SAYA ingin urun rembuk sehubungan dengan Kolom TEMPO Edisi 26 Februari 2001, berjudul Moratorium Penebangan Hutan.
Seperti sektor ekonomi lain, sektor kehutanan juga tunduk pada persyaratan IMF/CCI/Bank Dunia, bahwa Indonesia harus segera membuat ?Program Kehutanan Nasional? (PKN). Untuk itu, terbitlah Keppres No. 80/Tahun 2000, Juni 2000, beranggotakan 15 departemen, dipimpin Menko Perekonomian, dengan wakil Menteri Kehutanan.
Dalam pengertian saya yang awam, sebelum ada PKN itu, Menhut tidak boleh mengambil keputusan strategis yang berdampak buruk pada kelestarian hutan. Tetapi yang terjadi adalah, setelah tiga bulan keppres itu turun, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHT) selaku anggota kelompok kerja belum ditetapkan, apalagi ikut rapat. Dalam pertemuan Menhut dengan peserta Rapat Kerja Nasional APHI di Jakarta 22 Februari 2001, saya mempertanyakan hal ini. Saya terkejut mendengar jawaban Menhut (diwakili Dirjen Pengusahaan Hutan Produksi) bahwa PKN baru selesai paling cepat tiga tahun.
Dalam hati saya bertanya, kalau menunggu tiga tahun lagi, apakah masih ada hutan perawan kita. Masih mampukah kita melaksanakan pengelolaan hutan lestari dengan hutan yang semakin berantakan? Sementara itu, Menhut telah menerbitkan SK Menhut No. 051/Kpts II/Tahun 2000, September 2000, yang memberikan wewenang kepada bupati untuk menerbitkan surat keputusan hak pengusahaan hutan (HPH) di bawah 50.000 hektare, kepada gubernur 50.000-100.000 hektare, di luar lahan hutan yang sudah ada HPH terbitan Dephut. Itu artinya, di lahan hutan eks-HPH. Padahal, di lahan eks (penebangan) HPH, sudah dilakukan penebangan lagi oleh BUMN (Inhutani), ditambah dalam eks HPH sedang berkecamuk penebangan kayu secara liar. Dengan tiga eks penebangan berlapis demikian, dapat dibayangkan kerusakan hutan tersebut, yang sekarang diberikan wewenang kepada bupati/gubernur menerbitkan HPH baru. Justru karena hutan tiga eks itu sudah berantakan, dalam beberapa tahun ini penebangan kayu liar telah merambah areal HPH (yang masih operasional).
Dengan demikian, berulang kembali kisah dokumen resmi dari izin pemanfaatan kayu untuk kayu liar, lalu dokumen resmi HPH terbitan bupati/gubernur, untuk menampung kayu liar di areal HPH yang masih aktif. Ini tentu saja mempercepat perusakan hutan dan kesempatan ini akan masih ada selama tiga tahun, menunggu lahirnya PKN, belum berbicara tentang akan berkurangnya devisa nasional dari kayu olahan. Tampaknya, Keppres No. 50/Tahun 2000 hanya penipuan terhadap persyaratan internasional. Presiden menerbitkan keppres yang tidak dilaksanakan oleh menterinya.
Menurut saya, CCI/IMF/Bank Dunia telah secara sungguh-sungguh menghendaki moratorium itu untuk kelestarian hutan, dengan baru-baru ini melakukan ?moratorium? pengucuran dana bantuan mereka. Sampai kapan pemerintah keras kepala?
DEHEN BINT?I
Jalan Gandaria I/34, Banjarmasin 702315
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini