HARI-hari di awal pekan lalu mungkin hari-hari tersibuk dalam sejarah perbankan kita. Tak pernah para penabung antre di depan kasir menguangkan kartu deposito mereka seperti minggu lampau itu. Apa sesungguhnya yang terjadi? Penyulut "kepanikan" ternyata sebuah desas-desus bahwa deposito mereka akan ditukar pemerintah dengan sertifikat obligasi. Baru setelah Menteri Keuangan ad interim J.B. Sumarlin menjelaskan duduk perkara, lewat TVRI, para penabung merasa lega. Dan, "kepanikan" berhenti. Di TEMPO, sebuah Laporan Utama tentang deposito lalu disiapkan. Itu, antara lain, karena di samping soal kehangatan, juga berita ini besar. Dan, segera penanggung jawab rubrik Ekonomi & Bisnis Eddy Herwanto mengadakan kontak dengan relasinya di bank-bank, selain mendiskusikan soal deposito dan obligasi, sekaligus untuk mengecek dampak desas-desus yang menghebohkan itu. Tak jarang Eddy menelepon mereka itu pagi-pagi sekali sebagian dilakukannya dari rumah dan sebagian lagi dari kantor, mengingat kesibukan para bankir di hari-hari tersebut. Dari diskusi dengan para ekonom maupun bankir diperoleh kesimpulan bahwa menabung di bank atau membeli obligasi sama manfaatnya. Hanya saja, selama ini, penjelasan mengenai seluk-beluk obligasi kepada masyarakat sangat kurang. Maka, mereka gampang termakan desas-desus. Eddy, yang gemar mempelajari soal-soal perbankan dan moneter, mencoba merumuskannya, sehingga gampang dimengerti, dan, tentu saja, enak dibaca. Bersama Eddy, Max Wangkar, yang selama ini ikut mengisi rubrik Ekonomi Bisnis, kebagian menulis cerita pendamping. Dan Max, selain menurunkan cerita untuk Laporan Utama, juga melakukan riset untuk penguat tulisan Eddy maupun bagiannya sendiri. Sekalipun Eddy dan Max sama-sama menghubungi relasi mereka di dunia moneter dan perbankan, sejumlah reporter, baik di Jakarta maupun di daerah, juga dikerahkan untuk menjaring bahan. Reporter Yulia S. Madjid, misalnya, berhasil mewawancarai Presiden Direktur Bank Bumi Daya Omar Abdalla panjang lebar mengenai "kepanikan" nasabahnya di kantor pusat dan cabang-cabang BBD. Ternyata, tak gampang bagi bankir-bankir itu meyakinkan nasabah mereka dari korban desas-desus. Merosotnya kepercayaan para nasabah itu mungkin karena kita baru saja melakukan devaluasi. Siapa tahu di antara mereka ada yang terkena pembengkakan utang, lalu akibat pengalaman devaluasi tersebut, jadi gampang panik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini