Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gelbardmengantongi gelar master dalam bidang ekonomi dari Universitas Harvardbertugas di Jakarta sejak 4 Oktober lalu. Wartawan TEMPO Bambang Harymurti, Purwani Diyah Prabandari, dan fotografer Rully Kesuma mewawancarai Gelbard di Kantor Kedutaan AS di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta, 21 Oktober. Berikut petikannya.
Apa misi Anda sebagai duta besar di Indonesia?
Misi saya, salah satunya, mendukung integrasi teritorial Indonesia. Saya tahu ada isu bahwa AS berkeinginan memecah belah Indonesia. Itu omong kosong dan tidak logis. Kami berkepentingan agar kemakmuran dan demokrasi terwujud di Indonesia. Itu juga demi keamanan internasional. Bayangkan bila ada 20 pecahan negara. Itu akan menjadi sumber utama ketidakstabilan di kawasan ini.
Apa prioritas misi Anda?
Mendukung konsolidasi demokrasi sepenuhnya di Indonesia, termasuk untuk mengembangkan institusi demokrasi yang kuat. Itu perlu waktu yang panjang. Selain itu, sektor peradilan dan ekonomi juga sangat penting. Menurut saya, Indonesia mesti mengembalikan ekonomi negara ini menjadi ekonomi pasar, bukan kapitalisme kroni.
Apa isi pembicaraan Anda dengan Presiden Abdurrahman Wahid?
Kami bicara tentang beberapa isu. Saya menawarkan dukungan sepenuhnya dari AS, baik bagi rakyat maupun pemerintah Indonesia. Saya memberi tahu beliau bahwa Presiden Bill Clinton sendiri membacakan pernyataannya di televisi AS.
Masalah bangsa Indonesia sekarang sangat rumit. Apa prioritas program pemerintahan baru, semestinya?
Indonesia harus mengurusi semua masalah bersamaan. Beberapa prioritas ditangani bersamaan. Hal yang penting, ada tanda-tanda yang bagus di bursa saham, juga di pasar uang. Rupiah telah menguat. Tetapi kami tidak ingin melihat rupiah menjadi terlalu kuat karena ini akan tidak baik bagi ekspor. Namun, secara fundamental, ada banyak kepercayaan kepada pemerintahan baru.
Ada titik terang soal Timor Timur?
Ya. Majelis Permusyawaratan Rakyat bertindak dengan sangat bijaksana. Mereka menyetujui pelepasan Tim-Tim dari Indonesia secara aklamasi.
Bagaimana dengan tindakan Interfet (International Forces for East Timor) di sana?
Saya tidak tahu pasti. Memang ada peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan di sana.
Termasuk bentrokan di perbatasan antara TNI dan Interfet?
Saya yakin itu terjadi di Tim-Tim. Peta milik Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Interfet berbeda. TNI menggunakan peta tahun 1932 buatan Belanda, Interfet menggunakan peta buatan Indonesia tahun 1992. Saya merekomendasikan agar mereka saling membangun kepercayaan. Gunakan peta yang sama. Bentuk kelompok kerja gabungan untuk menentukan perbatasannya. Ini memang sangat sulit. Jenderal Peter Cosgrove (Komandan Interfet) telah menentukan daerah penyangga sejauh satu kilometer dari perbatasan. Dia orang yang sangat profesional dan serius.
Bagaimana soal pengadilan internasional untuk para penjahat kemanusiaan di Tim-Tim?
Kami menyetujui untuk membuat resolusi pembentukan Komisi Investigasi Persatuan Bangsa-Bangsa. Tetapi kami tidak tahu soal pengadilan penjahat kemanusiaan di Tim-Tim.
Apakah Washington DC menekan Panglima TNI Jenderal Wiranto untuk tidak menjadi wakil presiden?
Tidak betul. Kami mendengar desas-desus itu. Saya bersumpah itu tidak benar.
Menteri Pertahanan AS, William Cohen, mengatakan bahwa sebaiknya Wiranto tidak berambisi pada posisi politik?
Kami tidak mengatakan: lakukan apa yang kami lakukan. Tetapi kami percaya bahwa sebaiknya sipil mengontrol militer. Dan dalam masyarakat demokratis, kami berpikir itu yang tepat. Jadi, Cohen mengatakan ini.
Akhirnya Megawati, yang dari partai yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilu, hanya menjadi wakil presiden. Komentar Anda?
Itulah politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo