Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sore hari, tanpa sinar

Menpen membatalkan siupp harian sinar harapan, artikelnya tentang devaluasi, deposito, pencabutan sk bidang impor, meresahkan massa. suara merdeka, koran jateng diperingatkan karena spekulatif. (nas)

18 Oktober 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA yang kosong kini di sore hari. Sinar Harapan, koran sore tertua dan terbesar, sejak Kamis pekan lalu, tak lagi mengunjungi pembacanya. Pemerintah menilai, SH telah menyiarkan berita atau pendapat yang tak hanya spekulatif, tapi juga dapat menggelisahkan dan meresahkan masyarakat. Ia dapat merusakkan atau mengganggu kemantapan stabilitas. Dengan alasan itu, Menteri Penerangan membatalkan SIUPP SH. Koran yang April lalu merayakan ulang tahunnya yang ke-25 itu dilarang dicetak, diterbitkan, dan diedarkan. Maka, inilah pertama kali koran dilarang terbit, sejak Surat Izin Terbit (SIT) diganti dengan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Juga, inilah pertama kali pelarangan terbit koran harian sejak Harmoko, bekas Ketua PWI, menjadi menteri penerangan. SH, memang, koran yang menonjol dalam melaporkan hard news. Sebagai harian sore, ia dianggap yang paling banyak menyajikan berita-berita hangat yang terjadi siang hari. Semangat itulah yang, misalnya, menyebabkan ia unggul dalam pemberitaan pembajakan Woyla tempo hari. Masih dalam semangat itulah pula, SH melansir berita dan opini sekitar devaluasi. Misalnya, empat hari setelah pemerintah mengumumkan Keputusan 12 September itu, SH memuat artikel Daoed Joesoef. Dengan judul "Tanggapan Kritikal terhadap Devaluasi", bekas Menteri P & K itu menyebut keputusan devaluasi itu, "merupakan satu kesewenang-wenangan dan karenanya pantas disesalkan". Daoed juga menyebut pemerintah, ". . . kok, ya, begitu gegabah dan tega-teganya mengambil tindakan yang keliru." Dalam esei yang tergolong panjang, doktor dalam bidang keuangan lulusan Prancis itu juga mengecam keras para sarjana ekonomi yang selama ini menangani bidang Ekuin. Dua hari kemudian, SH menurunkan tajuk rencana. Isinya: Devaluasi juga meniupkan angin segar. Sebab, ia lalu merangsang seribu satu macam tanggapan, membuka percakapan yang bebas dan terbuka. Dan artikel Daoed Joesoef itu, "Adalah salah satu yang meniupkan angin segar itu. Bukan sebab kita mesti setuju dengan isinya, tapi kita mesti memuji itikadnya." Dan, 1 Oktober, SH menyajikan berita: "Soeharsono Sagir: Deposito Jangka Pendek Agar Ditukar Dengan Obligasi". Soeharsono, ekonom dari Unpad, dalam diskusi yang diselenggarakan Universitas Nasional, berpendapat, salah satu pilihan pelengkap kebijaksanaan devaluasi yang perlu diambil ialah, membekukan semua dana deposito berjangka pendek yang jatuh tempo untuk ditukar dengan obligasi pemerintah. Dengan cara ini, dana pemerintah diperbesar. Tak jelas benar apakah berita itu yang kemudian mendorong sejumlah orang lantas menarik depositonya. Tapi, kabar pengalihan deposito itu ramai beredar. Akibatnya, Menteri Keuangan ad interim J.B. Sumarlin, Kamis pekan lalu, sampai perlu bertindak. Yakni membantah semua sas-sus itu. Sepekan sesudah pendapat Soeharsono Sagir diberitakan, SH menurunkan headline "Pemerintah Akan Cabut 44 SK Tata Niaga Bidang Impor". Mengutip suatu sumber, SH menyebutkan, 44 SK itu terdiri dari 39 jenis barang industri dan 5 jenis yang tergolong barang pertanian, makanan, minuman, dan buah-buahan. Esoknya, 9 Oktober, keluarlah SK Menteri Penerangan yang membatalkan SIUPP SH itu. Menpen menilai, tulisan-tulisan di SH itu, "baik disengaja atau tidak disengaja umumnya menciptakan suasana yang serba suram, risau, bingung, dan resah di kalangan masyarakat...." Ringkasnya, "Tidak sesuai dengan hakikat kebebasan pers yang bertanggung jawab." Tapi, SH bukanlah satu-satunya koran yang memberitakan ihwal rencana pemerintah mencabut 44 Keputusan Menteri Perdagangan itu. Pada 9 Oktober, Suara Merdeka, koran terbesar di Jawa Tengah, juga melansir berita yang sama. Bahkan, Budi Santoso, Pemimpin Umum Suara Merdeka, sempat memuji berita itu. Budi tergolong pengusaha yang aktif di Kadin. Dan ia adalah salah seorang anggota tim perumus yang dibentuk Kadin, yang bertugas mencari jalan keluar setelah devaluasi. Jalan keluar itu ialah tentang efisiensi, pengaturan tata niaga, serta pembebasan pajak aset. "Saya mengira, berita itu benar, sebagai jawaban pemerintah atas saran Kadin," katanya, "E..., ternyata salah." Seperti juga terhadap SH, berita ihwal pencabutan 44 SK Menteri Perdagangan itu dinilai tidak sesuai dengan asas kebebasan pers yang bertanggung jawab. Berita itu dinilai bersifat spekulatif, yang bisa meresahkan dan menggelisahkan masyarakat. Akibatnya, Suara Merdeka mendapat peringatan dari Departemen Penerangan. Suara Merdeka tergolong koran yang "manis". Sejak pertama kali terbit 11 Februari 1950, ia tak pernah dibreidel. Bahkan, peringatan tersebut pengalaman pertama. "Kami sadar kami keliru," kata Budi Santoso. Dengan alasan inilah, Suara Merdeka, 13 Oktober, mengumumkan: Mencabut berita ihwal SK 44 Menteri Perdagangan itu. "Kami menyesal atas kesalahan-kesalahan yang lalu. Dan akan berusaha memperbaiki di masa mendatang," ujar salah seorang pimpinan Sinar Harapan. "Secara intern, kami telah menegur penurunan berita itu. Dan, sebenarnya, pada edisi 9 Oktober, kami berencana mengoreksi berita itu," tambah seorang pimpinan SH yang lain. Koreksi itu tak sempat dilakukan, karena pada 9 Oktober itulah SK pembatalan SIUPP dikeluarkan. Dirjen PPG Sukarno tak bersedia memberi banyak keterangan. "Semua yang ada hubungan dengan pembatalan SIUPP SH," katanya, "secara langsung maupun tak langsung, saya tak akan menanggapi." Setiap pembreidelan, tentu, memprihatinkan. SH merupakan tulang punggung pelbagai usaha, misalnya percetakan. Di bidang redaksi saja, ia menjadi sandaran lebih dari 200 personel (termasuk koresponden), bertali-temali dengan 600 agen, dan ratusan pengecer. Maka, mengutip tajuk rencana Kompas, "Semoga Sinar Harapan Diperkenankan Terbit lagi". Kini koran sore satu-satunya di Jakarta adalah Terbit, satu bagian dari bisnis Pos Kota. Belum jelas, bisakah SH terbit Jagi dengan nama lama. Yang pasti, penerbitnya boleh mengusahakan SIUPP baru. Dan mudah-mudahan, itulah pembreidelan yang pertama, dan yang terakhir, setelah SIT diganti dengan SIUPP. Saur Hutabarat, Laporan Gatot Tryanto (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus