PADA 10 Januari 2001, sejumlah media mengutip pernyataan Ketua DPR Akbar Tandjung, yang mengatakan bahwa DPR tidak perlu meminta maaf kepada Presiden. Pernyataan itu sebagai ?balasan? atas sikap Presiden Abdurrahman Wahid yang tidak akan melakukan konsultasi dengan DPR, jika lembaga legislatif ini tidak minta maaf kepadanya. Sikap Abdurrahman itu disebabkan ia merasa tersinggung oleh pernyataan anggota A.M. Fatwa, yang menyarankan Gus Dur pergi ke dokter jiwa, ketika para anggota dewan melakukan konsultasi.
Menanggapi masalah itu, Akbar Tandjung melakukan pembelaan: ?Bahwa anggota DPR punya kebebasan berbicara tentang apa saja meski kepada Presiden dalam rapat konsultasi, meski dalam menyampaikan pikirannya dipengaruhi oleh karakteristik daerah asal anggota dewan. Itu hal yang wajar.?
Menurut saya, betapapun kebal hukumnya para anggota dewan untuk berbicara sebebasnya, betapapun watak berbicara yang kasar dari suatu daerah, ucapan A.M. Fatwa sebagai politisi, kepada Presiden pada rapat konsultasi tersebut, sangat tidak etis. Seolah-olah perseteruan politik menghalalkan semua istilah untuk menghina Presiden.
Memang, DPR tidak perlu meminta maaf secara resmi, meskipun Akbar Tandjung, secara pribadi, telah meminta maaf kepada Presiden. Tapi itu tidak cukup, karena ?penghinaan? yang dilakukan A.M. Fatwa dilakukan dalam konsutasi resmi. Maka, sepatutnya pimpinan dewan resmi pula melakukan permintaan maaf. Lebih etis dan sportif apabila A.M. Fatwa sendiri yang meminta maaf atas perilakunya. Bila dewan menghendaki tata krama demokrasi yang beretika, pimpinan berkewajiban mengoreksi A.M. Fatwa.
Sebagai lembaga demokrasi, seharusnya dewan mempunyai etika dan moral demokrasi, terutama intelektual muslim. Tanpa itu, demokrasi menjadi demokrasi kaoistis, yang membolehkan semua orang berbicara seenak perut dengan meletakkan hati nurani di bawah ketiak. Perilaku demikian akan ditiru oleh para anggota DPRD di daerah, bilamana Gus Dur mengancam tidak akan mau lagi mengadakan konsultasi dengan DPR, jika DPR tidak meminta maaf. Hal itu tidak masalah karena konsultasi demikian tidak diatur oleh undang-undang. Sifatnya hanya sukarela, sebagai jembatan bagi penyelesaian politik yang rumit. Namun, akan jauh lebih baik apabila Presiden mau berkonsultasi dengan DPR tentang masalah apa saja. Sehingga, perseteruan antara Presiden dan DPR atau dengan pribadi anggota dewan dapat diredakan demi memperbaiki kehidupan demokrasi berbangsa dan bernegara.
A.A. NAVIS
Padang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini