Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Cerita Narkotika Sepanjang Masa

1 Februari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Polisi menangkap lima anggota jaringan pengedar narkotik Jakarta. Dua di antaranya tewas ditembak. Mereka masih memburu delapan anggota komplotan lainnya dan mengancam akan mengedor jika dalam sepekan tidak menyerahkan diri.

Penyerbuan itu terjadi setelah Brigadir Kepala Taufik Hidayat dan informannya tewas dikeroyok geng narkotik di Berlan, Jakarta Timur. Kisah tentang jaringan narkotik bukan cerita baru. Tempo beberapa kali memuat tulisan mengenai komplotan pengedar ganja dan narkotika—nama yang populer pada 1970-1980-an. Salah satunya edisi 28 November 1981 dalam rubrik Kriminalitas dengan judul "Perjalanan Panjang Ganja Aceh".

Saat itu polisi menggelar operasi narkotik di Jakarta dan Surabaya dan mendapatkan 7 kilogram ganja kering. Di Ibu Kota, mereka menggerebek rumah di Cawang, Jakarta Timur, yang menjadi basis perdagangan morfin.

Penangkapan itu dipimpin Komandan Unit Reserse Narkotika Kapten Gordon Siadari. Dengan sebuah keker dari jarak jauh, ia mengamati tempat yang dicurigai itu. Memang ia melihat ada kegiatan perdagangan gelap di sana. Gordon menghubungi pasukan di markas komando untuk segera mengepung tempat itu.

Hasilnya: 16 orang terciduk dalam operasi singkat itu berikut barang bukti. Hanya, yang mereka perdagangkan adalah ganja, bukan morfin. Empat orang di antara yang tertangkap mengaku sebagai pemilik barang-barang itu.

Sistem jaringan tertutup merupakan pola yang dipakai semua pengedar narkotik di kota-kota besar. "Organisasi mereka ternyata sangat kuat dan tertutup," kata Komandan Satuan Reserse Kodak Metro Jaya, Hindarto. Padahal di wilayah Jakarta tercatat pemakaian narkotik terbesar di Indonesia, yaitu 1.358 kasus dari 2.877 kasus di seluruh Indonesia selama lima tahun (1974-1980).

Dari kasus-kasus itu, terlihat pemakaian narkotik terbanyak adalah berupa ganja. Selain tertutup, pengedar ganja kelas berat memang cukup lihai. Di Aceh, daerah asal ganja itu, polisi sulit memusnahkan sumber-sumber barang terlarang tersebut karena ditanam secara perkebunan dan tersembunyi.

Dari dua kali operasi ganja di Banda Aceh pada tahun ini, hanya barangnya yang bisa disita di stasiun bus Banda Aceh. Pemiliknya tidak bisa terpegang walau di karung yang digunakan untuk mengirim ganja dari Banda Aceh ke Medan tercantum alamat lengkap. Tapi nama dan alamat itu palsu. Rapi dan lihainya organisasi perdagangan narkotik itu membuat ganja dari kebun-kebun rakyat di Aceh Tenggara mengalir lancar ke seluruh Indonesia, bahkan ke luar negeri.

Ganja itu, tutur Komandan Resor Banda Aceh Letnan Kolonel Sudarmadji, dihasilkan oleh rakyat di Kecamatan Rikib Gaib dan Terangon, yang berbatasan dengan Sumatera Utara. Dari kebun-kebun itu, pedagang membawanya langsung ke Kutacane, terus ke Medan. Jika pola ini dilacak polisi, mereka mengalihkannya melalui jalan setapak selama lima hari perjalanan kaki ke Aceh Selatan.

Dari Blang Pidie di Aceh Selatan, mereka mengirimkan ganja itu ke Sibolga, Sumatera Utara, atau Banda Aceh untuk kemudian disebarkan ke tempat lain. Jalur-jalur ini pun selalu berubah. Kalau keadaan rawan, mereka mengirimkan ganja secara estafet dengan berbagai macam tipuan. Ada orang-orang khusus yang mereka gaji untuk membawa ganja melalui perjalanan panjang dengan menapak Bukit Barisan menuju Sumatera Utara.

Bahkan orang-orang yang terkena penyakit lepra—yang tidak dicurigai dan ditakuti orang —mereka gaji untuk membawa ganja melewati tempat-tempat yang diawasi polisi. Keuntungan perdagangan ganja itu memang memabukkan. Satu kilogram ganja kering di pedalaman Aceh berkisar Rp 3.000. Tapi, sampai di Medan, harga itu meloncat menjadi Rp 75 ribu. Jika lolos sampai di Jakarta, harganya meningkat menjadi ratusan ribu. Belum lagi jika sempat lolos ke luar negeri.

Karena itu pula Aceh dikenal Interpol sebagai sarang utama ganja untuk belahan bumi bagian selatan—selain Segi Tiga Emas di Muangthai. Tapi membasmi sarangnya itu, kata Sudarmadji, lebih sulit lagi karena lokasinya sangat sukar didatangi. Untuk mencapai kebun-kebun ganja itu harus berjalan kaki berhari-hari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus