SINAR matahari tetap jinak di kawasan ini. Tidak menggigit kulit
atau menyengat. Udara cukup sejuk, menyegarkan. Sementara itu,
desir dedaunan menimbulkan bunyi yang nyaman. "Di sini bau hawa
dedunan," kata Mohamad Idrus (52 tahun) yang tinggal di
Kelurahan Batu Ampar, Condet, Jakarta. Tambah Idrus: "Air
sumurnya juga dingin dan gurih. Nikmat. Siapa yang minum, pasti
nggak mau menyingkir dari sini."
M. Soleh (32 tahun) yang jadi Lurah Batu Ampar cuma mesem saja
mendengar cerita Idrus. "Dulu, kerja saya cari ikan," lanjut
Idrus mengingat masa mudanya. Pukat, jaring dan jala, konon
dibuatnya sendiri. Saat itu, sekitar 40 tahun yang lalu, Idrus
biasa naik perahu gctek yang terbuat dari batang pisang,
menyelusuri Sungai Ciliwung mencari ikan. Sering pula dia
bergetek sampai Manggarai, sekitar 6 km dari Condet.
Sungai Ciliwung yang membelah Jakarta saat itu masih bersih dan
murah hati. Ikannya banyak, airnya tidak secoklat sekarang dan
kedalaman rata-rata masih sekitar 4 meter. Di beberapa tempat
bahkan sampai 10 meter. Selalu diceritakan orang dari mulut ke
mulut bahwa di situ banyak buaya. Semua itu, Condet dan Ciliwung
dalam tempo dulu.
Sejak 3 April 1976, daerah Condet yang luasnya 8.020 ha dengan
resmi dijadikan daerah "cagar budaya". Sebelum kampung Betawi
musnah oleh gedung-gedung raksasa memadati kawasan kota Jakarta.
Sebelum kesenian asli Jakarta punah disapu kebudayaan luar
Jakarta. Juga sebelum kikisnya orang Betawi yang kini kian
terdesak ke daerah pinggiran atau karena semakin berbaurnya
suku-bangsa yang makin menyesakkan Jakarta. Pokoknya Condet akan
dijadikan daerah lindungan.
Di daerah ini -- rencananya -- akan dibatasi perobahan tata
lingkungan sampai batas-batas yang wajar. Tetapi dijaga
pohon-pohon yang teduh, jalan yang jauh dari keriuhan dan asap
sepeda motor atau mobil. Begitu pula rumah bilik (bambu) dari
zaman Betawi tempo dulu yang mempunyai sistim pendingin alamiah.
Singkatnya "Condet harus tumbuh secara alamiah, dan bukan tumbuh
karena tekanan-tekanan akibat kesulitan ekonomi sosial," begitu
harapan Ali Sadikin waktu meresmikan "cagar budaya" itu.
Pendatang
Bagaimana sekarang? Dalam kehidupan sehari-hari, Condet sama
seperti daerah pinggiran Jakarta yang tidak berapa lama akan
menjadi kota. Bahkan sebagian besar penduduk aslinya tidak faham
apa itu "cagar budaya". Juga tidak banyak yang mereka pedulikan.
Yang mereka ingat hanyalah pada suatu hari Gubernur Ali Sadikin
dan rombongan datang ke situ, ada pesta-pesta dan para pejabat
menjenguk beberapa rumah yang telah dipugar. Sehabis pesta
suasana sepi kembali menyelimuti daerah itu.
Kemudian ada perbaikan lingkungan kampung. Yang tadinya jalan
setapak dari tanah dipulas jadi beton. Sebagian bahkan diaspal.
Beberapa tiang listrik mulai berdiri, gardu listrik dibuat. Dan
Condet di malam hari tidak segelap dulu. Banyak penduduk yang
mengira bahwa ini sama dengan proyek MHT, perbaikan kampung. Dan
menganggapnya wajar.
Tetapi apakah semua itu bisa dinikmati oleh penduduk Condet
asli? Jalan yang berlumpur pada akhirnya memang akan kian
hilang. Tetapi listrik sebagian besar diambil oleh para
pendatang, yang telah bermukim di sana sebelum proyek "cagar
budaya" diresmikan.
Penduduk Condet asli sebagian besar menggantungkan periuk
nasinya akan hasil buah-buahan. Kelestarian pohon - dalam arti
tidak ditebangnya pohon salak atau duku -- memang beralasan
karena dari pohon itulah penghasilan mereka.
Sementara itu jumlah pohon-pohon duku, salak, duren, kecapi,
melinjo, kini semakin terancam. Karena dari jumlah sekitar 51 Ha
yang tadinya berupa sawah, kini sudah menjelma menjadi
rumah-rumah tembok milik kaum pendatang. Dari sekitar 500 Ha
kebun buah-buahan, kini telah berubah menjadi kebun anggrek
milik "petani kota". Penduduk aslinya setiap hari tergoda untuk
menjual tanahnya, karena diancam kehidupan yang susah sebagai
petani buah-buahan. Apalagi kalau menjelang musim haji, "haji
meteran" -- naik haji karena menjual tanah -- adalah alasan yang
tidak bisa ditawar lagi.
Di tahun 60-an, harga tanah di Condet cuma Rp 10/meter. Bahkan
ada yang menukar sebidang tanah dengan sebuah transistor satu
band. Tahun 70-an, harga naik sekitar Rp 2.000-an. Jakarta di
aman "Pertamina", harga tanah di Condet tidak melambung.
"Karena cagar budaya," kata seorang perantara jual-beli tanah
dari Batuampar, "justru banyak menyusahkan penduduk." Sebab
mereka mengira karena adanya "cagar budaya", pembeli jadi enggan
membeli tanah di kawasan Condet. Biarpun ini bukan berarti tidak
ada pendatang baru di Condet.
Desakan kebutuhan pemukiman di Jakarta sulit untuk membuat
Condet
tetap sebagai kampung asli Betawi. Rumah-rumah tembok mewah dan
berpagar besi tinggi, membuat jarak lebih jauh dari penduduk
asli dan kaum pendatang.
Tidak Panen
Semakin luasnya tanah-tanah Condet dijadikan areal pemukiman
baru, tentu saja menyebabkan kawasan ini kehilangan
keistimewaan. Seperti dikatakan Ismail Marahimin, penulis dan
pengajar FSUI: "Buah-buahan Condet yang terkenal itu sekarang
sudah langka dan dapat digolongkan dalam kelas yang hampir
punah."
Marahimin adalah salah seorang pendatang baru yang kini tinggal
di Condet. Tambah Marahimin lagi: "Permulaan 1978 di Condet
tidak ada panen duku sama sekali. Naga-naganya, pada pergantian
tahun kemudian, juga tidak." Demikian dengan salak, hanya muncul
di buntut 1978 dalam jumlah kecil.
Pepohonan masih terus ditebang untuk melapangkan tempat bagi
rumahrumah baru, milik pendatang atau penduduk asli. Rumah
Betawi asli kian terdesak dan diganti dengan model rumah yang
lagi mode: tegel terazo, kaca rayban atau rumah-rumah gaya
sepanyolan. "Jadi apa sebenarnya yang di-cagarbudaya-kan di
Condet?", tanya Marahimin.
Dari segi kesenian, Condet pun tidak begitu menonjol. Ketika
diresmikan memang ada keramaian seperti tanjidor, dokar berisi
pengantin Betawi, anak yang akan dikhitan dan diarak naik kuda
keliling kampung. Ada pula pencak silat, rebana, orkes dangdut
dan tak ketinggalan: iring-iringan pengantar buah.
Pesta yang seremonial itu ternyata bukan asli milik Condet,
melainkan di"impor" dari daerah lain. Tanjidor didatangkan dari
Tambun. Dokar lengkap dengan kudanya dipinjam dari Cisalak. Di
Condet, tidak hanya dokar, kudapun tidak ada. Beda dengan daerah
Kebayoran Lama atau Palmerah yang jalanannya saja masih sering
berbau, tahi kuda! Juga tidak jelas, apakah buah-buahan yang
disuguhkan kepada para pembesar itu semuanya hasil Condet.
Sedangkan upacara pengantin yang diarak semarak, seingat orang
tua-tua di sana, tidak pernah ada. Yang ada cuma: kesenian vang
berbau keagamaan seperti rebana dan qasidah.
Memang ada seperangkat wayang kulit Betawi di Kampung Tengah,
tetapi dalangnya sudah tua renta. Nyaris punah. Semua ini karena
ada kepercayaan yang hingga kini masih dipegang oleh penduduk
Condet asli: barangsiapa yang mengadakan keramaian dilengkapi
dengan lenong atau wayang kulit atau gambang kromong atau
kesenian lainnya, akan mendapat kesusahan atau penyakit yang tak
bisa sembuh. Tidak jelas bagaimana jalan cerita asal mula
pantangan ini.
Mercon & Pedet
Nama Condet sendiri konon berasal dari nama keluarga. Seorang
suami bernama Mercon mempunyai ayah bernama Pedet. Isteri Mercon
ternyata sakit saraf dan sering mengoceh dengan
memanggil-manggil nama kedua laki-laki tersebut dengan sebutan
"Condet".
Di zaman Belanda, kawasan Condet dikuasai okh seorang Belanda
yang bernama Meneer Amen. Meneer Belanda ini ganas sekali dalam
hal memungut pajak, sehingga pada 1916 terjadi pemberontakan
yang dikepalai oleh nTong Gendut. Sayang sekali kuburan nTong
Gendut hingga kini tidak diketahui.
Menurut catatan DKI, penduduk asli Condet kini tinggal 18% saja
dari seluruh penghuni daerah ini yang kini berjumlah sekitar
23.000 orang. Mata pencaharian lain dari penduduk asli selama
menunggu panen buah atau sawah biasanya melakukan kerajinan
tangan. Ada keluarga yang membuat sendok sayur atau nasi, dari
batok kelapa atau kayu. Tapi hasil industri rumahnya kini
tersaing oleh barang-barang pabrik yang terbuat dari aluminium
atau plastik.
Dulu para wanita mengadakan kerja sambilan membuat emping.
Tetapi kini daun melinjo lebih praktis dijual begitu saja dan
lebih cepat mendapat uang. Ada pula yang melakukan kerajinan
membuat asbak atau perahu dari bambu. Hasilnya tidak berarti dan
toko yang dititipi biasanya memberi uang kalau barang laku.
Semua itu dilakukan oleh para orangtua, sementara anak-anak muda
menganggur, jebol dari sekolahnya dan tidak bisa mengusahakan
tanah ayahnya yang kian menyempit.
Balai Cagar Budaya memang sudah berdiri dan dipakai untuk
peresmian dulu itu. Tapi hingga kini belum dimanfaatkan. Apakah
proyek Condet jadi tersendat? "Ah, jalan terus," ujar ir. Wastu
pragantha Kepala Dinas Tata Bangunan dan Pemugaran DKI. Biaya
untuk tahun anggaran 79/80 bahkan jadi Rp 60 juta, berarti Rp 5
juta lebih besar dibanding tahun sebelumnya. "Banyak hal yang
kini masih kami jajagi," lanjut Pragantha lagi. Dia kemudian
memberi misal soal irigasi, untuk mengairi kebun buah-buahan.
"Juga tentang pasar buah," katanya, "kita harus ingat ada juga
Pasar Minggu yang bersebelahan Condet." Pragantha kemudian
mengatakan bahwa apa yang dilakukan sekarang ini untuk Condet,
semua memang masih merupakan percobaan. Biarpun cagar budaya
sudah terlanjur jadi sebutan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini