Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pertarungan di Balik Layar Kaca

Empat stasiun televisi baru akan muncul mulai pekan ini. Sebenarnya seberapa menjanjikan bisnis pertelevisian itu?

21 Oktober 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EMOSI Riza Primadi belakangan ini agaknya seperti menunggu kelahiran jabang bayi. Cemas dan senang bercampur aduk jadi satu. Wartawan yang ikut membesarkan program Liputan Enam SCTV ini memang tengah berusaha keras menjemput mimpi besarnya: Trans TV. Untuk mewujudkan impiannya, Direktur Pemberitaan Trans TV itu, dan seluruh awak lainnya, praktis meng-habiskan sebagian besar waktu mereka di Jalan Kapten P. Tendean, Jakarta Selatan. Tak jauh dari bangunan sederhana itu, puluhan pekerja tampak giat menyelesaikan pembangunan sebuah gedung megah berlantai sembilan di lahan seluas dua hektare.

Persiapan Trans TV ibaratnya memang sudah dilakukan siang-malam. Dan Kamis pekan ini Trans TV tak lagi sekadar impian di awang-awang. Hari itu, stasiun TV milik Grup PARA ini akan memulai siaran percobaannya di wilayah Jabotabek. "Itu merupakan saat bahagia sekaligus menegangkan," ujar Riza.

Sebenarnya, ketegangan bukan hanya milik para kru Trans TV. Tiga stasiun TV swasta baru lainnya—TV 7, Global TV, dan Lativi—saat ini juga harus bergegas menayangkan siaran percobaannya. Tidak bisa tidak, mereka harus memenuhi tenggat siaran percobaan agar izin frekuensi yang ada tak dicabut.

Namun, mereka memang belum sesiap Trans TV. "Kami belum siap mengudara," kata August Parengkuan, Direktur Utama TV 7, stasiun yang dimiliki Kelompok Kompas Gramedia. Wartawan senior harian Kompas ini menyebutkan, baru awal November mendatang TV 7 mengudara. Itu pun baru siaran teknis. Maklumlah, Kelompok Kompas Gramedia, yang memiliki segudang pengalaman dalam soal media massa cetak, memang belum punya catatan dalam bisnis televisi. Kegamangan juga terjadi di Lativi. Direktur Utama Lativi, Chrys Kelana, mengakui pihaknya belum terlalu siap untuk mengudara pada 25 Oktober ini. "Tapi kami akan tetap memenuhi tenggat tersebut," kata Chrys Kelana.

Membangun televisi memang bukan perkara mudah. Kesulitannya bukan hanya menyangkut sumber daya manusia yang mesti dipersiapkan sendiri karena sulitnya mencari tenaga yang siap pakai. Bisnis hiburan dan informasi ini pun tak bisa digerakkan dengan modal cekak. Modal awal Rp 500 miliar yang telah dipersiapkan Trans TV, misalnya, ternyata tak cukup kuat untuk mengoperasikan Trans TV. Kurs dolar yang kini mencapai Rp 10 ribu membuat Trans TV berburu kucuran dana segar. Soalnya, sekitar 70 persen investasi telah dipakai untuk membeli perlengkapan seperti kamera, studio, dan stasiun transmisi, yang harganya bergantung pada kurs dolar. Kalau sekarang Trans TV bisa segera mengudara, itu karena Bank Mandiri bersedia mengucurkan kredit investasi Rp 300 miliar.

Begitu pula kondisi TV 7. Menurut August, dana US$ 20 juta (sekitar Rp 200 miliar) yang telah digelontorkan Kelompok Kompas Gramedia dirasakan jauh dari cukup. Saat ini, Kelompok Kompas Gramedia tengah mencari investor yang mau berbagi modal. Memang, kata August, sudah ada beberapa pengusaha nasional yang "melamar" tapi belum ada yang cocok. Alasannya, kredibilitas sang calon investor diragukan. "Kami tidak mau men-dapat uang haram," kata August.

Dibandingkan dengan media lain—elektronik maupun cetak—televisi memang media informasi yang paling rakus modal. Media cetak atau elektronik lain bisa berjalan dengan modal puluhan miliar saja. Nah, apakah modal ratusan miliar itu sebanding dengan prospek bisnisnya? Trans TV, yang mengguyurkan modal Rp 800 miliar, tampaknya cukup yakin bisa mencapai titik impas dalam lima tahun. TV-7, yang modalnya memang lebih kempis, menargetkan akan meraih titik impasnya dalam empat tahun.

Namun, target itu tampaknya tak akan dilalui dengan mudah. Persaingan bisnis di pertelevisian saat ini pun sudah sangat keras. Lihatlah AN-Teve, yang masih saja terseok-seok di nomor buntut dalam perolehan iklan. Tahun ini (hingga September 2001) survei AC Nielsen menyebutkan stasiun "Wow Keren" itu hanya bisa mengantongi pendapatan iklan Rp 251,35 miliar. AN- Teve hanya bisa mencuil 6 persen jatah kue yang didapatkan televisi. Padahal, stasiun yang berdiri 1 Januari 1993 itu kini masih punya setumpuk utang, antara lain di Bank BNI sebesar Rp 50 miliar. Sementara itu, bisnis sang pemilik, Kelompok Bakrie, juga tengah redup.

Maka, kehadiran empat pendatang baru di belantara pertelevisian yang sudah disesaki lima stasiun swasta—dan TVRI yang belakangan ini sering "mencuri" iklan—akan membuat perebutan kue iklan makin seru. Adapun pertumbuhan kue iklan yang diperebutkan praktis tak sebanding dengan makin besarnya biaya produksi program televisi yang banyak terkait dengan dolar. Tahun ini belanja iklan diperkirakan mencapai Rp 9,7 triliun, dan televisi mendapat sekitar 60 persennya. Adapun tahun lalu belanja iklan di semua media sekitar Rp 7,8 triliun.

Tahun ini Indosiar berhasil menggeser posisi RCTI, yang selama beberapa tahun selalu pa-ling jago meraup iklan. Padahal, saat ini jangkauan Indosiar masih kalah dengan RCTI dan SCTV. Karena itu, Indosiar cukup percaya diri menghadapi kemunculan pemain baru. "Kami akan menayangkan program baru yang inovatif," kata Gufron Sakaril, Kepala Humas Indosiar. Stasiun ini memang punya beberapa program seperti "Pesta" dan "Kuis Siapa Berani" yang sesak iklan. Selain itu, Indosiar juga memperluas jangkauan siarannya ke beberapa kota seperti Samarinda dan Balikpapan.

Optimisme juga disuarakan SCTV, yang tahun ini bertengger di tempat kedua dalam prestasi meraih iklan. Stasiun ini tak melakukan persiapan khusus untuk mengantisipasi kehadiran empat stasiun TV baru. Selain punya beberapa program yang juga atraktif, jangkauan SCTV kepada 123 juta penonton memang cukup bisa diandalkan untuk menarik pengiklan.

Mungkin karena posisi pemain lama yang sudah tangguh itu, para pemain baru yang akan bermain di ceruk pasar yang sama (lihat porsi program mereka di tabel) tak memasang target terlampau tinggi. Trans TV, yang di mata pengamat pemasaran Rhenald Kasali cukup potensial, hanya menargetkan bisa mencuil 10 persen kue yang beredar di televisi. Kehadiran pemain baru, menurut Rhenald, memang tak akan sampai mengembangkan kue iklan televisi secara signifikan. "Paling banter ada kenaikan 10 persen dalam belanja iklan TV," kata Ketua Program Magister Manajemen Universitas Indonesia itu.

Nah, siapa yang bakal lapar setelah kue diperebutkan pemain yang makin banyak? Pemirsa yang akan memastikannya.

Setiyardi, Tomi Lebang


Profil Para Pendatang Baru
Stasiun Pemilik Program Jangkauan
Trans TV Grup PARA 35 persen berita, selebihnya infotainment dan olah raga Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Medan, Yogyakarta, Solo
TV 7 Kelompok Kompas Gramedia 40 persen berita, selebihnya infotainment Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, Medan
Global TV Grup Bimantara Musik dan gaya hidup anak muda Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan
Lativi Grup Pasar Raya 40 persen berita, selebihnya infotainment Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Semarang, Yogyakarta, Solo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus