Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setujukah Anda DKI Jakarta memiliki kawasan khusus lokalisasi perjudian? (12-19 Oktober 2001) | ||
Ya | ||
59,4% | 340 | |
Tidak | ||
39,4% | 226 | |
Tidak tahu | ||
1,2% | 7 | |
Total | 100% | 573 |
Bayangkanlah, suatu ketika di akhir pekan akan banyak helikopter, juga kapal-kapal pesiar mewah, berseliweran dari Ancol ke salah satu pulau di gugusan Kepulauan Seribu di utara Jakarta. Mereka membawa wisatawan yang punya tujuan satu: mempertaruhkan keberuntungan di meja judi. Situasinya mungkin hampir mirip jalur Hong Kong-Makau di daratan Cina.
Gambaran itu sendiri belum tentu menjadi kenyataan. Sebab, ini baru guliran ide dari pakar pranata pembangunan Universitas Indonesia, Prof. S. Budhisantosa. Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, secara umum menyetujui ide itu. Ia beralasan, judi sulit diberantas meski sudah dilarang dan dilakukan razia. Selain itu, Sutiyoso melihat ada potensi dana yang bisa digarap buat pembangunan, dari legalisasi perjudian. Tentu ide ini tak lantas mengalir lancar jadi kenyataan. Se-tidaknya ia harus melewati cegatan perundangan-undangan dan restu para tokoh keagamaan.
Cegatan pertama, undang-undang, mungkin tak terlalu sulit. Dalam model otonomi daerah, pemerintah daerah bisa mengakalinya lewat peraturan khusus daerah (perda). Begitu pun, jika benar ide lokalisasi judi ini hendak meniru Genting Highland di Malaysia, tempat perjudian dilakukan secara terbatas dan dengan saringan ketat, legislatif mungkin bakal gampang meloloskan sebuah perda. Yang sulit memang cegatan dari sisi agama. Dan tanda-tanda itu sudah tampak. Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia, Din Syamsuddin, pagi-pagi sudah menolak ide itu. Apa pun, kata dia, judi tetap haram, baik tindakannya maupun duit hasil judi itu sendiri. Sikap ini pasti menjadi kampanye negatif bagi ide lokalisasi judi.
Jadi, bayangan Jakarta bakal merendengi Las Vegas, Makau, atau Monte Carlo sebagai kota wisata judi bolehlah disimpan di bawah bantal dulu. Tunggu sampai diskusi halal-haram itu berujung.
Jajak Pendapat Pekan Depan: Dalam pemeriksaan Kejaksaan Agung pekan lalu, bekas kepala Bulog Rahardi Ramelan mengakui bahwa pada tahun 1999 dirinya mengucurkan dana nonbujeter Bulog sebesar Rp 54,6 miliar. Dana itu, menurut dia, diserahkan kepada Akbar Tandjung selaku Sekretaris Negara saat itu, dan kepada Wiranto. Bekas Menhankam/Pangab itu sudah mengakui menerima dana sebesar Rp 10 miliar untuk keperluan pengamanan, tapi Akbar mengaku lupa dan menolak bahwa dana yang diterimanya dipakai untuk keperluan kampanye Golkar dalam Pemilu 1999. Bagaimana pendapat Anda sendiri? Suarakan pendapat Anda melalui www.tempointeraktif.com |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo