meminta keputusan di lapangan harus dibuat cepat agar korban tak bertambah.
Ketua Umum Masyarakat Profesional Madani, Ismed Hasan Putro, menilai dalam menanggulangi gempa di Yogyakarta dan Jawa Tengah, pemerintah belum sungguh-sungguh belajar dari pengalaman benca-na Aceh dan Nias. Seharusnya, kata-nya, pemerintah bisa mencontoh sistem pe-nyelamatan bencana dari Taiwan, Cina, Korea, ataupun Jepang.
Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Ha-mengku Buwono X mengakui manajemen penyaluran bantuan awalnya memang cukup birokratis. ”Setelah mendapat masuk-an dari berbagai sumber, akhirnya jalur birokrasi itu diputus. Dari posko provinsi, bisa langsung ke kecamatan atau ke desa-desa. Sekarang semua daerah yang menjadi korban sudah tersentuh bantuan,” kata Sultan.
Jajak pendapat Tempo Interaktif menunjukkan mayoritas responden menilai birokrasi lamban menangani bencana gempa di Yogyakarta dan sekitarnya. Suparjono, seorang responden di Pamulang, Tangerang, mengatakan pola penanganan dan distribusi bantuan yang harus melalui jalur birokrasi justru menghambat proses penanganan dan pendistribusian bantuan logistik dan kesehatan. ”Seandainya para pejabat tidak bertindak angkuh dan berpikir cepat memberi bantuan, saya yakin jumlah korban dapat diperkecil,” ujarnya.
Indikator Pekan Ini: Kewajiban menyedia-kan 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) tahun ini untuk pendidikan membuat peme-rintah harus berpikir keras. ”Untuk memenuhi anggaran pendidikan 20 persen pada 2006, dirasa sangat sulit,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani. Kesukaran itu disebabkan banyaknya pengeluaran dan masalah yang harus dikelola. Contohnya gempa dan tsunami Aceh, serta batalnya kenaikan tarif listrik. Subsidi untuk PLN, misalnya, meningkat lebih dari Rp 10 triliun. Begitupun bersama DPR, pemerintah- akan membahas anggaran pendidikan sehingga bisa sesuai- de-ngan konstitusi-. ”Pe-merintah akan coba me-naikkan anggaran- lebih dari 9,1 persen,” ujar Sri Mulyani. Cara-nya dengan memprioritaskan tiap penghemat-an pengeluaran atau tambahan pendapatan negara untuk pendidik-an. Setujukah Anda pe-merintah menganggar-kan 9,1 persen dari APBN untuk pendidik-an dari yang ditetapkan konstitusi sebesar 20 persen? Kami tunggu jawaban dan komentar Anda di www.tempointeraktif.com |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo