Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Dalam Bayang Pemilu Curang

14 Juli 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTARUNGAN semestinya sudah berakhir. Lewat metode hitung cepat tujuh lembaga survei, Joko Widodo dan Jusuf Kalla memenangi pemilihan presiden. Pasangan itu unggul sekitar lima persen dibandingkan dengan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa.

Kemenangan sementara ini-hasil final baru ditetapkan Komisi Pemilihan Umum pada 22 Juli-mendapat sambutan positif. Kita patut gembira, sehari setelah pemilu, indeks bursa saham meningkat 73 poin, terbesar sejak kampanye. Nilai tukar rupiah menguat 52 poin, yang terbaik sepanjang periode pemilu.

Tapi suasana legawa dan saling menghargai tampaknya tak kita temukan dalam pemilu kali ini. Apa yang terjadi dalam pemilu legislatif April lalu tak terulang. Ketika itu, Susilo Bambang Yudhoyono langsung memberikan selamat kepada PDI Perjuangan dan Gerindra, yang mendapat suara terbanyak-jauh di atas perolehan Partai Demokrat, yang dipimpin Yudhoyono. Saat itu, Yudhoyono mendasarkan perolehan suara pada proses hitung cepat.

Kali ini justru yang sebaliknya terjadi. Tak mau kalah, kubu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa mengklaim unggul berdasarkan hitung cepat empat lembaga survei. Dua versi hasil hitung cepat itu sulit diterima akal sehat. Semestinya, dengan metodologi yang benar, hasil hitung cepat satu lembaga dengan lembaga lain kurang-lebih sama. Yang sekarang: perbedaan suara justru lebar menganga.

Hitung cepat sesungguhnya adalah alat untuk mencegah manipulasi. Dengan hitung cepat yang akurat, publik dapat memperoleh "ancar-ancar" perihal siapa pemenang pemilihan raya. Hitungan nyata yang berbeda dengan hasil quick count bisa memunculkan wasangka: ada manipulasi dalam penghitungan suara.

Dengan dua versi hasil quick count, publik dibuat bertanya-tanya: siapa sebetulnya yang unggul. Hasil hitungan nyata juga mudah dipertanyakan akurasinya karena terdapat dua hitung cepat sebagai rujukan. Dengan kata lain, fakta dan fiksi berbaur.

Beruntung, Dewan Etik Perhimpunan Survei Opini Publik bekerja cepat. Lembaga itu telah mengindikasikan manipulasi data tabulasi dan penarikan sampel di tempat pemungutan suara oleh lembaga survei yang memenangkan Prabowo. Satu dari empat lembaga itu ditengarai memiliki hubungan organisasional dengan partai pendukung calon presiden nomor urut satu tersebut. Yang lain diketahui pernah melakukan hitung cepat dengan metodologi yang cacat. Patut disayangkan, hitung cepat yang diduga lancung itu menyebar luas lewat publikasi jaringan televisi Grup Viva dan Grup Media Nusantara Citra-kelompok usaha milik Aburizal Bakrie dan Hary Tanoesoedibjo, penyokong Prabowo Subianto.

Jika hal ini tak segera ditanggulangi, kisruh boleh jadi terjadi. Kedua kubu akan berpatokan pada hitung cepat yang memenangkan mereka untuk mengukur kesahihan hitungan nyata. Gugatan hukum dan adu urat leher boleh jadi terjadi. Penetapan presiden terpilih bakal berlarut-larut.

Perhimpunan Survei Opini Publik selayaknya segera melaporkan ke polisi perihal dugaan manipulasi data yang mereka temukan. Lembaga survei yang nakal harus dihukum. Komisi Pemilihan Umum harus bekerja netral, profesional, dan mengabaikan tekanan dari siapa pun.

KPU harus transparan. Di setiap tahap-dari tempat pemungutan suara, rekapitulasi di kecamatan, kabupaten/kota, dan provinsi, sampai kantor KPU di Jakarta-hasil penghitungan harus diumumkan kepada masyarakat. Sesuai dengan Undang-Undang Pemilu, penghitungan juga harus diserahkan kepada saksi yang mewakili setiap kandidat. Kedua kubu selayaknya menyediakan saksi agar tidak menyesal di kemudian hari.

Penyelenggara pemilu jangan pernah berpikir untuk main api: menggelembungkan atau mengempiskan suara agar salah satu kandidat meraih kemenangan. Komisi Pemilihan Umum di daerah dan pusat harus memastikan penghitungan suara dilakukan tanpa intervensi. Pejabat daerah-dari tingkat desa hingga pusat-yang berafiliasi dengan partai penyokong kandidat presiden selayaknya sadar bahwa mereka tak boleh memihak. Segala bentuk keberpihakan, apalagi kecurangan, adalah tindak pidana yang harus dihukum.

Keterlibatan Komisi Pemberantasan Korupsi harus diapresiasi. Pernyataan juru bicara KPK, Johan Budi S.P., bahwa Komisi tak tidur dan terus memantau penyelenggaraan pemilu adalah peringatan dini yang harus menjadi perhatian. Bukan tak mungkin, dalam proses penghitungan suara, ada penyelenggara negara yang tergoda menerima pelicin. Ketimbang repot di kemudian hari, yang lancung sebaiknya mereka hindari.

Empat kali diselenggarakan sejak reformasi 1998, inilah pemilu yang paling heboh dan menyita perhatian. Beban berat kini diemban KPU dan pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono. Mereka hanya punya dua pilihan: bersikap netral atau negara di ambang kehancuran.

Berita terkait klik Disini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus