Acaranya tak begitu istimewa: pembukaan forum editor Asia-Jerman II. Cuma, jadi berkesan mentereng karena dihadiri 150-an redaktur terkemuka, berlangsung di Istana Negara, dan dibuka sendiri oleh Presiden B.J. Habibie. Presiden Habibie datang terlambat. Ia disertai Menteri Penerangan Muhammad Yunus serta Menteri Negara Perumahan dan Pemukiman Theo L. Sambuaga. Ada pula Duta Besar Jerman. Begitu menaiki podium, Senin pagi pekan lalu, sang Presiden mulai bikin kejutan kecil-kecilan. Teks pidato dalam bahasa Indonesia setebal 26 halaman yang disodorkan ajudan tidak dibacanya. "Daripada saya buang waktu, dan banyak dari Anda yang tak mengerti," katanya. Habibie lalu bilang, sebaiknya difotokopi, lalu dibagi-bagikan. Ia pun kemudian berpidato, tanpa teks, dalam bahasa Inggris--sesekali bahasa Jerman. "Maaf kalau saya tidak bisa bertingkah sebagai seorang presiden seperti yang Anda bayangkan. Saya hanya mau menjadi diri saya sendiri," kata Habibie. Habibie pun terus berbicara, tak peduli dengan waktu. Ajudannya sampai dua kali mengingatkan, sekali lisan, sekali lewat secarik memo.
Pidato panjang itu, akhirnya, menyebut situasi gawat pada 22 Mei tahun lalu--sehari setelah ia dilantik menjadi presiden. Dan begini Habibie menyebut: "Ketika saya menjadi presiden, saya mengungsikan istri, anak, dan cucu saya ke istana ini. Saya tinggal di belakang gedung ini. Ketika itu, saya mengadakan rapat dengan kabinet saya, kecuali (Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Jenderal) Wiranto. Saya katakan kepada Wiranto, ?Saudara tetap di tempat.? Wiranto menjawab, ?Terima kasih, Pak!? Kemudian Wiranto meminta waktu untuk menghadap. Maka saya pun memberinya waktu. Wiranto melaporkan adanya konsentrasi pasukan yang dipimpin oleh orang yang tak perlu dirahasiakan lagi, yaitu (Panglima Kostrad Letjen) Prabowo. Sebagai presiden, saya memerintahkan untuk menarik pasukan tersebut. Saya tanyakan kepada Wiranto, ?Apakah perintah itu benar?? Dijawab oleh Wiranto, ?Ya, benar.?"
Bagian ini akhirnya meledak menjadi berita utama di beberapa media massa Ibu Kota. Maklum, karena menyangkut misteri konsentrasi pasukan di sekitar Istana Negara dan rumahnya di Kuningan, Jakarta, di bawah komando Letjen Prabowo Subianto, Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) waktu itu. Peristiwa ini memang masih gelap sampai sekarang. Kabarnya, kegawatan itu ditulis khusus dalam salah satu bab buku biografi Habibie, yang tengah disiapkan.
Berbagai reaksi dan tanggapan pun datang bertubi-tubi. Ada yang menganggapnya enteng, semacam selip lidah yang biasa untuk Presiden yang banyak bicara ini. Bukankah Habibie, yang merasa "mungkin bukan seorang presiden atau politisi yang bagus" itu, sering salah omong bila sedang berbicara, walau di depan corong perekam wartawan? Sebelumnya, misalnya, ia menyatakan kepada seorang wartawan Taiwan tentang tak adanya orang Melayu menjadi perwira militer di Singapura--yang kemudian dibalas The Strait Times dengan trend data meningkatnya jumlah perwira militer keturunan Melayu di sana.
Tapi, betulkah ini sekadar keseleo lidah? Tampaknya tidak. Sebab, sampai saat ini, pernyataan ralat atau koreksi atas pernyataan itu tidak segera muncul, meski tanggapan telah datang dari berbagai arah. Prabowo sendiri dari Amman, Yordania (ia sedang di sana untuk urusan "bisnis", kata sebuah sumber), mengeluarkan bantahan bahwa ia tak melakukan apa yang dikisahkan Habibie. Tapi bantahan ini ditangkis kembali oleh juru bicara kepresidenan, Dr. Dewi Fortuna Anwar. Kenyataannya, kata Dewi Fortuna, keluarga Presiden hari itu memang mengungsi.
Dengan kata lain, pihak Habibie tampaknya tak akan menarik kata-kata yang sudah terucap. Maka ada yang menduga, langkah itu bagian dari upaya Habibie untuk mendongkrak popularitas namanya menjelang pencalonan presiden mendatang. Tapi bahkan pendukungnya tak semua paham. "Pernyataan itu terlalu berisiko. Untuk apa dia bicara soal itu?" ujar Pelaksana Harian Ketua Umum ICMI, Letjen (pensiunan) Achmad Tirtosudiro, yang juga karib Habibie.
Ada dugaan lain. Fadli Zon, yang kerap menjadi juru bicara Prabowo, menyinyalir bahwa cerita itu untuk menunjukkan kepada wartawan asing bahwa kekuasaan yang ia terima tidak jatuh semudah membalik telapak tangan, bahwa alih kekuasaan dari Presiden Soeharto ke Habibie diwarnai proses dramatis. "Saya melihat bahwa Habibie ingin menciptakan kesan itu, sehingga orang tak menganggapnya enteng," kata Fadli Zon kepada Darmawan Sepriyossa dari TEMPO. Ada juga dugaan bahwa Habibie ingin mengesankan bahwa ia dapat meletakkan ABRI tetap dalam kontrol seorang presiden sipil, yang juga panglima tertinggi.
Sinyalemen lain ditiupkan Farid Prawiranegara, yang juga orang dekat Prabowo. Menurut Ketua Partai Bulan Bintang ini, pernyataan Habibie itu justru untuk memancing tanggapan dari pihak-pihak yang berkepentingan. Salah satunya Prabowo sendiri. "Dia mancing Prabowo agar mau bicara. Bila dia tak menjawab, ya, berarti isu itu benar," Farid berujar kepada TEMPO.
Farid dan Fadli, keduanya tokoh teras di Partai Bulan Bintang (PBB), tak menyangkal bahwa peristiwa ini makin merenggangkan hubungan PBB dengan Habibie. "Karena sampai kini kami masih belum memutuskan siapa calon presiden kami," kata Farid. PBB, yang partai Islam, kata Farid, tak secara otomatis mendukung Habibie. "Kami tak mau gampangan memilih orang."
Terlepas dari berbagai sinyalemen politik, pernyataan Habibie itu juga bisa menyudutkan Wiranto. Sebab, dikisahkan, dialah yang melaporkan adanya konsentrasi pasukan yang dipimpin oleh Prabowo. Lalu, sebagai Panglima ABRI, Wiranto meminta perintah dari Presiden untuk menarik pasukan Prabowo tersebut. Tapi lagi-lagi pernyataan itu baru sepenggal, dan justru memicu pertanyaan berikutnya. Mengapa Wiranto, sebagai Pangab waktu itu, perlu menunggu perintah Presiden untuk menarik pasukan Prabowo, yang notabene bawahannya? (Lihat: Prabowo Berencana Mengekup Habibie?)
Bantahan Prabowo dari Amman, dalam keterangan tertulis sepanjang empat halaman yang dibacakan oleh Fadli Zon, menyatakan, pengerahan pasukan dalam rangkaian peristiwa Mei 1998 di Jakarta adalah untuk mengamankan semua obyek vital, terutama demi keselamatan presiden dan wakil presiden.
Langkah itu sesuai dengan prosedur yang berlaku. Pula, sepenuhnya di bawah kendali Panglima Komando Operasi Jaya waktu itu, Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin. Setelah ribut-ribut ini, akhirnya Pangab Wiranto juga memberikan penjelasan mirip. "Karena semua wilayah Ibu Kota hendak diamankan, tanpa kecuali, wajar saja jika di sekitar rumah Pak Habibie pun ada konsentrasi pasukan," kata Wiranto kepada wartawan di Bandung. Kepala Pusat Penerangan ABRI Brigjen Syamsul Ma'arif mengoreksinya dengan istilah "konsolidasi pasukan". Itu pun dari berbagai kesatuan, di bawah kendali Panglima Daerah Militer Jaya dan Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya, bukan hanya pasukan Prabowo.
Mungkin saja Habibie yang sipil itu berlebihan menilai konsentrasi pasukan tersebut. Apalagi Pasukan Pengamanan Presiden saat itu masih mampu mengendalikan keadaan. Karena itu, mereka berani membiarkan Prabowo melenggang ke kediaman Habibie, setelah melepas pistolnya. "Mungkin karena Habibie melihat Prabowo dikawal oleh dua defender (jenis mobil Land Rover--Red.), lalu muncul kesimpulan, wah, ada apa nih rumah dikepung," kata seorang perwira pengaman presiden yang tahu persis kejadian itu kepada TEMPO.
Ayah Prabowo, ekonom terkenal Sumitro Djojohadikusumo, ikut prihatin dengan tudingan Habibie itu. Bisa dibayangkan, Prabowo sendiri merasa dikhianati. Habibie adalah tokoh yang, kata Prabowo, "Selalu saya junjung tinggi, saya bela di banyak kesempatan, di hadapan ratusan perwira maupun kalangan sipil." Masalahnya, tentu, kenapa waktu itu Habibie merasa perlu mengungsi? Apakah waktu itu Wiranto tidak menjelaskan kepada presiden baru itu apa yang pekan lalu dijelaskannya kepada wartawan, hingga Habibie merasa tenang? Mungkinkah ada asap tanpa ada api? Sebuah sumber mengatakan bahwa hari itu Prabowo memang merasa amat tidak puas, dan ingin menyatakan hal itu kepada sang presiden baru. Kedatangannya dengan berpistol dan berpasukan cukup mengesankan ancaman, setidaknya bagi Habibie. Kenapa marah? Alasannya, kata sumber itu, karena Habibie memilih Wiranto sebagai panglima, dan bukan dia. Sikap Prabowo tak bisa dibenarkan dari disiplin dan hierarki militer. Tapi apa boleh buat: waktu itu hampir semua orang takut kepada Prabowo, yang punya pasukan dan punya posisi di dekat Bapak Mertua. Banyak sekali aturan dilanggar. Benar atau tidaknya, penjelasan lebih jauh memang diperlukan.
Wahyu Muryadi, Kelik M. Nugroho, Setiyardi, Purwani D. Pabandari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini