SUATU pagi di Kleine Scheidegg. Suhu di desa kecil di dataran tinggi Bern di Swiss itu, seperti biasa, anjlok sampai 4 derajat Celsius. Macam di Puncak Pass menjelang subuh. Dari depan Hotel Bellevue, menggunakan teropong besar yang tersedia di pojok sebuah toko, seorang (calon) ibu muda mengintip punggung Gunung Eiger dari jarak 4 kilometeran. Tapi yang tampak hanya kabut tebal yang berlayar pelan diterpa cahaya matahari zomer yang memantul dari salju. Ia deg-degan, karena kabut itu tak memungkinkannya berkomunikasi dengan suaminya, Harry Sulisztiarto, 31, sarjana seni rupa ITB yang memimpin ekspedisi Eiger '86. Ia itulah Ida Farida, wartawan TEMPO dari Biro Bandung. Dialah pertengahan bulan lalu meliput ekspedisi yang sukses tersebut, dan kemudian ia pula yang menuliskan kisah itu untuk Selingan. Ini perjalanan jurnalistik keluar negeri yang pertama bagi si Idoen (begitu panggilan akrabnya sehari-hari), mojang yang lahir di Bandung 28 tahun lalu itu. Dan di sini, di ruang Surat dari Redaksi ini, adalah kehadiran keduanya. Pertama kali, Idoen, yang suka jalan kaki, lari, dan sesekali memanjat gunung, dipasang tampangnya ketika bersama rekan-rekannya sukses meliput kasus Children of God, akhir Maret 1984 -- enam bulan setelah ia bergabung dengan Biro TEMPO Jawa Barat. Ia dikirim ke Swiss karena, setelah diseleksi, tak seorang wartawan TEMPO pun yang punya pengalaman bermain-main dengan gunung, kecuali Idoen. Ada memang Yusril Djalinus, anggota Wanadri. Tapi tampaknya ia masih sibuk mengatur-atur segala sesuatu di kantor baru -- yang, meski tak setinggi gunung, lumayan capek bila harus dicapai dengan naik tangga: di lantai 7. Pada hari ke-14 tim pendaki mendekati puncak sudah. Pagi-pagi Idoen, sarjana sejarah dari Fakultas Sastra Unpad, meneropong ke atas. Ia melihat, mereka hampir sampai ke puncak. Segera ia menghubungi helikopter dengan telepon. Lalu bersama reporter TVRI, Hendro Subroto, ia terbang menyaksikan sukses ini. Selain cerita sukses juga ada cerita yang merepotkan. Kebetulan, wartawati ini lagi hamil muda, dan di negeri orang itu, "ngidam saya kumat." Bila saja ia ngidam kentang goreng, tentulah tak bakal pusing. Tapi ia ngidam gado-gado, lotek, dan bakso. Tapi ia bersyukur tak pernah sakit di negeri yang dingin itu. Antara lain karena ia membawa obat antimual. Nah, ketika obat itu habis, tepat saat mampir di Singapura. Dan di situlah calon ibu ini muntah-muntah. Untung, katanya, sudah dekat. Belum selesai capeknya, tiba di Bandung, terus ke Jakarta untuk menyeleksi foto-foto kisah pemanjatan Eiger bersama tim Selingan. Balik lagi ke Bandung, dan dalam tiga hari dia kebut tulisan itu. Baru, sesudah itu, ia benar-benar jatuh sakit. "Cuma sehari dan cuma capek," katanya. Yang masih dipikir-pikirnya, suami dan kawan-kawannya ternyata tak pernah menjawab sorotan senter dari Idoen di suatu malam. Lalu, siapa yang menjawab ? Bisa jadi tim ekspedisi dari negeri lain. Bisa jadi itu memang ulah Eiger gunung yang diklasifikasikan "amat sangat sulit" dipanjat dari sisi barat lautnya. Atau, adakah yang bisa memberi penjelasan kepadanya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini