Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Condet, mencagari budaya siapa condet, mancagari budaya siapa

Daerah condet ditetapkan sebagai daerah cagar budaya sejak 3 april 1976, dengan maksud lingkungannya tetap bercorak khas betawi dengan pohon buahnya. kini produksi buah duku dan salaknya semakin berkurang.(ils)

27 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SINAR matahari tetap jinak di kawasan ini. Tidak menggigit kulit atau menyengat. Udara cukup sejuk, menyegarkan. Sementara itu, desir dedaunan menimbulkan bunyi yang nyaman. "Di sini bau hawa dedunan," kata Mohamad Idrus (52 tahun) yang tinggal di Kelurahan Batu Ampar, Condet, Jakarta. Tambah Idrus: "Air sumurnya juga dingin dan gurih. Nikmat. Siapa yang minum, pasti nggak mau menyingkir dari sini." M. Soleh (32 tahun) yang jadi Lurah Batu Ampar cuma mesem saja mendengar cerita Idrus. "Dulu, kerja saya cari ikan," lanjut Idrus mengingat masa mudanya. Pukat, jaring dan jala, konon dibuatnya sendiri. Saat itu, sekitar 40 tahun yang lalu, Idrus biasa naik perahu gctek yang terbuat dari batang pisang, menyelusuri Sungai Ciliwung mencari ikan. Sering pula dia bergetek sampai Manggarai, sekitar 6 km dari Condet. Sungai Ciliwung yang membelah Jakarta saat itu masih bersih dan murah hati. Ikannya banyak, airnya tidak secoklat sekarang dan kedalaman rata-rata masih sekitar 4 meter. Di beberapa tempat bahkan sampai 10 meter. Selalu diceritakan orang dari mulut ke mulut bahwa di situ banyak buaya. Semua itu, Condet dan Ciliwung dalam tempo dulu. Sejak 3 April 1976, daerah Condet yang luasnya 8.020 ha dengan resmi dijadikan daerah "cagar budaya". Sebelum kampung Betawi musnah oleh gedung-gedung raksasa memadati kawasan kota Jakarta. Sebelum kesenian asli Jakarta punah disapu kebudayaan luar Jakarta. Juga sebelum kikisnya orang Betawi yang kini kian terdesak ke daerah pinggiran atau karena semakin berbaurnya suku-bangsa yang makin menyesakkan Jakarta. Pokoknya Condet akan dijadikan daerah lindungan. Di daerah ini -- rencananya -- akan dibatasi perobahan tata lingkungan sampai batas-batas yang wajar. Tetapi dijaga pohon-pohon yang teduh, jalan yang jauh dari keriuhan dan asap sepeda motor atau mobil. Begitu pula rumah bilik (bambu) dari zaman Betawi tempo dulu yang mempunyai sistim pendingin alamiah. Singkatnya "Condet harus tumbuh secara alamiah, dan bukan tumbuh karena tekanan-tekanan akibat kesulitan ekonomi sosial," begitu harapan Ali Sadikin waktu meresmikan "cagar budaya" itu. Pendatang Bagaimana sekarang? Dalam kehidupan sehari-hari, Condet sama seperti daerah pinggiran Jakarta yang tidak berapa lama akan menjadi kota. Bahkan sebagian besar penduduk aslinya tidak faham apa itu "cagar budaya". Juga tidak banyak yang mereka pedulikan. Yang mereka ingat hanyalah pada suatu hari Gubernur Ali Sadikin dan rombongan datang ke situ, ada pesta-pesta dan para pejabat menjenguk beberapa rumah yang telah dipugar. Sehabis pesta suasana sepi kembali menyelimuti daerah itu. Kemudian ada perbaikan lingkungan kampung. Yang tadinya jalan setapak dari tanah dipulas jadi beton. Sebagian bahkan diaspal. Beberapa tiang listrik mulai berdiri, gardu listrik dibuat. Dan Condet di malam hari tidak segelap dulu. Banyak penduduk yang mengira bahwa ini sama dengan proyek MHT, perbaikan kampung. Dan menganggapnya wajar. Tetapi apakah semua itu bisa dinikmati oleh penduduk Condet asli? Jalan yang berlumpur pada akhirnya memang akan kian hilang. Tetapi listrik sebagian besar diambil oleh para pendatang, yang telah bermukim di sana sebelum proyek "cagar budaya" diresmikan. Penduduk Condet asli sebagian besar menggantungkan periuk nasinya akan hasil buah-buahan. Kelestarian pohon - dalam arti tidak ditebangnya pohon salak atau duku -- memang beralasan karena dari pohon itulah penghasilan mereka. Sementara itu jumlah pohon-pohon duku, salak, duren, kecapi, melinjo, kini semakin terancam. Karena dari jumlah sekitar 51 Ha yang tadinya berupa sawah, kini sudah menjelma menjadi rumah-rumah tembok milik kaum pendatang. Dari sekitar 500 Ha kebun buah-buahan, kini telah berubah menjadi kebun anggrek milik "petani kota". Penduduk aslinya setiap hari tergoda untuk menjual tanahnya, karena diancam kehidupan yang susah sebagai petani buah-buahan. Apalagi kalau menjelang musim haji, "haji meteran" -- naik haji karena menjual tanah -- adalah alasan yang tidak bisa ditawar lagi. Di tahun 60-an, harga tanah di Condet cuma Rp 10/meter. Bahkan ada yang menukar sebidang tanah dengan sebuah transistor satu band. Tahun 70-an, harga naik sekitar Rp 2.000-an. Jakarta di aman "Pertamina", harga tanah di Condet tidak melambung. "Karena cagar budaya," kata seorang perantara jual-beli tanah dari Batuampar, "justru banyak menyusahkan penduduk." Sebab mereka mengira karena adanya "cagar budaya", pembeli jadi enggan membeli tanah di kawasan Condet. Biarpun ini bukan berarti tidak ada pendatang baru di Condet. Desakan kebutuhan pemukiman di Jakarta sulit untuk membuat Condet tetap sebagai kampung asli Betawi. Rumah-rumah tembok mewah dan berpagar besi tinggi, membuat jarak lebih jauh dari penduduk asli dan kaum pendatang. Tidak Panen Semakin luasnya tanah-tanah Condet dijadikan areal pemukiman baru, tentu saja menyebabkan kawasan ini kehilangan keistimewaan. Seperti dikatakan Ismail Marahimin, penulis dan pengajar FSUI: "Buah-buahan Condet yang terkenal itu sekarang sudah langka dan dapat digolongkan dalam kelas yang hampir punah." Marahimin adalah salah seorang pendatang baru yang kini tinggal di Condet. Tambah Marahimin lagi: "Permulaan 1978 di Condet tidak ada panen duku sama sekali. Naga-naganya, pada pergantian tahun kemudian, juga tidak." Demikian dengan salak, hanya muncul di buntut 1978 dalam jumlah kecil. Pepohonan masih terus ditebang untuk melapangkan tempat bagi rumahrumah baru, milik pendatang atau penduduk asli. Rumah Betawi asli kian terdesak dan diganti dengan model rumah yang lagi mode: tegel terazo, kaca rayban atau rumah-rumah gaya sepanyolan. "Jadi apa sebenarnya yang di-cagarbudaya-kan di Condet?", tanya Marahimin. Dari segi kesenian, Condet pun tidak begitu menonjol. Ketika diresmikan memang ada keramaian seperti tanjidor, dokar berisi pengantin Betawi, anak yang akan dikhitan dan diarak naik kuda keliling kampung. Ada pula pencak silat, rebana, orkes dangdut dan tak ketinggalan: iring-iringan pengantar buah. Pesta yang seremonial itu ternyata bukan asli milik Condet, melainkan di"impor" dari daerah lain. Tanjidor didatangkan dari Tambun. Dokar lengkap dengan kudanya dipinjam dari Cisalak. Di Condet, tidak hanya dokar, kudapun tidak ada. Beda dengan daerah Kebayoran Lama atau Palmerah yang jalanannya saja masih sering berbau, tahi kuda! Juga tidak jelas, apakah buah-buahan yang disuguhkan kepada para pembesar itu semuanya hasil Condet. Sedangkan upacara pengantin yang diarak semarak, seingat orang tua-tua di sana, tidak pernah ada. Yang ada cuma: kesenian vang berbau keagamaan seperti rebana dan qasidah. Memang ada seperangkat wayang kulit Betawi di Kampung Tengah, tetapi dalangnya sudah tua renta. Nyaris punah. Semua ini karena ada kepercayaan yang hingga kini masih dipegang oleh penduduk Condet asli: barangsiapa yang mengadakan keramaian dilengkapi dengan lenong atau wayang kulit atau gambang kromong atau kesenian lainnya, akan mendapat kesusahan atau penyakit yang tak bisa sembuh. Tidak jelas bagaimana jalan cerita asal mula pantangan ini. Mercon & Pedet Nama Condet sendiri konon berasal dari nama keluarga. Seorang suami bernama Mercon mempunyai ayah bernama Pedet. Isteri Mercon ternyata sakit saraf dan sering mengoceh dengan memanggil-manggil nama kedua laki-laki tersebut dengan sebutan "Condet". Di zaman Belanda, kawasan Condet dikuasai okh seorang Belanda yang bernama Meneer Amen. Meneer Belanda ini ganas sekali dalam hal memungut pajak, sehingga pada 1916 terjadi pemberontakan yang dikepalai oleh nTong Gendut. Sayang sekali kuburan nTong Gendut hingga kini tidak diketahui. Menurut catatan DKI, penduduk asli Condet kini tinggal 18% saja dari seluruh penghuni daerah ini yang kini berjumlah sekitar 23.000 orang. Mata pencaharian lain dari penduduk asli selama menunggu panen buah atau sawah biasanya melakukan kerajinan tangan. Ada keluarga yang membuat sendok sayur atau nasi, dari batok kelapa atau kayu. Tapi hasil industri rumahnya kini tersaing oleh barang-barang pabrik yang terbuat dari aluminium atau plastik. Dulu para wanita mengadakan kerja sambilan membuat emping. Tetapi kini daun melinjo lebih praktis dijual begitu saja dan lebih cepat mendapat uang. Ada pula yang melakukan kerajinan membuat asbak atau perahu dari bambu. Hasilnya tidak berarti dan toko yang dititipi biasanya memberi uang kalau barang laku. Semua itu dilakukan oleh para orangtua, sementara anak-anak muda menganggur, jebol dari sekolahnya dan tidak bisa mengusahakan tanah ayahnya yang kian menyempit. Balai Cagar Budaya memang sudah berdiri dan dipakai untuk peresmian dulu itu. Tapi hingga kini belum dimanfaatkan. Apakah proyek Condet jadi tersendat? "Ah, jalan terus," ujar ir. Wastu pragantha Kepala Dinas Tata Bangunan dan Pemugaran DKI. Biaya untuk tahun anggaran 79/80 bahkan jadi Rp 60 juta, berarti Rp 5 juta lebih besar dibanding tahun sebelumnya. "Banyak hal yang kini masih kami jajagi," lanjut Pragantha lagi. Dia kemudian memberi misal soal irigasi, untuk mengairi kebun buah-buahan. "Juga tentang pasar buah," katanya, "kita harus ingat ada juga Pasar Minggu yang bersebelahan Condet." Pragantha kemudian mengatakan bahwa apa yang dilakukan sekarang ini untuk Condet, semua memang masih merupakan percobaan. Biarpun cagar budaya sudah terlanjur jadi sebutan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus