Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Cara Melontarkan Pikiran

10 Oktober 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SOE Hok-gie adalah demonstran dan pendaki gunung yang mati muda. Tempo kali ini menerbitkan liputan khusus tentang pria yang menginspirasi mahasiswa di era Orde Baru itu. Tempo menyusuri jejak-jejak perjalanan dan pemikiran Hok-gie dari bekas rumahnya di Jalan Kebon Jeruk IX, Jakarta, hingga wafatnya di puncak Gunung Semeru pada 16 Desember 1969—pada usia 27 tahun.

Pada 1983, Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menerbitkan buku Soe Hok-gie bertajuk Catatan Seorang Demonstran. Ini catatan harian dari pria yang lahir di Jakarta pada 17 Desember 1942 itu. Tempo edisi 6 Agustus 1983 memuat resensi buku Catatan Seorang Demonstran yang ditulis Salim Said. Dia memberi judul resensinya "Cara Melontarkan Pikiran".

Salim memulainya dengan membandingkan Hok-gie dengan Ahmad Wahib, penulis yang juga mati muda. Daniel Dhakidae, pengumpul catatan harian Hok-gie, menulis kata pengantar dari buku Hok-gie yang tebalnya 454 halaman. Namun, kata Salim, ada perbedaan yang tidak kurang mencolok.

Soe Hok-gie pada dasarnya seorang aktivis, sedangkan Ahmad Wahib seorang perenung. Perbedaan ini dengan sendirinya membawa akibat luar biasa pada catatan harian mereka. Catatan harian Hok-gie adalah catatan kegiatan, sementara Ahmad Wahib mencatat renungan-renungannya. Hok-gie dengan sangat jelas melemparkan pikiran-pikirannya lewat sejumlah tulisan di berbagai koran, majalah, pamflet, dan penerbitan lain di dalam dan luar negeri.

Karena sifatnya sangat pribadi dan ditulis tanpa jarak yang memadai dari kejadiannya, buku Hok-gie belum mencerminkan penulisnya secara utuh. Ibarat membuat film, yang dilakukan Hok-gie lewat catatan hariannya barulah mengumpulkan shot sebanyak mungkin. Belum jelas film apa yang akan dibuatnya, karena itu masih tergantung tema yang sedang dikembangkannya.

Bahkan, jika tema telah mendapatkan bentuk, proses editing masih akan berpengaruh besar terhadap tema yang dibangun dari shot yang telah dikumpulkannya sejak ia remaja.

Film Soe Hok-gie memunculkan gambaran bahwa ia anak remaja yang punya cita-cita, bekerja keras, tapi juga menjadikan hanya dirinya sebagai pusat segalanya. Dari catatan harian Hok-gie itu, hampir sulit menemukan orang baik, kecuali dirinya sendiri.

Salim tidak bermaksud menyepelekan buku Soe Hok-gie. Dari beberapa catatannya memang tergambar tentang apa yang sebenarnya terjadi pada masa akhir 1960-an: di kampus; di kalangan orang-orang sosialis yang partainya, Partai Sosialis Indonesia, dibubarkan; ataupun hubungan orang-orang itu dengan kalangan militer.

Bagi Salim, bagian-bagian ini tetap saja tidak bisa menghapuskan kebosanan terhadap catatan mengenai kehidupan di Fakultas Sastra—yang menurut dia hanya cukup menarik untuk teman-teman almarhum yang mempunyai nostalgia terhadap masa itu. "Catatan harian ini akan lebih berharga jika disertakan tulisan almarhum yang tersebar di berbagai media," ujar Salim.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus