ACARA kunjungan PM Rajiv Gandhi terasa padat. Setibanya di Halim Perdanakusuma dengan Boeing 747 milik Air India Senin pekan ini, disambut Presiden Soeharto dalam upacara kenegaraan, Rajiv, 42, langsung memenuhi rangkaian acara kunjungan resminya selama 24 jam itu. Dengan penjagaan ketat, kepala pemerintahan India yang nyaris terbunuh 2 Oktober lalu itu masih sempat ziarah ke TMP Kalibata, bertemu dengan masyarakat India diJakarta, dan menghadiri jamuan kenegaraan di Istana Negara Senin malam. Di samping -- tentu saja -- acara utama: pertemuan empat mata dengan Presiden Soeharto di ruang Jepara, Istana Merdeka, sore harinya. Dalam kunjungan singkat, sebagai balasan atas singgahnya Presiden Soeharto -- setelah sidang FAO di Roma -- November tahun lalu, Rajiv sempat membicarakan masalah-masalah dunia, kerja sama Dunia Ketiga, situasi di Asia Tenggara dan upaya mempererat jalinan hubungan ekonomi kedua negara. Menjawab pertanyaan wartawan TEMPO Susanto Pudjomartono di kantornya di New Delhi, Selasa pekan lalu, Rajiv melihat kedua negara mempunyai banyak kesamaan. "Kita adalah dua negara terbesar dalam gerakan Nonblok. Kita berdua termasuk pendiri," katanya, "Gagasan kita tentang bagaimana seharusnya dunia ini sangat mirip." Bahkan, katanya, dongeng-dongeng kuno kita pun sama. Salah satu topik perundingan, kata PM Rajiv dalam konperensi pers, adalah soal keinginan Indonesia untuk bisa duduk sebagai tuan rumah negara-negara Nonblok menjelang puncaknya 1989 nanti. Kebetulan Indonesia-India termasuk punya peran penting dalam meletakkan dasar pembentukan negara Nonblok itu. "Kami sama sekali tidak keberatan atas keinginan Indonesia sebagai calon," katanya. Namun, ia juga mengingatkan dalam KTT Nonblok nanti, giliran untuk menjadi ketua negara Nonblok akan jatuh ke negara Amerika Latin, yaitu Nikaragua. "Bila kita bisa mencapai kesepakatan dengan negara di Amerika Latin itu, saya kira masalahnya bisa dipecahkan," kata pemimpin negara berpenduduk terbesar ke dua di dunia itu. Dalam penjelasan kepada pers seusai pertemuan 90 menit Senin petang, Rajiv menyebutkan, masalah bilateral yang dibicarakan menyangkut perdagangan dan investasi. Indonesia berminat mengimpor kapas dan bijih besi dari India. Sementara itu, India ingin membeli kelapa sawit dan pupuk. Kebetulan, hubungan dagang dengan India -- dibandingkan dengan negara ASEAN atau Asia Timur -- memang tidak terlalu menonjol. Volume perdagangan tahun lalu cuma US$ 58 juta, berupa impor US$ 15 juta dan ekspor ke India US$ 43 juta. Dua tahun sebelumnya, volume perdagangan Indonesia-India lebih tinggi sedikit, US$ 65 juta pada 1983, dan setahun kemudian US$ 85 juta. Komoditi yang diimpor India ialah pupuk, semen, timah, minyak kelapa sawit, bahan kimia, dan besi spon. India mengekspor mesin-mesin tekstil, peralatan pabrik, gelas, kapas, dan gula. Untuk menggalakkan hubungan ekonomi kedua negara, 1977, suatu badan swasta Economic Association of Indonesia and India -- dibentuk. Badan itu telah menelurkan investasi -- termasuk pinjaman India sedikitnya US$ 500 juta. India tercatat menduduki urutan keenam dalam barisan penanam modal asing di Indonesia sampai akhir 1985. Dari sekitar 20 perusahaan patungan, sedikitnya sudah 19 buah yang mulai beroperasi. Nilai investasi seluruhnya US$ 537,6 juta. Tapi tidak semua kerja sama itu mulus. Pembangunan tahap keempat pabrik semen Indarung, Sumatera Barat, misalnya, sampai sekarang masih seret. Tidak kurang Presiden Soeharto, ketika singgah di New Delhi tahun lalu, konon, menyinggung pula masalah itu. Hal lain yang pernah dibicarakan kedua kepala pemerintahan adalah perjanjian pencegahan pajak berganda. "Tujuannya, sebagai upaya untuk merangsang investor India untuk datang ke Indonesia," kata Menlu Mochtar Kusumaatmadja. India memang tidak bisa diharapkan untuk menanam modal besar di sini. Investasi yang juga diundang dari India terutama dalam industri skala menengah, US$ 2,5 juta-US$ 5 juta. Yang diharapkan, Rajiv bisa lebih leluasa membuka pintu kerja sama teknologi untuk industri menengah yang kebetulan dimiliki India. Hubungan kedua negara tercatat pernah mesra pada tahun 1950-an, termasuk antara angkatan udara dan lautnya. Kedua negara termasuk pelopor Konperensi Asia-Afrika, tonggak gerakan negara Nonblok. Hubungan renggang ketika Indonesia berjuang untuk pembebasan Irian Barat dan India tidak mendukungnya. Jarak semakin jauh tatkala pemerintah Orde Lama membuat poros Jakarta -- Pyongyang-Beijing yang sama sekali tidak disenangi New Delhi. Tambah lagi, setelah konfrontasi dengan Malaysia 1963, Indonesia menawarkan bantuan militer bagi Pakistan ketika lagi bentrok dengan India. Sekarang pun masih ada perbedaan sikap mengenai masalah Kamboja. Indonesia mendukung pemerintah Koalisi Demokratik Kamboja pimpinan Norodom Sihanouk, sementara India condong ke Heng Samrin yang disokong Vietnam. Dalam perkembangan terakhir, hubunan berangsur baik. Ada percikan yang mengganggu hubungan, misalnya soal "dugaan" Pulau Nicobar -- pangkalan AL milik India disebut dilengkapi fasilitas bagi kapal selam Uni Soviet. Pernyataan itu datang dari Pangdam Jawa Tengah, Mayjen Harsudiyono Hartas, yang menyebut adanya kapal selam Uni Soviet di perairan Indonesia, dekat Kota Sabang yang diberangkatkan dari Pulau Nicobar. Bahkan Dubes India di Jakarta, V.C. Khana, ketika menjelaskan rencana kunjungan PM Rajiv pekan lalu angkat bicara dengan nada tinggi. "Tidak ada pangkalan Soviet di mana pun di wilayah India," katanya. Deplu di Pejambon, kemudian, juga menjelaskan bahwa laporan itu bermula dari suatu kesalahpahaman. Agaknya, perjalanan Rajiv -- dalam rangkaian kunjungan ke Muangthai, Australia, dan Selandia Baru itu -- akan memperlancar kerja sama kedua negara. A. Margana, Laporan Susanto Pudjomartono (New Dehli) & Dri Indrayati (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini