Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hampir dua pekan pesta demokrasi pemilihan umum usai, tapi suara yang menggerutu terus saja terdengar. Tak jarang kekurangpuasan tadi merembet menjadi protes. Lazimnya, unjuk rasa kritis itu dilakukan oleh Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia. Sementara itu, Golkar kelihatan tenang-tenang saja.
Yang tercatat mengirimkan nota protes antara lain DPW PPP Aceh, tiga hari setelah pemungutan suara dilakukan. Beberapa hal yang dicatat PPP Aceh sebagai kecurangan, misalnya, beredarnya formulir C yang melebihi jumlah pemilih terdaftar dan pemilih tambahan. Ironisnya, banyak penduduk yang menjadi simpatisan partai bintang yang tak mendapat surat panggilan.
Selain itu, aparat pemerintah, yang semestinya netral, pada waktu pencoblosan jelas berlaku tidak adil. Misalnya yang terjadi di sebuah desa di Aceh Timur. Menurut laporan PPP itu, seorang kepala desa di sana berdiri di depan bilik suara dan "mengingatkan" warganya menusuk Golkar.
Protes senada dilansir DPW PPP Sumatera Utara. Dalam suratnya kepada Panitia Pemilihan Daerah I, PPP mencatat 44 kasus yang terjadi di delapan kabupaten/kota madya selama pemilu lalu. Salah satu kasus yang menarik adalah ditemukannya 600 lembar surat suara PPP dan PDI yang telah dicoblos hanyut di sungai.
Di Madiun, Jawa Timur, ratusan masyarakat pendukung PPP dan PDI memprotes ke kantor cabang partai. Mereka menyatakan tidak bisa menerima hasil pemilu yang menurut mereka berbeda dengan yang terjadi. Di TPS 7 Dukuh Gemuruh, Kecamatan Gemarang, Madiun, Golkar dilaporkan menang 100 persen. "Padahal kami jelas tak mencoblos tengah," ujar massa yang memprotes.
Di Jawa Timur pula, sebelum pemilu berlangsung, sempat beredar isu yang menyatakan ada fatwa KH As'ad, Rais Am Nahdlatul Ulama, bahwa orang yang melakukan penggembosan terhadap partai bintang telah melanggar syariat Islam.
"Fatwa" ini sempat beredar luas karena harian Suara Indonesia, koran terbitan Malang, memberitakannya pertengahan April lalu. "Barang siapa yang suka menggembosi, maka tidak sah baginya menjadi imam salat dan menjadi wali pernikahan anaknya. Karena hukumnya sudah menjadi fasiq (rusak)." Itulah konon fatwa sang kiai yang dimuat di Suara Indonesia.
Akibatnya memang luas. Tokoh-tokoh penggembosan kabarnya ada yang ditolak jemaah ketika akan memimpin salat. Bahkan KH Latifi, tokoh NU di Malang, ditolak ketika akan menjadi wali perkawinan. Ya, astagfirullah, penolakan itu datang dari seorang ulama juga, KH Zabur. Alasannya memang bukan alasan hukum Islam, melainkan, "Karena dia itu penggembos. Dan, menurut fatwa As'ad, dia kan sudah fasiq," ujar Kiai Zabur. Syarat untuk tak fasiq bukan main-main: harus membaca syahadat dan beristigfar berkali-kali.
Menurut Anwar Nurris, keponakan KH As'ad yang juga Sekjen PB NU, fatwa itu palsu. "Itu untuk mengacau keadaan dan untuk merebut suara NU," katanya.
Ekses pemilu yang terjadi di Jawa Tengah cukup kocak. Seperti yang terjadi di Desa Kasinoman, Kecamatan Kalibening, Banjarnegara. Karena mendukung PDI, Nyonya Santi sekeluarga disekap kepala desanya. Dengan disaksikan penduduk, pendukung banteng itu diancam dihukum mengemis sembari mengucapkan kata-kata: "Banteng ngemis..., banteng ngemis...". Untung hukuman itu urung dan pada waktu pemilu lalu, "Saya dan keluarga tetap mencoblos PDI," kata nyonya pendukung PDI sejak 1972 itu.
Peristiwa lucu juga terjadi di Kelurahan Sangkrah, Solo. Nyonya Lurah Sangkrah, yang bernazar bila PDI menang akan telanjang, tak jadi mewujudkan niatnya itu. Padahal banyak penduduk yang menantikannya.
Awalnya, menurut sebuah sumber, keluarga lurah itu panas ketika rombongan kampanye PDI melewati rumah mereka dan menyanyikan yel-yel yang menyinggung perasaan mereka. "Lir-ilir, Pak Lurah pergi ke Silir. Rakyatnya tak dipikir dan Bu Lurah mesti digilir...." Konon, begitulah ulah pemuda banteng.
Tentu saja Pak dan Bu Lurah keki. Sebab, Silir di Solo terkenal sebagai tempat lokalisasi wanita tunasusila. Karena panas, kabarnya Bu Mudjiyanto, ya bu lurah itu, sempat bernazar akan telanjang kalau PDI menang.
Hasil pemilu di Sangkrah memang mengagetkan: PDI berhasil mengumpulkan 2.307 suara, mengungguli Golkar yang hanya 2.100. Kenaikan jumlah suara PDI itu konon juga karena keinginan masyarakat untuk melihat bu lurah yang berhidung mancung dan berkulit kuning itu tampil tanpa busana. "Saya ikut nyoblos PDI karena ingin melihat Bu Lurah telanjang," ujar seorang pemuda mengakui.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo