Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sejumlah Nama Dari Balik Pohon ...

Sejumlah anggota golkar di dpr dan dprd tak dicalonkan lagi. 2 orang tokoh berprestasi tersingkir. beberapa anak pejabat muncul sebagai calon pengganti. semua anggota dpr dari riau diganti. (nas)

6 September 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK tanggung-tanggung, Golkar akan menggusur sekitar 40 persen anggotanya di DPR. Siapakah mereka yang akan tersingkir itu? Inilah pertanyaan yang akhir-akhir ini menggelisahkan, dan menjadi topik pembicaraan di kantor Fraksi Karya Pembangunan, yang bermarkas di lantai 6 dan 7 gedung DPR, Senayan, Jakarta. Kegelisahan, tentu, tak hanya di Pusat. Di Sumatera Utara bahkan lebih seru. Banyak anggota DPRD Tingkat I dari Golkar di Kota Medan hari-hari ini dicengkam stres. Soalnya, seperti dikatakan Slamet Riyanto, Sekretaris DPD Golkar Sum-Ut, sekitar 60% anggota F-KP di DPRD yang sekarang tak akan dicalonkan kembali. Artinya, jauh lebih banyak dibanding penggusuran yang terjadi di Senayan. Yang dramatis tentulah nasib yang menimpa orang-orang Golkar di Riau. Bayangkan: semua anggota DPR dari hasil pemilu yang lalu dari provinsi itu (Golkar meraih empat kursi) akan diganti. Dan, 19 dari 24 anggota F-KP di DPRD Tingkat I Riau, atau hampir 80%, akan dicopot. Betulkah itu ekor kekisruhan pemilihan Gubernur Imam Munandar setahun yang lalu ? Dan yang unik, Ismail Suko, Sekretaris DPRD Tingkat I Riau, ini dulu tampil sebagai calon pendamping calon utama gubernur, Munandar. Tapi justru Suko yang meraih suara terbanyak. Mengapa ia kini malah "dipromosikan" menjadi calon anggota DPR Pusat dalam nomor jadi? (Lihat: Gejolak di Riau.) Yang kini sudah jelas ialah, jauh hari sebelum batas waktu pencalonan 27 September mendatang, Golkar telah berhasil menyusun daftar calon anggota DPR Pusat. Sesuai dengan peraturan, dalam daftar itu terdapat 800 nama, yakni dua kali jumlah kursi di DPR yang akan diperebutkan. Daftar itu disepakati dalam rapat bersama antara Dewan Pimpinan Pusat dan Dewan Pimpinan Daerah Golkar, yang juga dihadiri Pangab-Pangkopkamtib Jenderal L.B. Moerdani, yang berlangsung di kantor DPP Golkar, Slipi, Jakarta, Senin 1 September, pekan ini. Pertemuan yang tertutup itu, memang, hanya berlangsung dua jam. Dan kabarnya, hanya tujuh daerah yang angkat bicara, yakni: Jawa Timur, Sumatera Barat, Sumatera Utara, NTB, Jawa Tengah, Bengkulu, dan Jambi. Meski sidang berlangsung singkat, "Pencalonan untuk anggota DPR sudah dapat dikatakan selesai," ujar Ketua Umum DPP Golkar, yang juga Menteri Sekretaris Negara, Sudharmono, seusai sidang. Masalah pencalonan ini telah lama digodok. "Kami sudah lama bekerja, dan juga sudah dikonsultasikan dulu," tambahnya. Dengan demikian, Golkar kembali tampil sebagai kontestan pemilu yang lebih siap dibanding dua kontestan lainnya. PPP, misalnya, hingga kini masih disibukkan oleh pertikaian di dalam, yang tak kunjung padam. Bahkan pertikaian itu kini tak hanya Naro cs melawan Soedardji cs, tapi juga mulai meluas, antara Ridwan Saidi dan Naro. Padahal, bagi Golkar sendiri, pencalonan pada Pemilu 1987 ini tergolong lain. Ia lebih dalam berbagai hal dibanding masa-masa sebelumnya. Sebab, inilah pertama kali Golkar menggunakan mekanisme baru dalam menentukan calon anggota DPR. Juga, inilah pertama kali, partai yang berkuasa itu melakukan peremajaan. Dan, inilah pula pertama kali, sebuah provinsi, yakni Riau, menjadi soal besar bagi partai pemermtah itu. Akibatnya? Boleh jadi mengagetkan banyak orang. Misalnya, beberapa tokoh yang selama ini berani bersuara tak dicalonkan kembali. Di antaranya, Sawidago Wounde, Wakil Ketua Komisi II, yang banyak menangani masalah tanah. Dalam kasus penggusuran rumah penduduk di Simpruk, Jakarta Selatan, awal Desember tahun silam, contohnya. Dalam kasus ini, Sawidago berpendapat, rakyat hendaknya tidak menjadi korban. Lebih dari itu, ia menilai, dalam kasus itu Wali Kota berpihak kepada PT Tangkas Baru, yang bergerak dalam bidang real estate dan kontraktor -- yang menggusur penduduk. Kini, Sawidago malah tergusur. Sementara itu, sejumlah orang muda yang tak disangka-sangka, karena mereka anak pejabat -- disebut-sebut sebagai calon pengganti. Misalnya, Denny Soedarsono, putri Nani Soedarsono, Menteri Sosial. Atau, Dewi Ria Nasution, anak Gubernur Sum-Ut Kaharuddin Nasution. Juga disebut-sebut nama Haris Ali Moertopo, atau Tantyo Sudharmono -- putra Ketua Umum DPP Golkar sendiri. Bahkan, Bambang Sulistomo, anak Almarhum Bung Tomo, yang pernah terlibat Peristiwa Malari, juga masuk ke dalam daftar calon. Maka, layaklah muncul serentetan pertanyaan: bagaimanakah para calon itu direkrut? Apa sih, kriteria untuk jadi calon wakil rakyat dari partai yang kini memerintah itu? Menurut Sudharmono, kriterium pencalonan itu disusun oleh DPP. Ada 45 orang pengurus DPP. "Tapi mereka kemudian memberi kuasa kepada sebelas orang pengurus harian," katanya. Yakni, seorang ketua umum, delapan ketua, seorang sekjen, serta bendahara. Sebelas orang inilah yang kemudian paling banyak berperan, mulai dari menetapkan syarat-syarat hingga kemudian menentukan keputusan akhir. Pada mulanya, DPP menginventarisasikan apa yang disebut kader-kader Golkar. Setelah itu, "Kami menghimpun semua kader, baik yang dipusat maupun di daerah," ujar Sudharmono. Yang di pusat, misalnya, semua anggota Dewan Pembina (45 orang), semua anggota DPP (45 orang), dan para fungsionaris Golkar yang duduk di kabinet, dan juga para pimpinan organisasi sosial. Dari tabel yang panjang itu, disusunlah suatu daftar nama, yang jmlahnya sepuluh kali dari jumlah kursi yang diperebutkan di DPR. "Karena kursi yang diperebutkan 400, maka kami menyusun 4.000 nama, yang dibagi dalam 27 daerah pemilihan," kata Sudharmono. Pembagian daftar nama itu, besar kecilnya, terang bergantung pada besar kecilnya penduduk di daerah pemilihan. Menurut Sekjen Golkar Sarwono Kusumaatmadja, 4.000 nama itu diperoleh setelah melalui seleksi berdasarkan data obyektif yang dimiliki DPP Golkar. "Tak sulit," katanya, "karena Golkar memiliki administrasi keanggotaan yang lumayan." Daftar itu kemudian diserahkan kepada daerah. "Daerah diminta memilih lima puluh persen dari daftar itu," ujar Sudharmono. Kecuali itu, toh masih terbuka kesempatan bagi daerah untuk mengajukan usul. "Kami memberi keleluasaan bagi daerah, kalau ada nama-nama yang dianggap penting oleh daerah, tapi belum dimasukkan dalam daftar. Jadi, aspirasi daerah ditampung." Dari daerah, daftar itu dikirim kembali ke Jakarta. Begitulah, dari jumlah yang sepuluh kali lebih banyak, menjadi lima kali, dan akhirnya, tinggal dua setengah kali. Tapi, dalam hal ini, "Daerah hanya membundari saja nama-nama dalam daftar itu. Artinya memberi rekomendasi," tambah R. Sugandhi, salah seorang ketua DPP Golkar. "Jadi, yang memutuskan pusat, bukan regional." Selanjutnya, dari semula 4.000 nama, sesuai dengan peraturan, lantas dipilih 800 orang yakni dua kali dari jumlah kursi DPR yang diperebutkan dalam pemilu. "Nama-nama itu telah di-clear-kan dulu ke Bakin," tambah Sugandhi, yang juga pimpinan MKGR. Mekanisme seperti itu, "Baru tahun ini dilaksanakan," kata seorang pengurus F-KP di DPR. Pada masa lalu, katanya, fraksi yang terutama diminta mengajukan nama-nama yang masih akan dipertahankan. Lalu, sisanya itulah yang kemudian diserahkan pada DPD. Misalnya, untuk suatu provinsi, sesuai dengan jumlah penduduknya, hanya ada empat kursi untuk anggota DPR. Hanya dua yang akan dipertahankan. Maka, sisa yang dua itulah yang kemudian diserahkan pada DPD. "Jadi, mekanisme yang dulu lebih sederhana, dan lebih sedikit yang korban. Yang sekarang, lebih panjang, dan menyebabkan lebih banyak orang yang tersisih," kata sumber ini. Belum lagi, yang benar-benar tersisih, dalam arti yang semula anggota DPR, dan kini tak dicalonkan sama sekali. Dewasa ini Golkar menduduki 267 kursi di DPR. "Secara nasional, hanya 60 persen yang akan duduk kembali," kata R. Soekardi Ketua F-KP, dan juga salah seorang ketua DPP Golkar. Sisanya. yang 40%, "sebagian bertugas di tempat lain, atau tidak dipilih lagi karena tidak qualified," tambah Sarwono. Menurut Soekardi kriterium yang dipakai untuk menyeleksi para anggota DPR yang sekarang ialah prestasi, dedikasi, loyalitas, serta tak tercela. Ringkasnya, dikenal dengan sebutan PDLT. Kriterium sebelumnya, katanya, tanpa unsur T (tak tercela). "Tak tercela dalam arti tidak pernah mencemarkan organisasi maupun dewan," kata Soekardi pada Musthafa Helmy dari TEMPO. "Semuanya masih memenuhi syarat minimal. Kalau tidak, 'kan sudah di-recall," tambahnya. Tapi mengapa orang seperti Rusli Desa, atau Sawidago Wounde -- yang banyak dinilai berprestasi, dan hingga kini termasuk pimpinan komisi -- tak dicalonkan kembali? Menurut suatu sumber, Rusli Desa, yang belum lama ini muncul dengan kecaman atas buku Militer dan Politik di Indonesia karangan Harold Crouch, kini telah kehilangan dukungan, baik di desanya (Kalimantan Selatan), maupun di kota (DPP Golkar). "Ia selalu berlagak sebagai orang pusat, sehingga kehilangan simpati di daerah," kata sumber ini. Akibatnya, DPD tak memberinya rekomendasi. Sebaliknya, tak pula ada yang membelanya di pusat. "Dia suka berbicara keras dalam rapat-rapat fraksi." Adapun Sawidago, sesungguhnya, masih termasuk yang masih akan dicalonkan kembali oleh F-KP. "Tapi dia tak mendapat rekomendasi dari DPD Sulawesi Tengah," tambah sumber itu pada Putut Tri Husodo dari TEMPO. Lalu, mengapa pula Isyana W. Sadjarwo, anggota DPR termuda itu, juga tak dicalonkan kembali? "Kurang bijaksana untuk diumumkan," kata Sugandhi pada Salim Said dari TEMPO. "Memang, ada masalah politik, dan pertimbangan lain, yang tidak bisa dijelaskan kepada masyarakat ramai," tambah Soekardi. Isyana sendiri tak bisa dihubungi, karena sedang menunaikan ibadat haji. Maka, F-KP hasil Pemilu 1987 nanti, 40% merupakan wajah-wajah baru. "Yang menonjol pada pencalonan kali ini, banyaknya orang muda yang tampil," kata Soekardi. Yakni sebanyak 20% adalah generasi muda berusia di bawah 40 tahun, serta 15% adalah wanita. "Jumlah wanita ini meningkat, sebab sebelumnya hanya 13%," tambah Soekardi. Memang, menurut Sudharmono, Pemilu 1987 mendatang merupakan batu ujian bagi Golkar. Yakni, "Batu ujian bagi pelaksanaan konsolidasi, serta kaderisasi Golkar," katanya. Hal itu disampaikannya, ketika memberi pengarahan pada Pendidikan dan Latihan Kader Fungsional Kader Golkar, di Banda Aceh, Rabu pekan silam. Bahkan, di Wonogiri, Surakarta, Jawa Tengah Sabtu pekan lalu, Sudharmono kembali menekankan ihwal kaderisasi itu. Katanya, tanpa pengaderan, Golkar terus-menerus mencapai kemenangan pada tiga pemilu yang lalu. Dan kini, setelah pengaderan dilakukan di seluruh pelosok tanah air, "Golkar diharapkan meraih kemenangan lebih besar lagi," ujarnya di hadapan sekitar 5.000 warga Beringin, di Gelanggang Olah Raga Giri Mandala, Wonogiri. Peremajaan itu, rupanya, memang mendapat tekanan khusus. "Golkar kini tengah mengarah menjadi organisasi kader," kata Wakil Sekjen Akbar Tanjung pada Toriq Hadad dari TEMPO. Dalam pencalonan orang baru itu, juga ditinjau penampilannya. Pada 1982, katanya, untuk pencalonan tingkat pusat, diutamakan calon yang memiliki keseimbangan antara kemampuan dan pengaruh. "Tapi kini, untuk tingkat pusat, kemampuan dulu, baru pengaruh. Tadi kapasitas orang itu yang lebih dulu dilihat -- baru kemudian pengaruhnya," kata Akbar. Pengaruh itu dibaca melalui kepemimpinannya di suatu organisasi masyarakat. Lalu, apakah Denny, putri Mensos Nani Soedarsono, memenuhi syarat-syarat itu? Atau karena ia anak pejabat? "Latar belakang pendidikannya bagus," kata Sarwono. "Ia juga aktif di Golkar, yakni di Himpunan Perajin. Jadi, bukan karena dia anak Mensos." Dan, Dewi Ria, anak Gubernur Kaharuddin Nasution? "Wah, soal itu sebaiknya ditanyakan kepada DPD Sumatera Utara," jawab Sarwono. Dewi adalah bendahara KNPI Sum-Ut. "Tapi dia tak pernah kelihatan di Kantor DPD KNPI, kecuali sewaktu dilantik pada tahun lalu," ujar sumber TEMPO. Apa kata DPD Golkar Sum-Ut? "Dia 'kan calon pusat. Yang menilainya, tentu pusat," kata Slamet Riyanto, Sekretaris DPD Golkar pada Mukhsin Lubis dari TEMPO. Bagaimana pula dengan Bambang Sulistomo? "Dia jelas memiliki bakat intelektual," kata Sarwono. "Dia sering tampil dalam forum-forum diskusi. Dan, tak banyak gembar-gembor tentang kegolkarannya." Bambang, katanya, aktif di Golkar, terutama di lapisan bawah di Jakarta Selatan. Tapi, bukankah ia pernah terlibat Peristiwa Malari? "Tapi akhir-akhir ini dia sudah ikut serta bersama kami. Jadi, dosa itu sudah hilang. Dia sudah bisa menyesuaikan diri," kata Sugandhi. Dan, Haris Ali Moertopo ? Apakah ia dicalonkan karena faktor sang ayah almarhum? "Kami tidak melihat itu," ujar Sugandhi. "Kami melihat, generasi muda itu adalah di bawah 40 tahun. Dan pada umur itu, sulit mencari orang dalam persediaan kami. Yah, sudahlah, siapa yang di bawah umur 40, nama-nama mereka dimasukkan sajalah." Kata Sudharmono, "Lho, kalau mereka benar-benar kader, kenapa? 'Kan tidak ada larangan bahwa putra si A tidak boleh menjadi anggota DPR. Di sini tidak ada pewarisan jabatan politik." Bagaimanapun, yang terang ialah F-KP selalu mendapat tambahan anggota baru yang tak lagi muda. Mereka adalah anggota DPR dari F-ABRI, yang kemudian menjadi calon dari Golkar. Pada pencalonan kali ini, sebanyak 35 bekas anggota F-ABRI akan masuk ke jajaran FKP. "Jangan lupa, Bung, Golkar itu dibesarkan oleh ABRI," kata Sarwono pada Kastoyo Ramelan dari TEMPO. Dan pula, mereka itu jelas memenuhi tolok ukur. "Mereka punya kartu anggota Golkar," ujar Soekardi, pimpinan Golkar, yang sebelumnya tokoh FABRI. Menurut seorang perwira tinggi di Mabes ABRI, kecuali untuk mengisi jatah 100 kursi bagi F-ABRI, juga dipersiapkan personel untuk mengisi F-KP. Namun, ada perbedaan antara keduanya, terutama bagi yang purnawirawan. "Bagi yang diplot untuk mengisi F-ABRI, para purnawirawan itu digolongkan sebagai perwira cadangan. Sebaliknya, bagi yang dicalonkan dari Golkar, tetap berstatus purnawirawan," kata sumber TEMPO. Bagi yang berstatus perwira cadangan "hak dan kewajiban mereka tidak berbeda jauh dengan yang masih aktif," kata sumber itu pada James R. Lapian dari TkMPo. Yang terang, kata perwira tinggi ini, di kalangan ABRI kini memudar prasangka, "bahwa ditugaskan di legislatif merupakan pembuangan." Dan, yang pasti, ABRI menganut kebijaksanaan, mengalokasikan anggotanya di DPR sebagai 3:1. Artinya, tiga yang tua akan disertai oleh seoran yan muda. Suatu langkah yang lebih maju ketimbang kalangan sipil -- sebab, itu berarti 25% generasi muda. Kecuali itu, pimpinan ABRI tak akan melepaskan mereka yang mempunyai masa dinas di bawah sepuluh tahun. "Tidak mudah untuk menjadikan seorang anggota legislatif yang berbobot," kata sumber ini. "Kami ingin agar mereka matang dulu sebagai perwira," tambahnya. Golkar berambisi merebut 70% suara pada pemilu mendatang. Artinya, berupaya mendapatkan 280 kursi di DPR. Masihkah besar pengaruh Kino-Kino, yang dulu menjadi cikal bakal Sekber Golkar? "Tidak ada jatah-jatahan seperti itu," kata Sudharmono tegas. Dan Kino-Kino yang pernah membesarkan Golkar itu, misalnya SOKSI yang dipimpin Suhardiman atau Kosgoro pimpinan Martono, perannya kini tampaknya tak sekuat dulu lagi. Saur Hutabarat, Laporan biro-biro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus