TULISAN Arief Budiman Kapitalisme yang Masih Malu-Malu (TEMPO, 26 Juli, Kolom), bagi saya yang awam, sungguh memikat. Dengan bahasa begitu sederhana, Arief mampu menjelaskan bagaimana pemilik modal besar akan beroleh kemenangan dalam bersaing dengan si modal kecil " . . . sudah hampir dapat dipastikan pemilik modal besar akan memperoleh kemenangan," tulis Arief. Pada akhir tulisannya (masih dengan bahasa dan "jalan berpikir" sederhana) disimpulkan, kita harus mengkaji kembali strategi pembangunan kita secara radikal, sebelum terlambat. Ketika Juwono Sudarsono, Winarno Zain, dan Kwik Kian Gie beramai-ramai menanggapi tulisan Arief, tiba-tiba ungkapan/pembelaan Arief jadi rumit, bertele-tele, dan melingkar-lingkar. "Inti tulisan saya pada TEMPO 26 Juli 1986 hanyalah pernyataan secara sarkastis bagaimana kapitalisme menggejala di Indonesia," tulis Arief. Selanjutnya, ia mengakhiri tulisannya dengan ucapan bahwa polemik ini (modal besar menggilas modal kecil dan strategi pembangunan tak jelas programnya serta pelaksanaan sistem ekonomi yang kaget-kagetan) membuat orang jadi kritis, di samping usaha mencari kebenaran (TEMPO, 16 Agustus). Benarkah orang menjadi kritis seusai mengikuti polemik ini? Saya sebagai pembaca yang awam ternyata tidak menjadi kritis. Tapi justru berubah menjadi krisis pengetahuan mengenai sistem kapitalisme yang menggejala di Indonesia. Padahal, Arief sendiri menyatakan, "Inti pikirannya hanyalah sarkastis belaka." Yang kalau dirinci menjadi: - Kapitalis menghalalkan segala cara (yang oleh KKG disebut: business animals, bukan business Machiavelli) - Kapitalis Kemchick takkan berumur panjang, kalau pemilik modal besar mau menghancurkan mereka. (Tak usah pemilik modal besar pun, kalau mau menghancurkan, bisa dengan mudah. Toh kenyataannya "teori" penghancuran itu masih perkiraan Arief). - Kapitalis (penguasaan alat produksi) berusaha meraih laba sebanyak-banyaknya (yang oleh KKG dikatakan: tak usah diberi nasihat segala macam. Karena kapitalis memang logika dakhilnya cuma satu: mencarl untung). Tulisan Arief yang mula-mula sederhana, jelas dan mudah dipahami itu, agaknya kaget-kagetan dan improvisatoris belaka. Pembelaan terakhir darinya sungguh crowded. Semua itu bisa dimaklumi karena Arief lebih banyak studi di kampus -- kenyataan pasaran bebas di Indonesia mungkin tak diriset sungguh-sungguh? GENDUT RIYANTO Jalan Otista III Kompleks II/14 A Jakarta Timur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini