SAPU Golkar menyapu lebih bersih di Riau. Semua anggota DPR dari provinsi ini tak akan dicalonkan kembali. Juga 19 dari 24 anggota DPRD Tingkat I turut dicopot. Maka, dapat dipastikan, calon-calon Golkar dari "Tanah Melayu" ini akan disemarakkan oleh wajah-wajah baru. Penggantian besar-besaran itu, tentu, segera saja secara spekulatif dikaitkan orang dengan penstiwa pemilihan gubernur, 2 September tahun silam. Itulah pertama kali terjadi, seorang calon pendamping, yang biasanya cuma sebagai pelengkap, akhirnya mengalahkan calon utama. Ismail Suko, dalam sidang DPRD Tingkat I itu, tanpa disangka dan karenanya menggegerkan, ternyata mendapat suara terbanyak. Memang, Ismail Suko akhirnya mengundurkan diri. Imam Munandar kembali dilantik menjadi gubernur Riau untuk jabatannya yang kedua. Tapi, peristiwa itu menunjukkan bahwa anggota Golkar bisa juga melakukan pembelotan. Benarkah penggusuran para anggota DPR dari Golkar itu, karena peristiwa Munandar? R. Sugandhi, salah seorang ketua DPP Golkar, membenarkannya. Dengan terus terang, ia mengungkapkan bahwa mereka yang tidak dicalonkan kembali itu karena, secara organisatoris, dinilai indisipliner. Tapi mengapa anggota DPR Pusat, yang tak berurusan sama sekali dengan pemilihan Munandar juga digusur? "Mereka yang mensponsori rapat-rapat. Jadi, mereka melakukan semacam pembangkangan," kata Sugandhi. Kala itu, DPP Golkar, demikian sumber TEMPO, telah memutuskan Imam Munandar yang dijagokan menjadi gubernur kembali. Sesungguhnya, DPP telah mendapat laporan ihwal kekurangberhasilan Munandar memimpin Riau. "Tapi DPP telah bersikukuh mencalonkan Imam. Keputusan ini kemudian disampaikan pada DPD untuk diamankan," katanya. Tapi, sebelum DPP memutuskan, ternyata ada seorang anggota DPR dari Riau yang bertindak "lancang". Tanpa berkonsultasi dengan DPP, ia langsung berkirim surat pada Presiden Soeharto. Isinya: melaporkan kegagalan Munandar, dan menolak pencalonannya kembali. "Surat itu lantas didisposisi Presiden, lalu disampaikan pada Menteri Dalam Negeri," ujar sumber itu. Siapa orang itu? Ia, adalah Mohamad Akil, Ketua Komisi V DPR. "Kami menghormati hak berpendapat tiap-tiap anggota," kata Ketua Umum DPP Golkar Sudharmono. Yang menjadi persoalan ialah, meski DPP telah memutuskan Imam Munandar, toh tetap ada yang membelot. "Ini 'kan berarti loyalitasnya pada organisasi diragukan," tambah Sudharmono. Dengan alasan tak loyal itulah, maka dilakukanlah pembersihan atas anggota DPR dan DPRD Tingkat I Riau itu. Keputusan pusat itulah yang kemudian memang dilaksanakan. "Tapi keputusan itu diambil tanpa prosedur yang semestinya," ujar sebuah sumber pada Bersihar Lubis dari TEMPO di Pakanbaru. Daftar nama calon itu sama sekali tak dibahas di DPD Golkar. "Daftar itu langsung digodok dalam forum tiga jalur Gubernur, Kodam, dan sebagian pengurus DPD," tambah sumber itu. Pertemuan itu berlangsung 1 Agustus lalu. Bahkan, Baharuddin Jusuf, Ketua DPD Golkar Riau, tak disertakan sama sekali. Wakil Gubernur ini, akhirnya, hanya disuruh menandatangani saja daftar yang disodorkan. Baharuddin memang telah lama tak akur dengan Munandar. Perselisihan itu, rupanya, belum reda jua. Ini, misalnya, tampak jelas dalam masalah pencalonan itu. Menurut sebuah sumber, Baharuddin, selaku Ketua DPD, menginginkan agar separuh dari anggora DPRD Tingkat I yang lama masih dipertahankan. Ia mengajukan komposisi 50:50, antara calon yang baru dan yang lama. Tapi, Munandar, yang sebagai gubernur berkedudukan pula sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar, menginginkan agar terjadi perubahan besar-besaran. Yakni, hanya 20% orang lama yang dipertahankan, selebihnya dibuang. Baharuddin, dikabarkan, meminta Munandar mengajukan "argumentasi" mengapa mesti 19 orang yang tidak dicalonkan lagi. "Tapi Munandar diam saja," ujar sumber TEMPO. Mengapa Munandar hanya diam? Yang jelas, Ismail Suko, kala pemilihan gubernur tahun silam itu, memang meraih 19 suara. Sedangkan Munandar hanya 17, dan sebuah suara untuk calon pendamping lainnya, H. Abd. Rakhman Hamid. Adakah 19 yang dibuang itu adalah orang orang yang memberikan suaranya untuk Ismail Suko? Tak jelas adakah ini merupakan "dendam" lama. Tapi yang jelas, seminggu sebelum pelantikan Munandar untuk kedua kalinya menjadi gubernur tempo hari, ia telah bersilaturahmi dengan semua pimpinan kekuatan sosial politik di Riau. Munandar mengajak bermaaf-maafan, dan saling melupakan masa lalu. "Pertemuan itu bahkan dihadiri berbagai pimpinan Golkar, seperti David Napitupulu, K.H. Tarmuji, serta Rachmat Witular," ujar M. Yatim, salah seorang anggota F-KP DPRD Tingkat I. Begitulah suasananya betul-betul ikhias. Tapi tak lama setelah ia dilantik, sikap Munandar berubah. Ia mulai berbicara tentang, "Orang-orang yang tak seirama, yang tak blsa bekerja sama." Dan suara itu makin jelas, ketika Gubernur Munandar berbicara dalam rapat kerja daerah (Rakerda) DPD Golkar, pada 22 Januari silam. Gubernur dengan tegas meminta, "Rakerda itu merekomendasikan menindak anggota yang melanggar disiplin organisasi." Dan orang pun ramai berkomentar, "Eh, sudah rujuk, kok cerai lagi." Toh ada yang membantah penyingkiran 19 anggota DPRD Tingkat I sekarang ini berkaitan dengan kasus pemilihan gubernur. "Jika ada yang datang dan pergi, itu lumrah," kata Wan Ghalib, salah seorang calon yang dikabarkan akan mendapat nomor jadi. Sementara itu, Mariam Subrantas janda bekas gubernur Riau, yang juga dicalonkan, berkomentar, "Jika menepuk air di dulang, tepercik muka sendiri." Yang menarik ialah, Ismail Suko sendiri justru diorbitkan ke tingkat nasional. Ia dicalonkan menjadi anggota DPR, dengan nomor yang bisa dibilang pasti jadi (4). Mengapa? "Ia seorang yang loyal," kata Sugandhi. "Demi daerah, demi pembangunan, Ismail Suko terus mengundurkan diri sebagai calon gubernur," tambah Sudharmono. "Ia kader yang baik, dan itu kami catat." Dan apa kata Suko? Dengan nada tetap merendah, ayah empat anak yang baru pulang naik haji itu, berkata, "Saya hanya seorang bawahan. Jika atasan mempercayainya, alhamdulillah." S.H., Laporan Biro Jakarta & Medan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini